Perang Politik E-KTP

by

Wartapilihan.com, Jakarta – Pertarungan politik dalam kasus e-KTP menjadi sorotan berbagai partai politik. Baik kader partai yang disebut dalam surat dakwaan atau belum disebut karena masih dalam kasus penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak bisa dipungkiri, kasus yang melibatkan banyak politisi ini banyak yang “nebeng” meraih keuntungan dari penurunan elektabilitas suara partai politik. Menanggapi hal itu, beberapa tokoh lintas institusi mengadakan diskusi “Perang Politik e-KTP” di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (18/3).

Pengamat Politik Indo Barometer M. Qodari mengatakan, citra politik dalam setiap kasus bisa menurun salah satunya karena kasus korupsi. Ada dua partai yang mengalami penurunan telak yaitu Partai Demokrat dan PKS. Tetapi tidak semua partai mengalami pola yang sama. Pada tahun 2009 PKS memiliki suara sekitar 7,5%, tetapi partai ini bisa bertahan dan tidak turun.

“Kasus korupsi bisa berdampak terhadap suara partai, tetapi tergantung variabel lain. Kuncinya adalah soliditas partai. Demokrat adalah salah satu partai yang mengalami pembelahan antara kubu Anas dengan SBY,” ujarnya.

Menurutnya, positioning partai sangat penting ketika kasus ini terjadi. “Ada istilah kalau partai Islam kena korupsi akan berdampak sangat dalam, tetapi kalau seperti Golkar kena kasus korupsi iya memang begitu dari dulunya. Bagaimana kasus e-KTP ini menjadi pengaruh hitung-hitungan kedepan, tahun 2019 akan sangat terasa dampaknya,” lanjutnya.

Qodari mengingatkan, partai tentu sangat hati-hati ketika mengkampanyekan anti korupsi. “Isu-isu korupsi akan berpengaruh terhadap elektabilitas. Tapi tidak bisa partai lain mengambil suara yang tidak percaya kepada partai, karena suara sifatnya hanya pindah tempat saja,” tukasnya.

Sejumlah narasumber yang hadir sepakat KPK harus punya kontruksi hukum yang kuat. Jangan sampai ada tafsir KPK bergerak karena motivasi parpol, apalagi menjadi kendaraan partai politik. Kredibilitas KPK harus dipertaruhkan, modal sosial yang besar ini jangan sampai rusak karena beberapa hal. Seperti pernyataan elite KPK yang tidak proporsional dan kerangka hukum yang tidak tetap. KPK kali ini menghadapi tantangan dengan kasus-kasus yang sebelumnya, karena muatan politisnya sangat besar. Jangan sampai muara kasus e-KTP ini berujung pada pemilu 2019.

Selain itu, Agus Sunaryanto Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), menduga KPK makan bubur dari pinggiran dalam dimensi pengadaan barang dan jasa yang akan menjerat pengguna dan jasa.

“Kalau terdakwa di level eksekutif (Mendagri, red), menurut saya tinggal menunggu waktu swastanya seperti Andi Narogong kapan dijerat. Tinggal masuk ke perencanaan anggaran. Ini yang menurut saya menjadi persoalan karena bisa saja nanti melibatkan yang lain.”

Peneliti ICW ini menuturkan, kasus e-KTP merupakan cash and carry, karena apabila lewat ATM bisa dilacak oleh PPATK. Bisa saja dicicil berapa kali, sifatnya teknis dan KPK bisa membuktikan.

“Dalam semua kasus yang ditangani KPK tidak semua dakwaan yang tertera di proses oleh KPK. Menurut saya KPK belum menemukan predikat crime pada dakwaan yang disebut. Dari kesaksian terdakwa KPK perlu legitimasi. Saya sepakat prosesnya ini bakal lama,” terangnya.

Pada prinsipnya semua harus dibuktikan di Pengadilan, masing-masing harus bisa membuktikan dakwaan tidak tepat dan KPK sebagai Jaksa Penuntut Umum bisa membuktikan. Sehingga masyarakat percaya KPK bekerja sesuai rel dan tidak diintervensi.

Mantan Direktur Tindak Pidana Korupsi, Kejagung & Komisioner KPK PN Chairul Umam terkejut dengan surat dakwaan kasus e-KTP setebal 121 halaman. “Terus terang saya bekerja di Kejaksaan hampir 40 tahun melihat surat dakwaan sampai 121 halaman baru sekarang ini. Saya khawatir orang membaca ditengahnya sampai lupa yang di depannya,” ujar Chairul.

Ia mempertanyakan surat dakwaan itu hanya tindak pidana korupsi, tidak tindak pidana pencucian uang, karena di dalam TPPU penyidik juga tindak pidana asal. Kemudian TPPU lebih mudah karena satu kali saja uang itu berpindah tangan sudah dibilang TPPU.

“Saya tidak tahu kenapa tidak dijadikan satu berkas pidana saja bersama-sama. Kadang-kadang ada satu perkara tersangkanya banyak, untuk tersangka pertama dicarikan saksi yang merupakan terdakwa kedua dan ketiga. Dakwaannya akan berlapis dan efek jeranya lebih tinggi,” kata Chairul.

Chairul mengapresiasi apabila kasus e-KTP bisa selesai dalam dua tahun karena akan panjang sekali. Akan panjang ceritanya karena ada yang mengembalikan uang tapi tidak dimasukkan bersama, karena tidak sesuai UU No. 4 tahun 1999 tentang pasal korupsi. Tidak dihapuskan pidana dari pasal 2 dan 3. “Kalau di UU No. 3 tahun 1971 tidak diatur tapi dilaksanakan,” ujarnya. I

Reporter : Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *