Tahukah Anda? Finlandia sebagai penyelenggara sistem pendidikan terbaik di dunia, ternyata hanya menerapkan sistem belajar selama 3,5 jam per harinya. Bagaimana dengan Indonesia, yang di satu sisi akan terapkan sistem pada hari Sabtu menjadi libur, tapi di sisi lain jam belajar dipadatkan menjadi 8 jam sehari (full day school)?
Wartapilihan.com – Ibu menteri Pendidikan dan Komunikasi Finlandia tahun 2013-2014, Krista Kiuru mengatakan, anak-anak tidak pernah diberikan Pekerjaan Rumah (PR), pasalnya, ia katakan, “Mereka harus menjadi anak-anak, menjadi remaja, untuk menikmati hidup,”. Di sana, anak-anak baru boleh bersekolah ketika usia 7 tahun, sehingga memberi keleluasaan pada anak untuk berimajinasi, bermain dan bersosialisasi dengan teman-temannya.
Mereka tidak diberikan Pekerjaan Rumah (PR), bahkan juga menjalani Ujian Nasional hanya pada usia 16 tahun. Berbeda dengan di Indonesia, yang sangat banyak memperlakukan PR sebagai pekerjaan agar sang anak dapat belajar dengan lebih giat, atau bahkan ada anggapan, jika sang anak tidak diberi PR, maka ia tidak akan belajar. UN juga diadakan setiap naik ke jenjang berikutnya.
Di Finlandia, anak yang sekolah diberikan jam istirahat 45 menit sekali, selama 15 menit lamanya. Sehingga sang anak tidak bosan, dan memiliki waktu untuk menyerap hal baru yang telah dipelajarinya. Pendidikan dibuat gratis, dan seluruh sekolah dijadikan setara. Bercita-cita menjadi guru adalah hal yang mulia, dan digaji paling besar di Finlandia; jika di Indonesia, mungkin posisi guru di Finlandia sama seperti posisi dokter di Indonesia.
Dan hal yang paling penting, sejak tahun 1970-an, Finlandia merancang sistem tanpa ranking di sekolah, dengan tujuan agar anak-anak di sekolah tidak perlu berkompetisi satu sama lain. Finlandia percaya, bahwa semua muridnya adalah ranking pertama. Negara tersebut inginkan semua siswanya menjadi pintar tanpa terkecuali. Tidak ada program akselerasi. Untuk siswa yang merasa memiliki kebutuhan khusus seringkali diikutsertakan menjadi sama dengan yang lainnya.
Hal ini sangat efektif bagi pembelajaran sang anak. Pasalnya, anak jiwanya bisa terbebani karena sang anak selalu memikirkan cara agar dapat menjadi lebih pintar daripada orang lain. Padahal, sang anak telah diciptakan secara unik, serta memiliki bakatnya yang sangat spesifik. Misal, ada anak yang mahir berenang, ada juga anak yang pandai matematika. Anak yang pandai bahasa tetapi tidak pandai matematika tidak boleh dicap tidak pandai, karena hal itu justru akan mematikan potensi yang tertanam di dalam dirinya.
Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 23 tahun 2017 tentang revisi Beban Kerja Guru. Menurut penuturan Muhajir Effendy, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, penerapan full day school ialah untuk memperbaiki sistem penilaian kerja guru. Pemerintah, menurutnya berupaya untuk menyesuaikan penilaian kerja guru dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Jam sekolah menjadi 8 jam sehari dan hari Sabtu diliburkan. Penerapan ini sebetulnya sudah dilaksanakan pada SMA-SMA di Jakarta sejak beberapa tahun lalu. Namun, rupanya banyak pihak yang tidak setuju dengan penerapan sistem ini. Pasalnya, akan dapat mengganggu kedekatan emosional antara anak dan orang tua, juga anak bisa terlalu letih.
Jika pendidikan terus menekan otak anak seperti ini, tak heran apabila ilmuwan fisika besar sekaliber Elbert Einsten mengatakan yang kurang lebih begini, “Sungguh heran jika keingintahuan masih tumbuh dengan sistem pendidikan yang seperti ini.” Namun, penulis berpendapat, tidak ada yang mustahil untuk bisa merombak sistem pendidikan di Indonesia. Dua puluh persen anggaran untuk bidang pendidikan terus dilaksanakan sesuai amanat pasal 31 UUD 1945, dinilai lebih dari cukup.
Hal yang perlu diteladani dari Finlandia ialah kemauannya untuk merombak sistem pendidikan, meski membutuhkan berpuluh-puluh tahun untuk menjadi stabil, keberhasilan sistem pendidikan akan bisa dilaksanakan jika para pemegang kebijakan, para guru, serta orang tua murid memiliki kesadaran yang besar akan pentingnya pendidikan. Persaingan atau ranking seyogyanya dapat dipupuskan seperti halnya di Finlandia, oleh karena persaingan menimbulkan perpecahan, keiridengkian dan pengotak-kotakan kepada anak yang ‘bodoh’ dan ‘pintar’.
Juga satu hal yang mesti digarisbawahi betul, pendidikan bukanlah untuk mencetak anak agar kelak dapat bekerja dengan gaji yang besar. Justru ia sekolah agar ia dapat berpikir dengan baik dan jernih. Tak heran apabila koruptor tidak pernah musnah di Indonesia, oleh pasal pemahaman yang tujuannya salah tentang pendidikan itu sendiri. Pendidikan bukan untuk menjadikan anak sekrup-sekrup kecil kapitalis, melainkan untuk mentransformasikan diri-sendiri menjadi lebih baik, dan menemukan dirinya yang sejati. ll
Eveline Ramadhini