Seorang ibu (NW) membunuh anaknya (GW) yang berusia 5 tahun dengan menyemprotkan obat nyamuk ke wajahnya dan membekap kepalanya dengan plastik. Belakangan juga sedang gempar, berita seorang suami yang menembak mati istrinya, tak puas hanya satu, tapi dengan enam peluru. Ada apa?
Wartapilihan.com, Jakarta –Di dalam keluarga sebagai unit terkecil terkandung unsur ayah, ibu dan anak sebagai penopang satu sama lainnya. Sebagai orang terdekat, sering terjadi percikan konflik yang ternyata dapat berujung maut.
Hal ini menurut Reza Indragiri Amriel, pakar psikologi forensik, sosok terdekat justru dapat menjadi sosok yang paling mengganggu. Pada kasus ibu yang membunuh anaknya, misalnya, Reza mengatakan, tidak begitu mudah bagi seorang perempuan mencari perlawanan.
“Dia (bisa saja) dilarang bicara atau cerita kepada siapapun, sehingga tekanan batin semakin menumpuk. Maka, terjadilah perilaku pelampiasan kepada target yang lain, anak misalnya,” kata Reza.
Ia menambahkan, perilaku yang dapat jadi pelampiasan tersebut bertingkat-tingkat, yakni dari tataran yang sangat sepele hingga yang paling berat. “Dari yang sepele, berat, semakin parah. Awalnya celotehan, bentakan, naik lagi jadi pukulan. Bereskalasi lagi menjadi menggunakan senjata tajam,” tutur dia.
Sementara itu, pada kasus suami yang membunuh istrinya disinyalir karena adanya tekanan dari obat yang diminumnya, juga sifat sang suami yang kasar dan keras. Pada Senin, (13/11/2017), dilakukan rekonstruksi ulang pembunuhan di ruangan terbuka dengan 23 adegan. Tak dinyana, banyak pihak yang berteriak dan memaki sang suami tersebut.
Mereka tak terima atas perlakuan penembakan yang termasuk dalam kekerasan hingga sang istri yang seprofesi dengannya berupa dokter meregang nyawa akibat enam buah peluru yang bersarang di sekujur tubuhnya.
Reza mengatakan, kondisi sang suami bisa saja karena memendam amarah yang berlarut-larut. Pasalnya, tidak hanya satu peluru, tetapi sampai enam peluru yang ia tembakkan. “Ada rasa puas di situ (bagi pelaku), sehingga tidak cukup satu peluru,” tukas Reza.
Adapun tekanan sosial yang ia alami, Reza mengungkapkan, akan ada penyesalan. Namun sebelum penyesalan tersebut, ada gerbang berupa pelaku yang mulai menyadari bahwa terjadi konsekuensi buruk, salah satunya caci-maki ketika ia melakukan rekonstruksi ulang bersama kepolisian.
“Seorang pelaku kejahatan bisa shock ketika dia tahu ada konsekuensi buruk, baru masuk ke gerbang penyesalan,” tandas Reza.
Sedangkan daya tahan terhadap tekanan, setiap pelaku memiliki daya tahannya masing-masing terhadap rasa stres tersebut. “Jika stres itu tidak di-manage, maka bukan tidak mungkin akan semakin mengarah pada gangguan jiwa,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini