Pemerintah secara sepihak membubarkan ormas tanpa hak membela diri dan tanpa “due process of law” (proses penegakan hukum yang adil dan benar sesuai asas negara hukum).
Wartapilihan.com, Jakarta -‘Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Riza Patria menyarankan agar pemerintah merevisi Perppu Ormas yang akan di paripurnakan pada 24 Oktober mendatang. Menurut dia, penerapan Perppu sangat berbahaya bagi kehidupan bangsa Indonesia dan dapat digunakan oleh rezim yang akan datang.
“Pemerintah tidak boleh diberikan otoritas yang berlebihan, itu namanya kewenangan absolut. Mengambil kewenangan yudikatif oleh eksekutif merupakan hal yang sangat fatal,” ujar Ahmad Riza Patria kepada wartawan usai mengikuti RDP dengan Ormas-Ormas Islam di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (19/10).
Selain itu, Riza menyoroti hukuman pidana dalam Perppu yang dapat menjerat pimpinan dan anggota pasif dalam suatu Ormas dengan hukuman 15 sampai 20 tahun penjara, bahkan seumur hidup. Hal tersebut, lanjutnya, jelas melanggar prinsip keadilan, HAM dan demokrasi dalam berbangsa dan bernegara.
“Harapan kami tentu fraksi-fraksi lain memahami dan mengerti. Jangan atas nama Pancasila, menuduh dan menuding Ormas atau orang lain anti Pancasila, justru orang yang seperti itulah yang tidak Pancasila,” jelas politisi partai Gerindra itu.
Terlebih, tegas Riza, dalam Undang-Undang Ormas Nomor 17 Tahun 2013 banyak Ormas-Ormas seperti NU dan Muhammadiyah yang mempertanyakan substansi UU tersebut. Ditambah, dalam Perppu 2/2017 pasal-pasal Pengadilan dihapus.
“Ini (Perppu) seperti arogansi kekuasaan, otoriter, kemunduran demokrasi, bentuk represif, tafsir absolut, bahkan Kementerian saja dapat menilai orang itu bertentangan dengan Pancasila atau tidak. Memasuki tahun terakhir pemerintahan Jokowi, harusnya pemerintah lebih akomodatif, membangun sinergitas, persatuan. Bukan mengambil jarak dan membatasi diri dengan rakyat,” tandasnya.
Sementara itu, juru bicara (Jubir) Front Pembela Islam (FPI) Munarman menyebut, polemik Perppu merupakan bukan saja polemik hukum tetapi juga polemik politik . Kewenangan pemerintah harus dijalankan sesuai dengan parameter konstitusi. Sebab, apabila digunakan paramater lain, hanya mengedepankan kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang tidak menginginkan Islam menjadi kekuatan dalam berbagai aspek.
“Secara prosedural dan historika sejak jaman Soekarno, Perppu dikeluarkan dalam keadaan memaksa. Yaitu adanya bencana alam yang luar biasa, kerusuhan sosial dan terjadi perang. Tetapi hal itu tidak dijelaskan dalam Perppu Ormas (2/2017). Dan dimana letak kekosongan hukumnya? Kalau kita cek justru malah Undang-Undang Keormasan dipangkas, kurang lebih ada 17 pasal,” tegas Munarman.
Selain itu, secara substansial imbuh Munarman, penetapan Perppu merupakan pelanggaran luar biasa terhadap warga negara yang menganut negara hukum (rechstaat). Menurutnya, pembatasan hak-hak konstitusi masyarakat dapat dilakukan ketika terjadi darurat sipil dan darurat militer.
“Di dalam hukum pidana tiada hukuman tanpa (seseorang melakukan) kesalahan. Tetapi dalam Perppu bisa dilakukan hanya karena dia menjadi anggota suatu Ormas yang dianggap bersebrangan dengan Pemerintah. Maka sudah sangat layak Perppu ini tidak disetujui oleh DPR,” saran dia.
Sementara itu, terkait ide khilafah, menurut Ahli, Prof. Dr. Abdulgani Abdullah, simpul Ismail Yusanto, mendakwahkan khilafah tidak bisa dianggap melanggar hukum atau bertentangan dengan Pancasila karena masih sebatas staat phylosopy norm, bukan staat fundamental norm. Bahkan bila dengan dasar Perppu itu pemerintah membubarkan sebuah Ormas yang menganut atau menyebarkan ajaran mengenai sistem politik dan pemerintahan yang mempunyaj dasar agama dalam al Quran dan As Sunnah, serta pernah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW lalu diikuti oleh para sahabat, maka Perppu tersebut, menurut Ahli, Dr. Abdul Chair Ramadhan, bisa berakibat menodai atau mengkriminalisasi ajaran agama Islam.
“Oleh karena itu, menuduh syariah dan khilafah sebagai ancaman, dan mengkriminalisasi ormas Islam, sementara terhadap kapitalisme, sekulerisme, neoliberalisme dan neoimperialisme dan kelompok-kelompok penganut paham itu malah dibiarkan saja, ini tak ubahnya bagai orang yang sedang dirundung berbagai macam penyakit, tapi obat yang diberikan malah dibuang dan dokter yang hendak menyembuhkan ditendang. Maka pasti sakitnya makin parah,” tandas Ismail.
Ahmad Zuhdi