Istilah pelakor yang merupakan kepanjangan dari ‘perebut laki orang’ kini tengah viral di media sosial. Belakangan viral sebuah video seorang perempuan yang memaki sahabatnya sendiri lantaran dianggap telah merebut suaminya. Di video itu, dia menghambur-hamburkan uang, yang katanya dalam rangka membeli harga diri. Namun, adilkah menyebut perempuan lain sebagai pelakor?
Wartapilihan.com, Jakarta — Cahayadi Takariawan selaku konsultan keluarga menanggapi soal ini. Menurutnya, hal itu tidak etis oleh pasal melanggar banyak kaidah etika dan moral dalam pengunggahan, penyebaran serta pemberitaan yang mengabaikan asas praduga tak bersalah.
“Jauh dari ajaran Islam untuk melindungi kehormatan sesama muslim, juga jauh dari nilai budaya bangsa yang mengedepankan budi pekerti luhur,” kata Cahayadi, di Kalibata, Kamis, (22/2/2018).
Jika banyak netizen yang menganggap itu adalah kejadian lucu yang menjadi bahan candaan, Cahayadi kurang setuju karena justru itu adalah perbuatan menyebarkan aib orang yang belum tentu bersalah.
Ia pun membahas soal istilah pelakor secara umum, bukan merujuk pada kasus di atas. Menurut Cahayadi, istilah pelakor ini absurd, karena seakan menuduh pihak perempuan sebagai perebut suami orang.
“Padahal jika kita perhatikan dengan seksama, bisakah merebut suami orang? Jika bisa, coba kita tanyakan lagi, sebab apa suami orang bisa direbut? Apakah suami orang itu melakukan perlawanan ketika direbut? Apakah suami orang itu justru yang aktif menggoda perebut dan meminta agar dirinya direbut? Jika terjadi demikian, apakah pelakunya masih layak disebut sebagai perebut?” Ia bertanya-tanya.
Pentingnya Bonding dengan Pasangan
Penulis Buku Serial Wonderful Family ini mengatakan, keterikatan suami istri (bonding) ialah hal yang sangat kuat, erat, dan melekat teramat sangat. Tidak ada ikatan antara satu orang dengan orang lainnya yang melebihi kekuatan ikatan antara suami dan istri. Berbeda dengan ikatan dalam dunia bisnis, pertemanan, organisasi, atau ikatan kerja yang bercorak terbatas dan tertentu jenisnya. Dalam pernikahan, bonding terjadi secara sedemikian sempurna.
“Ikatannya bersifat lahir batin, sebuah bonding yang sedemikian menyatu, sehingga banyak pasangan berjanji “hanya kematian yang bisa memisahkan kita”. Lanjut dia.
Ia menerangkan, minimal ada lima jenis ikatan atau bonding yang terjadi antara suami dan istri, yaitu (1) ikatan agama, (2) ikatan motivasi dan visi, (3) ikatan administrasi pemerintahan, (4) ikatan cinta dan kasih sayang, dan (5) ikatan fisik.
Melihat istilah Pelakor yang sangat booming ini tentylu patut dipertanyakan oleh Cahayadi, apakah seandainya lelaki ini berhasil ‘mencuri’ istri orang, ia juga disebut sebagai pebinor, perebut bini orang? Atau tetap saja peristiwa itu dialamatkan sebagai perbuatan pelakor?
“Ini tentu sebentuk ketidakadilan dan keserampangan dalam memberikan tuduhan, karena tidak melihat kepada sebab, alasan dan juga proses yang menyertai peristiwa itu.
Sebenarnya, sangat rumit untuk mendefinisikan, siapa merebut siapa. Seringkali yang terjadi adalah saling tertarik dan saling mendekat. Tidak ada yang merebut, tetapi mendekat semakin dekat, hingga akhirnya lepas sendiri,” imbuh Cahayadi.
Ia menyampaikan, analogi yang sama pun ketika ada perempuan ingin ‘mencuri’ atau merebut suami orang. Bukankah si suami tengah terikat kuat dengan istrinya? Apa iya istrinya tidak menjaga dan bahkan membiarkan saja si pencuri leluasa membawa pergi sang suami? Jika demikian, menurutnya, betapa lemah istri tersebut, tidak bisa menjaga dan mempertahankan suami.
“Jika demikian, betapa lemah bonding sang suami dalam kehidupan pernikahan mereka. Setelah kejadian, lalu sang istri baru sadar bahwa suaminya direbut orang, kemudian ia berteriak-teriak “tolong… tolong… suamiku direbut orang”. Apa kata dunia…” tukasnya.
Di antara tugas hidup berumah tangga, Cahayadi menambahkan, adalah saling menjaga satu dengan yang lainnya. Suami harus menjaga dan melindungi istri, demikian pula istri harus menjaga dan melindungi suami.
Pasalnya, keduanya telah terikat dalam bonding yang sangat lekat, seharusnya mereka selalu berada dalam posisi yang sama setiap kali berhadapan dengan masalah yang muncul dari luar.
“Misalnya ketika ada perempuan ‘nakal’ yang menggoda suami, semestinya istri semakin menguatkan bonding dengan suami untuk menghadapi godaan itu bersama-sama. Sekuat apapun godaan si perempuan, kalau bonding antara suami dan istri tersebut kuat, tentu si penggoda tidak akan berhasil,” tekannya.
Kalaupun ada penggoda yang berhasil mendapatkan ‘barang curian’ berupa suami atau istri orang, maka ia menekankan, yang harus menjadi evaluasi adalah bagaimana suami atau istri menjaga dan melindungi pasangan? Sekuat apa bonding yang tercipta di antara mereka? Faktor apa yang membat bonding demikian lemah, sehingga suami atau istri lebih tertarik kepada orang lain?
“Bagaimanapun, tindakan mencuri atau merebut adalah salah dan selalu salah. Namun ada pihak lain yang ikut salah, yaitu si pemilik barang. Bagaimana ia menjaga, meyimpan, mengawasi, mengikat dan membuat nyaman tinggal bersama dirinya,”
Agar pasangan tidak ‘dicuri’ orang, Cahayadi menyarankan, suami atau istri harus menjaga dan mengikat semakin kuat. Satu-satunya cara mengikat pasangan ialah dengan membahagiakannya.
“Membuat dirinya bahagia bersama anda, sebahagia-bahagianya. Yang membuat dirinya merasa tidak bisa hidup tanpa anda. Nah, inilah bonding yang sangat kuat dan membahagiakan semua,” pungkas Peraih Penghargaan Kompasianer Favorit 2014 ini.
Eveline Ramadhini