Ajakan Kepada HTI Agar Gunakan Hak Pilih dan Jawaban HTI

by
Foto : Monitorday

Wartapilihan.com, Jakarta – Muhammad Elvandi, seorang analis kebijakan global dari Universitas Manchester menulis pentingnya suara pada Pilkada DKI Jakarta putaran kedua yang dilaksanakan hari ini (19/4). Ia menganalisa betapa pentingnya suara dari Hizbut Tahrir Indonesia dalam menentukan Gubernur DKI Jakarta sampai 5 tahun ke depan. Elvandi memposting tulisannya di web pribadinya elvandi.com 5 jam yang lalu dan beredar luas di media sosial.

Berikut tulisan Elvandi yang diberi judul Menanti Kontribusi Muslim HTI :

  1. Pagi ini, teriak takbir menggema di langit-langit Jakarta. Momen politik kali ini bernuansa ‘jihad’ bagi umat Islam. Dan betul, inilah al-Jihad as-Siyasi (Jihad Politik).
  1. Semangat umat Islam seantero negeri menyatu dalam irama 411 dan 212. Bayangkan, jutaan hadir ke Jakarta, tanpa kordinasi menuntut penista agama. Dan sekarang penista agama itu ada di salah satu pojok kertas suara.
  1. Satu demi satu elemen umat Islam memberikan dukungan kebulatan suara, menolak pembuat gaduh NKRI. Ormas Islam, partai Islam, majelis ta’lim, forum-forum pemuda dan ibu-ibu, semua elemen umat Islam menanggalkan baju dan mindset kelompok dan melebur dalam agenda nasional keumatan.
  1. Elit-elit ormas dan partai Islam yang mencoba menerobos, bergandengan dengan pembuat gaduh NKRI, mendapat kecaman keras. Kantor-kantor cabang protes, bahkan mengancam keluar jika elit-elit pemipin organisasi Islam tidak sesuai dengan ‘khittah’ (panduan) organisasi Islam tersebut.
  1. Lalu dimana posisi kalian di depan momen besar umat Islam ini wahai saudara-saudariku Hizbut Tahrir Indonesia?
  1. Saya faham saudara tidak percaya demokrasi, karena saudara anggap sistem kafir. Saya faham saudara tidak ikut sistem pemilu karena ia warisan taghut. Maka saudara memilih golput karena ingin BARA (berlepas diri) dari sistem yang tidak Islami sesuai definisi saudara.
  1. Saya tidak sepakat atas semua gagasan tersebut, baik dari sisi manhaj tafkir, dakwah, akidah, ataupun sisi politik kontemporer atau konsep global governance. Tapi ada waktunya kita berdiskusi dan berdebat ilmiah, lain kali, dan saya selalu siap berdikusi, tapi bukan hari ini.
  1. Hari ini adalah hari unjuk kontribusi keumatan. Hari dimana saudara bisa menunjukan kepada umat Islam posisi anda dalam sejarah negeri ini.
  1. Saya bertanya ke salah seorang ustadz tokoh HTI yang saya kenal tentang kemungkinan sikap HTI. Jawab beliau HTI masih sama sikapnya, yaitu tidak ikut pemilu, tapi melarang umat Islam memilih pemimpin kafir.
  2. Setidaknya ada kesamaan soal kriteria pemimpin, tapi sayangnya HTI akan golput. Saya ingin bertanya, dimana akal sehat dalam sikap ‘tidak mau dipimpin gubernur non-muslim tapi tidak ikut nyoblos?’.
  3. Saudara tidak mau A menang, tapi saudara tidak mau ikut milih B. Jika semua orang sepakat dengan saudara, maka mereka semuanya tidak akan milih A, tapi tetap tidak menambah suara B, dan semua yang mendukung A akan mencoblos A. Siapa yang menang? Mohon dipikirkan sekali lagi, dimana logika paling sederhana yang bisa menerima sikap ini?
  4. Lalu mungkin saudara ingin menghindar, kita bagi-bagi peran saja, yang lain berjuang dalam pemilu sedang HTI berjuang mengedukasi, ngisi pengajian, seminar-seminar kekhilafahan, dan taujih ghazwul fikri.
  5. Akan ada waktu untuk itu saudaraku, tapi tidak hari ini. Hari ini ada sebuah ‘Wajibul Amal’, bahkan ‘Taajul Amal’ (mahkota amal) yaitu pemilu. Hari ini bagi warga Jakarta, Afdhalul A’maal-nya dalam definisi Ibnu Qayyim adalah nyoblos.
  6. Mari melunak sejenak dari ide-ide saudara yang menolak demokrasi sistem kafir, karena kita, umat Islam, mempunyai kaidah-kaidah fiqh seperti “akhaffud dhararain” (mengambil kemudharatan yang teringan) atau Fiqh Aulawiyyat (Fikih Prioritas), Fiqh Muwazanah (Fiqh Komparasi) yang usianya jauh lebih tua dan fundamental dari gagasan-gagasan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Hasan al-Banna, Al-Afghani atau pemikir muslim manapun.
  7. Saya tidak tahu ada berapa ratus, ribu jumlah HTI di Jakarta. Tapi saya yakin satu hal, bahwa ‘every vote matters’ (setiap satu suara berharga).
  8. Alkisah, di Cairo dulu, waktu saya kuliah, ada pemilu mahasiswa, pemilih sekitar 1000 orang, dari dua pasang calon, salah satunya menang dengan selisih 2 suara. Semua pendukung yang kalah dan tidak sempat nyoblos menyesal, tapi ‘as-shaifu dhoyya’til laban’ (sudah terlambat)
  9. Jika hal itu akan terjadi di Jakarta, jangan sampai saudara adalah kelompok yang menyesal itu.
  10. Waktu masih ada, mari keluar rumah, bawa KTP saudara, ucapkan bismillah, dan rasakanlah sekali ini, mencoblos untuk menaati kaidah syariat ‘akhaffud dhararain’. Kalau perlu berdoalah seperti ini saat mencoblos “Ya Allah hadza li tahqiiqi khilafatika fil Ardhi”.
  11. Dan umat Islam akan menyaksikan siapa saja yang mengharap keridhaan Allah dengan kontribusi konkret di pagi ini.
  12. Saudaraku HTI, semua akan tertulis dalam memori kolektif kita semua sebagai umat Islam, sebagai bangsa Indonesia, sepanjang masa, dan tertulis juga dalam catatan akhirat nanti.

Jawaban HTI

HTI sebenarnya sudah menjawab masalah Pilkada DKI ini sudah lama. Awal Maret lalu, Juru bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Iffah Ainur Rohmah menjelaskan sikap Hizbut Tahrir Indonesia dalam Pilkada DKI Jakarta putaran dua. Ia menerangkan HTI memberikan panduan kepada masyarakat Islam bahwa haram jika memilih pemimpin non-muslim.

“Hizbut Tahrir tidak memberikan fatwa untuk mendukung salah satu calon atau sebaliknya, hanya memberikan panduan pada publik muslim bahwa haram memilih pemimpin non-muslim,” papar Iffah kepada Warta Pilihan saat itu (8/3/2017).

Ia menuturkan meski tidak memberikan sikap secara resmi, namun tetap dikembalikan kepada pilihan masing-masing individu. Hizbut Tahrir menegaskan jika pemimpin yang dipilih mesti dapat menegakkan pelaksanaan syariat Islam.

“Semuanya kami kembalikan pada individu kader. Kalau mereka memahami, maka mereka akan menentukan pilihannya secara bertanggungjawab. Karena pilihan kan bukan hanya soal contreng atau coblos, tapi juga masalah ukhrowi,” tegas Iffah.

Hizbut Tahrir menaruh harapan ke depan untuk Jakarta menjadi kota besar yang religius, sehingga bisa lebih baik apabila diterapkan dengan penegakkan syariat Islam di dalamnya.

“Karena memang Jakarta adalah daerah yang menjadi barometer politik Indonesia, Jakarta sangat dikenal sebagai provinsi yang sangat religus, maka tentu (kami) berharap Jakarta bisa semakin baik dengan penerapan syariat islam,” jelasnya.  (Lihat http://www.wartapilihan.com/ini-penjelasan-hti-soal-pilkada-dki/).

Sementara itu Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir, sebagaimana diungkap oleh seorang aktivis Hizbut Tahrir dalam media sosial, menyatakan bahwa penyebab munculnya pemimpin kafir ada tiga :

  1. Ada konstituen yang menjadi pemilihnya
  2. Ada parpol yang mengusungnya
  3. Sistem yang memberikan peluang

“Maka HTI fokus menggarap ketiganya,” terang Ismail. Menurutnya HTI telah banyak berbuat dalam menolak Ahok sebagai calon gubernur. “Pertama secara massif, HTI melakukan diskredit terhadap paslon kafir. Kampanye dilakukan bahkan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Dalam hal ini yang dilakukan HTI bukan kredit bagi paslon no 3, karena kredit=kampanye. Namun, diskredit pada salah satu paslon, otomatis menjadi kredit bagi paslon lawannya,” jelasnya.

Ismail menjelaskan bahwa jangan meremehkan upaya ini. “Kalau ditelusuri, munculnya kasus al Maidah 51 yang memicu aksi Bela Islam 411, 212 dll, adalah akibat dari masifnya kampanye anti pemimpin kafir yang digencarkan oleh HTI. Oleh karena itu sampai sekarang pun HTI tetap pada upaya dakwah ini,”paparnya.

Kedua, HTI melakukan audiensi dengan parpol-parpol pengusung paslon 2, di antaranya adalah dengan partai Hanura. “HTI melakukan dengan pak Wiranto tentang urgensi kembali kepada syariat Islam. Di akhir diskusi pak Wiranto menyatakan karena sepakat dengan syariat itulah sebabnya apa yang kami usung adalah Hanura = Hati Nurani Rakyat,” jelas Ismail, ustadz yang sangat dihormati di kalangan HTI. (Warta Pilihan mencoba mengirim pesan kepada Ustadz Ismail, tapi belum dijawab sampai artikel ini selesai ditulis).

Ketiga, sistem dan aturan mainnya yang menjadi penyebab utama. Hari ini kita tolak Ahok, besok lusa bisa jadi akan muncul pemimpin-pemimpin kafir lainnya. “Umat Islam jangan sampai kalah dua kali,” tegas Ismail.

Menurutnya, kekalahan pertama ketika dipaksa bertarung dalam sistem Demokrasi yang secara mendasar bertentangan dengan aqidah mereka. Kekalahan kedua, terjadi karena mereka berhadapan dengan lawan yang tidak mengenal aturan main, semua cara boleh dilakukan. Sedangkan Muslim, terikat dengan halal haram. “Jadi itulah jalan dan sikap yang diambil oleh HTI untuk menghadapi masalah pemimpin kafir,” jelasnya dengan yakin.

Kepada Warta Pilihan, seorang aktivis HTI mengaku bahwa mereka banyak menjadi sukarelawan agar masyarakat tidak memilih Ahok dalam Pilkada. |

Redaksi : Eveline Ramadhini dan Izzadina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *