Peristiwa masa lalu memang mustahil diubah. Namun, perubahan di masa kini dan masa depan tidak jarang dimotivasi oleh masa lalu.
Wartapilihan.com, Jakarta –Pembantaian di Bosnia dan di Myanmar (Rohingya) hanyalah dua contoh nyata yang mengungkit dan mengangkat masa lalu untuk membenarkan masa kini. Sama halnya dengan penaklukan Anatolia (kerajaan Romawi Timur alias Byzantium) oleh Turki Usmani yang masih meninggalkan trauma di dalam benak orang-orang Eropa hingga saat ini. Begitu pula pembunuhan masal yang dilakukan oleh kaum Yahudi Israel di Palestina. Dasar hukumnya adalah masa lalu alias ‘dalil sejarah’ (historical argument). Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Dr. Syamsuddin Arif dalam sebuah seminar nasional di bilangan Kalibata, Jakarta.
“Inilah sebabnya mengapa kita mesti sadar betapa pentingnya masa lalu. Dan inilah sebabnya mengapa semua orang berlomba-lomba menulis masa lalu. Pemenang maupun pecundang, mayoritas maupun minoritas, merasa perlu mengetahui dan menguasai masa lalu, betapapun jauhnya itu,” ujar Syam.
Maka benarlah kata David Lowenthal, lanjut Syam, bahwa masa lalu merupakan medan tarung antara pelbagai kelompok, golongan, dan kekuatan yang bersaing satu sama lain. Masing-masing berusaha saling mengatasi dan memenuhi ambisi masa kininya dengan mencari pembenaran dari masa lalu.
“The past is everywhere a battleground of rival attachments, where competing groups struggle to validate present goals by appealing to continuity with, or inheritance from, ancestral or other precursors,” tuturnya mengutip pernyataan David Lowenthal.
Dalam pemaparannya, Syam menjelaskan masa lalu umat Islam di Semenanjung Iberia yang dulu pernah –lebih dari 700 tahun lamanya– disebut Bilād al-Andalus (‘Negeri kaum Vandals’) mulai daru proses kemunculan, kejayaan, kemerosotan,
dan akhirnya kehancuran Peradaban Islam di wilayah yang di masa kini bernama Spanyol dan Portugal.
“Meskipun kegiatan ilmiah masih berlangsung pasca pecahnya wilayah Muslim pada tahun 1031 menjadi kerajaan-kerajaan kecil dengan penguasa-penguasa lemah yang dijuluki Mulūk at-Ṭawā’if, secara politik boleh dikata Andalusia semenjak itu memasuki periode kemerosotannya,” jelas Syam.
Menurutnya, ada beberapa faktor utama
yang menyebabkan erosi kekuatan Islam mulai abad ke-11 Masehi, yaitu: Pertama, invasi raja-raja Kristen dari utara. Kedua, disintegrasi politik dan fragmentasi territorial akibat pertikaian dan persaingan antara ‘raja-raja kecil’ (Mulūk at-Ṭawā’if) yang sebagian justru bersekutu dengan penguasa Kristen untuk mempertahankan wilayahnya. Ketiga, pengkhianatan sebagian orang-orang Yahudi, Mozarabes dan Muwalladun terhadap kedaulatan khilafah (‘Negara Kesatuan Islam Andalusia’) yang telah dibangun oleh ‘Abdu’r-Raḥmān.
“Akibat dari semua itu mudah ditebak. Satu persatu pilar-pilar kejayaan
Andalusia runtuh: keamanan, kedamaian, kebebasan, kesejahteraan, dan
kemajuan berangsur-angsur hilang digantikan oleh kerusuhan, konflik,
penindasan, diskriminasi, dan akhirnya Reconquista yang disertai dengan
bermacam-macam kekerasan seperti persekusi (pemburuan dan penangkapan), inkuisisi (penyidangan dan penyiksaan), konversi (pemurtadan) secara paksa, dan ekpulsi (pengusiran),” paparnya.
Kaum Muslim, kata Syam, memang tidak serta merta lenyap dari bumi Andalusia.
Sebagian mereka yang tunduk kepada penguasa baru, dengan tetap bertahan
sebagai Muslim, dinamakan Mudejar (dari bahasa Arab mudajjan:), sementara sebagian lainnya yang terpaksa dan dipaksa murtadd menjadi Kristen kemudian disebut Moriscos. Penguasa baru memanfaatkan Mudejar untuk mereka jadikan pekerja ladang, pembantu, penterjemah, dan sebagainya. Pada mulanya, keselamatan mereka dijamin oleh raja. Namun, setelah terjadi pemberontakan pada tahun 1264, golongan Mudejar semakin ditekan dan sesudah pemberontakan kedua di Granada pada tahun 1499, maka pada tahun 1502 mewajibkan semua Mudejar masuk Kristen atau meninggalkan Spanyol.
“Demikianlah akhir dari cerita orang Islam di Andalusia. Persekusi masal terhadap Moriscos yang dikatakan crypto-Muslims itu terjadi lagi pada tahun 1727 di Granada. Namun, pada tahun 1767 muncul kesepakatan antara kerajaan Spanyol dan Marokko untuk saling menjamin kebebasan beragama orang Islam dan orang Kristen di wilayah negara masing-masing,” tutupnya.
Ahmad Zuhdi