Ombudsman Overlap

by
Anies Baswedan, foto: Brilio.net

“Kami khawatir publik akan menilai Ombudsman hanya tajam terhadap pemerintah DKI Jakarta dan tumpul memeriksa laporan terkait Istana,” ujar Krist Ibnu.

Wartapilihan.com, Jakarta –Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) akan mendaftarkan gugatan Class Action terhadap Ombudsman Republik Indonesia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal itu disampaikan Wakil Ketua ACTA Krist Ibnu kepada Wartapilihan.com di Jakarta, Rabu (28/3).

“Kami menduga Ombudsman telah menerapkan standar ganda dalam memeriksa laporan yang masuk dari masyarakat,” ujar Ibnu.

Lebih lanjut, ia menjelaslan setidaknya ada dua kasus yang menjadi acuan ACTA untuk menjadi dasar argumentasi gugatan. Pertama, laporan rekan Ali Lubis pada 1 Maret 2018 soal dugaan maladministrasi terkait adanya pertemuan Presiden dan petinggi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang disebutkan juga membahas pemenangan Pilpres.

Dasar pelaporan tersebut sangat kuat karena Istana sebagai pusat pengendalian pelayanan publik tentu tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik praktis sekelompok orang saja.

“Namun laporan tersebut nyaris ditolak Ombudsman dengan berbagai dalih seperti tidak adanya AD/ART organisasi ACTA dan lain-lain. Yang paling parah, Ombudsman mengolok-olok kami sebagai Pelapor dengan mengatakan ke media bahwa kami hanya curhat karena tidak menyebutkan identitas terlapor,” keluhnya merespon pelayanan Ombudsman.

Padahal, kata Ibnu, dalam UU Ombudsman tidak ada aturan harus mencantumkan Terlapor. Menurutnya, tindakan Ombudsman ini adalah contoh yang sangat buruk bagi pelayanan publik dimana laporan nyaris ditolak dan pelapor diolok-olok.

Kedua, terang Ibnu, kasus dugaan mal administrasi penataan Tanah Abang. Tidak jelas siapa pelapor dalam kasus ini tapi Ombudsman bisa bergerak sangat cepat dan mengumumkan telah terjadi dugaan maladministrasi.

“Kami tidak melihat bahwa kasus Tanah Abang merupakan domain Ombudsman karena tidak menyangkut pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik. Selaian itu Pemerintah DKI Jakarta memiliki kewenangan untuk melakukan diskresi sebagaimana dijamin Pasal 6 ayat (2) huruf e UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan,” paparnya, gamblang.

Ia melihat ada perbedaan dalam penanganan kedua kasus tersebut. Disatu sisi Ombudsman begitu lamban dan terkesan berusaha menolak laporan ACTA, disisi lain Ombudsman bisa begitu agresif mengusut kasus Tanah Abang meski termasuk diskresi yang legal.

“Kami khawatir publik akan menilai Ombudsman hanya tajam terhadap pemerintah DKI Jakarta dan tumpul memeriksa laporan terkait Istana,” tegasnya.

Tiga tuntutan dalam gugatan class action ini yaitu agar Ombudsman dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, agar ombudsman dihukum untuk melakukan evaluasi dan perbaikan penanganan seluruh laporan.

“Dan agar Ombudsman meminta maaf kepada rakyat Indoensia secara terbuka,” pungkasnya.

Senada dengannya, Anggota Komisi III DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengingatkan agar Ombudsman tidak standar ganda dan overlap dalam menangani laporan. Ada dua kasus mencolok yang ia jadikan rujukan.

Pertama kasus Tanah Abang. Dalam kasus ini menurutnya, Ombudsman sudah melewati domain yang diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman dan UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik karena pengaturan jalan bukan termasuk kegiatan pelayanan atas barang dan jasa atau pelayanan administratif. Ombudsman juga mengabaikan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasti Pemerintahan yang memberikan pejabat pemrintahan hak untuk melakukan diskresi.

“Kedua dalam kasus pernyataan anggota Ombudsman yang menengarai adanya dugaan jebakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepada pejabat BPN yang dilakukan para notaris karena memiliki masalah dalam pengurusan tanah,” kata Dasco.

Menurutnya, pernyataan tersebut sudah memasuki ranah pemberantasan korupsi yang menjadi domain KPK, Kejaksaan dan Polri. Dalam kasus OTT tidak penting soal dijebak atau tidak, acuannya hanya pemenuhan unsur delik pasal-pasal pidana korupsi.

“Yang lebih memperihatinkan, Ombudsman terksan justru melindungi oknum pejabat BPN yang berpotensi korup daripada membenahi aspek pelayanan publik di BPN yang selama ini banyak dikeluhkan masyarakat,” ucapnya.

Meskipun Ombudsman adalah Mitra Komisi II, kata Dasco, tetapi kalau melakukan tindakan overlap maka akan menimbulkan konflik dan masalah hukum yang merupakan ranah Komisi III.

“Saya berharap Ombudsman bisa melakukan perbaikan serius dalam menjalankan tugasnya, praktek standar ganda dan overlap harus dijauhi,” harapnya.

Sebelumnya, Ombudsman meminta Pemprov DKI melakukan evaluasi terhadap kebijakan agar menghindari malaadministrasi. Pemprov diminta membuat grand design kawasan Tanah Abang, dan rencana penataan PKL Tanah Abang memaksimalkan pasar Blok G Tanah Abang, serta juga mengembalikan fungsi Jalan Jati Baru untuk lalu lintas.

Dalam laporannya, Ombudsman menetapkan maksimal 60 hari masa transisi untuk menyelesaikan malaadministrasi yang ditemukan dengan melibatkan para pemangku kepentingan.

“Selama 60 hari itu sudah mengembalikan fungsi, 30 hari itu sudah mencakup, kan dia harus melaporkan apa-apa saja progres yang dia lakukan dikomunikasikan ke kami,” kata Dominikus.

Menanggapi ancaman ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, mengapresiasi Ombudsman DKI yang akhirnya aktif menjalankan tugas.

“Saya apresiasi apa yang sudah dilakukan perwakilan Ombudsman, dinget-inget ya ini perwakilan Ombudsman RI bukan dari Ombudsman. Karena itu, ada dua hal berbeda ini adalah perwakilan, yang memiliki otoritas siapa? Kita akan pelajari dan kita senang bahwa perwakilan akhirnya aktif, akhirnya terlibat,” kata Anies di kantor Wali Kota Jakarta Selatan, Selasa (27/3).

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *