Mencuatnya dua tagar berlawanan di media sosial berupa #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi dan deklarasi di berbagai daerah Indonesia sebabkan berbagai konflik horizontal, seperti persekusi. Mengapa persekusi ini terkesan berat sebelah?
Wartapilihan.com, Jakarta — Gerakan #2019GantiPresiden dinilai memiliki muatan politis yang berkaitan dengan kampanye dukungan terhadap Prabowo-Sandi. Bagi para pendukung Jokowi, gerakan ini dianggap sebagai politik hitam jelang Pilpres 2019.
Menanggapi hal tersebut, Anthony Leong selaku pakar komunikasi digital mengatakan, #2019GantiPresiden memiliki pesan komunikasi yang sama dengan #Jokowi2Periode.
“#2019GantiPresiden bermakna ingin ganti presiden di periode selanjutnya dan #Jokowi2Periode ingin untuk melanjutkan kepemimpinannya dua periode. Ini punya makna komunikasi yang sama di media sosial ataupun medium lainnya. Kedua tagar bersifat aspirasi dari masyarakat,” kata Anthony dalam siaran persnya, Senin (3/9/2018).
Anthony yang juga merupakan CEO Menara Digital ini menambahkan, masing-masing masyarakat bisa memaknai dengan sendirinya.
“Kita harus netral menyikapinya. Bagi yang rasa baik bisa implementasikan #Jokowi2Periode, bagi yang kurang puas dengan yang sekarang bisa #2019GantiPresiden. Kekuatan maknanya sama, hanya saja ini ada rivalitas dua kubu maka cenderung panas,” ujarnya.
Ia menyayangkan tindakan yang melarang deklarasi #2019GantiPresiden. Pasalnya, demokrasi seolah dicederai, sehingga amat disayangkan jika kebebasan berpendapat dibendung.
“Point penting demokrasi adalah pergantian kekuasaan. Ini supaya ada sirkulasi maka demokrasi itu lahir. Jadi disayangkan apabila tindakan ini dilarang karena dalam aksi tersebut menyuarakan gagasan ekonomi terkini dari masyarakat. Jika dilarang maka aksi #Jokowi2Periode juga harus dilarang,” tegas dia.
Sementara itu, Direktur eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, pemerintah terlalu acuh dalam menyikapi aksi tersebut.
Seharusnya dalam keadaan bergejolak seperti ini, peran negara dalam melindungi aspirasi masyarakat dapat dikedepankan untuk menetralisir keadaan.
Jika keadaan ini terus dibiarkan, Pangi khawatir hal ini dapat menjadi boomerang bagi pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, karena ia menilai hal ini dapat menggerus citra baik pemerintah.
“Kita harap memaklumi, bahwa saya yakin Jokowi enggak belajar demokratisasi, konsensus, sistem politik Indonesia, teori politik dan civil society. Sehingga saya paham mengapa beliau sedang menarik dirinya berada di tepi jurang,” ujar Pangi di Jakarta, Senin (3/9/2018).
Pangi mengatakan, jika deklarasi #2019GantiPresiden terus tidak diperbolehkan, masyarakat malah akan semakin penasaran dengan gerakan tersebut dan peminatnya bisa menjadi lebih banyak.
“Sama halnya dengan buku yang dilarang beredar, maka keinginan orang membeli buku tersebut makin banyak. Biasa semakin penasaran,” jelasnya.
Karenanya, Pangi meminta agar kubu Koalisi Indonesia Kerja (KIK) membuat aksi serupa untuk menandingi gerakan #2019GantiPresiden.
Langkah ini, menurut dia, akan lebih efektif mempertahankan citra pemerintahan Jokowi demi keterpilihannya kembali di Pilpres 2019.
“Yang (harus) dilakukan misalnya dengan membuat deklarasi tandingan. Justru masyarakat tidak simpati adanya penolakan terhadap deklarasi tersebut.
Oleh karena itu, aksi penolakan deklarasi tersebut jelas merugikan citra Jokowi. Terkesan Jokowi tak siap dan belum siap,” tandasnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zainut Tauhid Sa’adi menyeru umat Islam agar tetap memelihara ukhuwah Islamiyah. Supaya tidak terjebak dalam permusuhan dan pertentangan internal yang dapat merusak tali silaturahmi.
“Jadikanlah perbedaan aspirasi politik sebagai rahmat untuk saling menghormati dan memuliakan agar ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah tetap terpelihara,” kata Zainut, dilansir dari Republika.co.id, Senin (3/9/2018).
Dia juga mengimbau kepada tokoh agama, ulama, kiai, habaib untuk ikut mendinginkan suasana dan menenteramkan umat.
Hal itu perlu dilakukan, menurut dia, agar pesta demokrasi yang menjadi hajatan nasional Bangsa Indonesia dapat berjalan dengan lancar, tertib, aman dan menggembirakan.
“Kami ingin mengingatkan bahwa tujuan Pemilu tidak hanya sekadar memilih dan mengganti presiden saja, tetapi lebih dari itu adalah membangun sebuah peradaban bangsa yang demokratis, maju, berdaulat, adil, sejahtera dan beradab,” ujarnya.
Ia juga mengatakan, meskipun kegiatan kampanye Pilpres belum dimulai namun perang opini, gagasan dan pernyataan sudah mulai ramai di media sosial dalam bentuk aksi pengerahan massa.
Sebagai negara demokrasi, Zainut menegaskan, setiap warga negara diberi jaminan kebebasan oleh konstitusi untuk menyampaikan pikiran dan pendapat sepanjang sesuai dengan norma-norma kepatutan, etika dan peraturan perundang-undangan.
Menurutnya, ikhtiar kepolisian untuk menjaga agar tidak terjadi konflik, gesekan dan ancaman perpecahan bangsa perlu diapresiasi. Karena hal tersebut sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kepolisian.
“Untuk hal tersebut MUI meminta kepada aparat kepolisian untuk bertindak tegas, adil, transparan dan profesional,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini