Kerangka kebijakan yang tersedia masih memuat kesenjangan, kontradiksi dan kemunduran yang justru menghalangi negara untuk dapat menyelesaikan konflik secara tuntas, termasuk untuk memulihkan hak-hak perempuan korban.
Wartapilihan.com, Jakarta –Tahun 2018 merupakan momentum 20 tahun perjalanan Reformasi yang telah dilalui oleh bangsa Indonesia dengan berbagai tantangan. Diantaranya adalah konflik kekerasan, yang telah mengawali reformasi dan terus berulang mewarnai dua dekade perjalanan Reformasi. Demikian disampaikan komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah di Jakarta, Kamis (24/5).
“Isu konflik tidak dapat dipisahkan dari persoalan kekerasan terhadap perempuan, karena konflik secara khusus menyasar dan memberikan kerentanan tersendiri bagi perempuan, baik dalam kapasitasnya sebagai korban, maupun sebagai agen perdamaian,” ujar Yuniyanti.
Sebagai lembaga HAM dengan mandat khusus penghapusan kekerasan terhadap perempuan, lanjutnya, Komnas Perempuan telah melakukan kajian terhadap sejumlah kebijakan yang telah dikeluarkan Negara dalam menyikapi konflik selama 20 tahun Reformasi, serta implikasi dari kebijakan tersebut terhadap penyelesaian konflik dan pemenuhan hak korban, serta pembangunan perdamaian yang berkelanjutan.
“Temuan kami dalam kajian kebijakan ini, dua puluh tahun Reformasi memperlihatkan adanya kemajuan dalam kebijakan untuk penyikapan berbagai konteks konflik di Indonesia. Tetapi kemajuan tersebut belum memberikan manfaat yang optimal untuk pemenuhan HAM perempuan (khususnya korban konflik) dan untuk membangun perdamaian yang sejati,” paparnya.
Hal ini, kata dia, disebabkan karena kerangka kebijakan yang tersedia masih memuat kesenjangan, kontradiksi dan kemunduran yang justru menghalangi negara untuk dapat menyelesaikan konflik secara tuntas, termasuk untuk memulihkan hak-hak perempuan korban.
“Kerangka kebijakan penyikapan konflik yang secara bersamaan memuat kemajuan, kesenjangan, kontradiksi dan kemunduran tersebut adalah konsekuensi dari politik hukum yang mencerminkan proses reformasi yang mengalami defisit demokrasi, akibat maraknya praktik politik transaksional, primordial, korupsi, dan penggunaan
politik identitas,” ujarnya.
Di samping itu, model pembangunan yang masih menguntungkan sebagian saja dari masyarakat, mengutamakan pendekatan keamanan dalam penanganan gugatan warga, serta minim pelibatan substantif bagi perempuan maupun golongan-golongan masyarakat lain yang selama ini dipinggirkan, turut menghadirkan peluang bagi lahirnya kebijakan yang diskriminatif.
“Situasi ini diperburuk dengan mekanisme desentralisasi yang belum dilengkapi dengan sistem pengawasan yang mumpuni,” jelas dia.
Selain itu, cara pandang dan pendekatan negara terhadap perdamaian yang bersifat pragmatis menghasilkan produk dan implementasi kebijakan yang justru berpotensi menghadirkan konflik baru dan mengukuhkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan struktural, termasuk antara laki-laki dan perempuan.
“Komitmen politik yang tidak konsisten, kapasitas penyelenggara negara yang terbatas, serta cara kerja yang belum koordinatif, menyebabkan mekanisme dan institusi penyikapan konflik yang dibentuk tidak bekerja maksimal, dan program penanganankonflik serta dampaknya menjadi kurang efektif, minim inovasi, dan abai pada pengalaman khas perempuan dalam konflik,” terangnya.
Dikatakan Yuniyanti, kepemimpinan perempuan dan masyarakat sipil dalam menyikapi konflik, akar penyebab, dan dampaknya, belum didukung dengan kerangka kebijakan afirmasi yang optimal, bahkan sebaliknya dibatasi dengan kebijakan yang administratif-birokratis, mendiskriminasi, dan bahkan mengkriminalkan.
Berdasar temuan tersebut, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi kepada negara (pemerintah). Pertama, engintegrasikan penyikapan konflik secara holistik ke dalam Rencana Pembangunan Nasional (RPJP 2020-2045 dan RPJMN 2020 -2025), untuk memastikan tujuan pembangunan yang inklusif dan perdamaian yang berkelanjutan dapat dicapai, terutama dengan memprioritaskan program-program yang dapat mengantisipasi berbagai bentuk kerentanan baru dan mencegah konflik berulang.
Kedua, mengembangkan cara kerja yang lebih komprehensif dan holistik dalam penyikapan konflik, termasuk membangun pemahaman yang utuh, kritis dan relektif mengenai konflik dan faktor-faktor di tingkat makro maupun mikro.
“Ketiga, menggunakan secara saling melengkapi (complementary) terobosan-terobosan dari kebijakan-kebijakan yang telah ada, untuk mengatasi kesenjangan kebijakan dan untuk memastikan pemanfaatan optimal dari kemajuan-kemajuan yang tersedia di dalam kebijakan, bagi kepentingan pemenuhan hak korban dan pembangunan perdamaian,” ucapnya.
Keempat, menguatkan perlindungan dan pertanggungjawaban hukum dalam penyikapan konflik, termasuk mengembangkan mekanisme untuk memastikan dijalankannya putusan pengadilan yang telah inkrah oleh pemerintah, sebagai bagian dari langkah penyelesaian tuntas konflik.
“Kelima, menyusun dan melaksanakan langkah-langkah terobosan untuk menguatkan proses pemulihan dan pembangunan inklusif bagi korban konflik, dengan perhatian khusus pada perempuan dan kelompok-kelompok rentan diskriminasi,” tandasnya.
Keenam, memastikan akses dan kemudahan bagi perempuan, terutama korban konflik, dalam proses pengambilan keputusan yang responsif, inkusif, partisipatif dan representatif, di semua tingkatan.
“Dan ketujuh, mengembangkan ketahanan masyarakat/ketahanan sosial dalam mengantisipasi kerentanan baru dan mencegah berulangnya konflik, serta berkontribusi pada perlindungan dan pemulihan korban serta warga yang terimbas konflik,” pungkasnya.
Ahmad Zuhdi