Paska dolar naik, Kementerian Keuangan sangat ketat mengawasi masuknya barang-barang impor, yaitu gadget. Namun hal ini berdampak pada timbulnya pasar gelap.
Wartapilihan.com, Jakarta — “Memang pembelian (gadget) menurun yang formal tetapi yang ilegal menjadi tidak terdeteksi karena tidak e-war; kebijakan ini juga menimbulkan pasar gelap yang itu belum diantisipasi tampaknya,” kata Eva Sundari, Anggota Komisi XI DPR RI, dalam Forum Legislasi bertemakan ‘Negara Rugi Triliunan Rupiah, Revisi KUHP Sentuh Penyelundupan gadget Ilegal?’, Selasa, (6/11/2018), di Jakarta.
Eva mengatakan, hal ini bukan hanya urusan gadget, tetapi kebijakan baru yang dicanangkan pemerintah untuk membatasi impor barang mewah seperti gadget menimbulkan dampak baru berupa maraknya pasar gelap.
“Sekarang yang mengkhawatirkan adalah ekses dampak dari kebijakan untuk mengontrol impor bahan baku dari luar, karena kebutuhan di dalam itu sangat tinggi sekali sementara pintu masuk diketuai oleh PP Menkeu, mungkin itu yang paling bisa dilihat di tekstil, ini juga patut diwaspadai,” jelas dia.
Adapun mengenai gadget, menurut dia hal ini sebetulnya tak terlalu mengkhawatirkan karena sudah ada mekanisme untuk menelusuri asal tadi koordinasi di penegakan hukum.
Justru menurut Eva, yang paling penting adalah bagaimana penegak hukum melaksanakan penertiban semaksimal mungkin.
“Jadi isunya menurut saya lebih kepada integritas gakum atau para penegak hukum dalam hal ini terutama adalah Bea Cukai dan pelabuhan, lalu kepolisian, terakhir DJP,” tegasnya.
Ia menekankan, kunci dari permainan impor barang mewah ini ada di Bea Cukai.
“Jadi, Bea Cukai lebih penting untuk memastikan arus masuk barang impor ini menjadi legal,” tukas dia.
Sebaik apapin KUHP dirancang, jika integritas penegakan hukumnya rendah, hal ini menurut Eva sama saja. “Ya sama aja. Jadi lebih lebih baik memperbaiki operasionalisasi dari regulasi yang sudah ada,”
Kedua, menurut dia, yang lebih penting lagi yaitu memastikan bagaimana teman-teman di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempunyai akses terhadap data. Pasalnya, jika datanya tidak ada, maka tidak akan berfungsi.
“Data ini mereka dapatkan apabila ada komitmen politik yang baik diantara para penyuplay data tersebut dan saya juga gembira karena akhirnya DJP masuk kedalam tim yang areanya adalah penegakan hukum,”
Kendati demikian ada beberapa catatan untuk DJP. Pertama, ia menekankan seharusnya DJP ditempatkan lebih jauh, lebih hulu lagi, contohnya ketika investasi paling banyak dari China.
“Itu harusnya temen-temen DJP sudah ditempatkan di Hongkong ataupun di Guangzhou, jadi mereka yang masuk ke sini itu sudah tahu apa yang harus dilakukan dan kemudian tidak blank begitu,” pungkas Eva.
Eveline Ramadhini dan Ahmad Zuhdi