“Sistem politik dalam Islam menjelaskan posisi pemimpin bukan ulama, tapi berada di bawah kontrol ulama. Ini sejarah politik dalam Islam dan kunci peradaban Islam. Ketika para ulama menempati posisi tertinggi, maka Insya Allah akan mendatangkan keberkahan,” terang Gus Ramli.
Wartapilihan.com, Jakarta –– Menghadapi pesta demokrasi 2018-2019, pranata-pranata sosial keagamaan menempati posisi strategis dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat. Pergantian kepemimpinan tidak hanya dilakukan sebagai selebrasi demokrasi, tetapi harus mampu melahirkan peradaban Islam dan mencetak generasi rabbani.
Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) menginisiasi kegiatan Tabligh Akbar dengan mengusung tema “Pemimpin, Kebangkitan Peradaban Islam” di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (19/1). Sesuai visinya, MIUMI menitikberatkan format gerakan menjadi lembaga kepemimpinan formal Islam terdepan dalam penegakkan nilai-nilai Islam dan membangun wibawa kepemimpinan formal Islam, yang bisa dipercaya umat melalui good governance.
Anggota MIUMI Pusat Henri Shalahuddin mengatakan Islam adalah agama yang komprehensif. Tidak hanya menyangkut ibadah transedental, tetapi juga mengatur seluruh aspek kehidupan. Hal itu tertuang dalam Surah Al-Maidah Ayat tiga saat Rasulullah melaksanakan haji wada.
“Janga dikira Islam hanya mengatur ibadah shalat dan zakat, tapi Islam sebagai pioneer peradaban. Dan peradaban dalam Islam adalah ilmu,” ujar peneliti INSIST membuka forum kajian.
Ulama Jawa Timur Gus Idrus Ramli menjelaskan kepemimpinan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan hadits nabi yang menjelaskan lima fase perjalanan hidup dalam Islam. Mulai dari fase nubuwwah sampai fase kedatangan Imam Mahdi. Menurutnya, pemimpin tertinggi dalam Islam adalah ulama. Hal itu tertuang dalam Surah Al-Hujuraat yang menjelaskan bahwa Allah mengangkat derajat para ulama (ahli ilmu).
“Sistem politik dalam Islam menjelaskan posisi pemimpin bukan ulama, tapi berada di bawah kontrol ulama. Ini sejarah politik dalam Islam dan kunci peradaban Islam. Ketika para ulama menempati posisi tertinggi, maka Insya Allah akan mendatangkan keberkahan,” terang Gus Ramli.
Ustaz Zaitun Rasmin menyatakan, di tengah pesimisme persatuan dan kesatuan umat Islam, MIUMI diharapkan mampu menjadi pelopor perekat umat. Persoalan keummatan, saat ini, kata Zaitun, tidak hanya terkait Syi’ah dan Liberal tetapi juga al-wala wal bara (kepatuhan dan ketidaktaatan terhadap pemimpin).
“Para ulama sejak dulu lebih mendahulukan persatuan, bukan mengedepankan perbedaan. Alhamdulillah momentum persatuan umat dimulai sejak aksi 212 dan hal itu dipelopori oleh MIUMI serta komponen-komponen lain,” ungkap Zaitun.
Salah satu peran penting ulama, lanjut Zaitun adalah sebagai jembatan dalam menjaga stabilitas persatuan dalam bingkai amar ma’ruf nahyi munkar. Di antara ulama besar, kata Zaitun adalah Said Ibnu Zubair yang jatuh di tangan penguasa fasiq karena istiqamah dalam mempertahankan prinsip.
“Bukan saja para ulama kita tampil dalam jihad melawan orang kafir, tetapi juga berkorban dalam hidupnya untuk amar ma’ruf nahyi munkar,” tuturnya.
Problematika akut dan patologi sosial seperti LGBT, mafia Sumber Daya Alam, kejahatan secara sistematis, dan kerusakan yang timbul akibat keserakahan manusia, saran pimpinan Wahdah Islamiyah itu, harus menjadi konsen ulama dan umat Islam dalam rangka menyampaikan dakwah.
“Begitu ulama tampil menyampaikan, disebut ulama radikal dan di kriminalisasi. Keberanian ulama akan membangkitkan kesadaran umat untuk sama-sama melakukan perbaikan,” tukas Zaitun.
Sekjen MIUMI Pusat Ustaz Bachtiar Nasir menyayangkan ghirah umat Islam yang sedang tinggi tidak dibarengi dengan ketidaksesuaian pemimpin yang ada. Bachtiar merekomendasikan ijtihad syar’i yaitu musyawarah masing-masing elemen umat Islam.
“Jadi nanti tokoh Jabar, Jatim, Sulawesi, Sumatera, dan lain-lain harus mengedepankan syura (musyawarah). Hari ini, memilih pemimpin didasarkan kedekatan bukan mengedepankan musyawarah. Untuk kepentingan-kepentingan publik tidak boleh seperti melakukan hal kecil, karena dia berdampak kepada hal lebih luas,” ujar Bachtiar.
Dengan melakukan musyawarah, kata Bachtiar, hal itu merupakan bagian dari ibadah dan menjalankan ayat Al-Qur’an; wa syawirhum fil amr.
“Syura dianjurkan dalam membahas hal-hal yang mubah, bukan hal-hal yang qath’i (prinsip). Ke depan untuk Indonesia diberkahi, saya anjurkan harus ada lembaga syura umat Islam,” saran Ketua GNPF-Ulama itu.
Melanjutkan Bachtiar, Ketua MIUMI Pusat Hamid Fahmi Zarkasyi menekankan ilmu dalam memilih dan mempertimbangkan calon pemimpin yang akan dipilih.
“Untuk bersyahadat saja kita pakai ilmu. Setelah syahadat, kita harus mengetahui rukun Islam dan iman. Tapi saya bingung di Pilkada Jakarta kemarin, sebagian umat Islam memilih pemimpin tidak di dasari dengan ilmu,” terang Hamid.
“Siapa yang menjalankan rukun Islam dan iman dengan ilmu, saya yakin amalnya baik,” sambungnya.
Sebab itu, Hamid menyarankan peserta tabligh akbar untuk menyemarakkan kajian dan tradisi ilmu serta mengambil pelajaran dari ulama dan pejuang Islam dalam sejarah, seperti Muhammad Al-Fatih.
“Dia (Muhammad Al-Fatih) menghasilkan Turki dengan tradisi shalat subuh, infaq dan waqaf berjalan. Bahkan, Turki hari ini menjadi negara industri kelima di dunia. Dimana sebelumnya arus sekularitas sangat tinggi. Dengan zakat dan infaq serta kualitas pemimpin yang mumpuni akan membawa negara ke arah yang lebih baik,” papar peneliti dan pendiri INSIST.
Hamid mengatakan, tidak semua ulama berpotensi menjadi umara. Hal itu seperti tersirah ketika Abu Dzar Al-Ghifari meminta menjadi pemimpin namun ditolak Rasulullah. Sedangkan Khalid bin Walid yang baru masuk Islam diberikan kepercayaan memimpin.
“Disinilah kolaborasi ilmu dan amal dijalankan,” pungkasnya.
Hadir dalam Tabligh Akbar tersebut Ketua MIUMI Pusat Hamid Fahmi Zarkasyi, Sekjen MIUMI Bachtiar Nasir, Anggota MIUMI Pusat Zaitun Rasmin, Idrus Ramli, Henri Shalahuddin, dan peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Rasyid Ridho.
Ahmad Zuhdi