Nestapa Masyarakat Asmat

by
Seorang anak Asmat terduduk kaku di pelataran RSUD Asmat. Foto: Zuhdi

Sebanyak 700 orang terkena campak dan gizi buruk. 72 meninggal. Kejadian gizi buruk seperti siklus yang tidak dapat dipangkas.

Wartapilihan.com, Asmat –Suara tangis balita menyelimuti suasana RSUD Asmat. Maria, sudah dua tahun sejak lahir menjalani perawatan di Rumah Sakit. Malangnya, ibunya meninggal saat melahirkan dan tidak ada ayahnya. Ia hanya dirawat oleh nenek dan kakeknya.

Sejak lahir, ia mengalami gizi buruk. Badannya tidak berisi, terlihat tulang tubuhnya yang sangat kecil tertutupi kulitnya. Tangannya dibalut dengan sebilah kayu kecil untuk menahan infuse. Silvi, perawat RSUD nampak sedang menggendongnya dan bicara terbata-bata kepada Wartapilihan karena sedih melihat keadaan Maria.

“Dia sudah dua tahun (mengalami gizi buruk),” ujarnya seraya menepuk-nepuk Maria agar nangisnya terhenti.

Silvi tidak mengetahui penyebab awal sang bayi terkena gizi buruk. Ia hanya menduga hal itu terjadi karena kebiasaan penduduk Asmat yang hidup secara konservatif. “Kalau (penyebab) karena keturunan mungkin tidak. Tapi karena pola hidupnya kurang sehat,” ucap dia.

Disamping Maria, kakek dan nenek setia menunggu cucunya yang tak berdaya karena kekurangan gizi. Padahal, kata Silvi, orang tua Maria tidak mengalami riwayat penyakit atau kondisi menahun. Namun, kehidupan di distrik-distrik tidak terlalu mementingkan aspek kebersihan dan kesehatan.

Masyarakat di distrik-distrik ketika mendapatkan sagu dan ikan sudah merasa cukup. Bahkan, sejak lahir sang bayi dibawa ke hutan untuk berburu makanan dan bercocok tanam tumbuh-tumbuhan.

“Tradisi disini ketika mendapatkan sesuatu yang didahulukan bapaknya. Misalkan kita kasih susu untuk bayinya, tapi diminum oleh bapaknya dengan kopi misalkan,” cerita Silvi.

Hal sama dirasakan Christila, balita berusia 4 tahun ini sudah dua pekan masuk RSUD. Badannya yang kurus dan tidak berdaging duduk terdiam di atas tempat tidur pasien melihat suasana di sekitarnya. Tatapan matanya yang kosong hanya melihat objek bicaranya tetapi tak mampu berkata-kata.

Ia merupakan anak ke dua dari enam bersaudara. Yohana, ibunya mengaku tidak dapat berbuat apa-apa. Sang suami hanya bekerja sebagai nelayan lepas. Penghasilannya tidak menentu. Sedangkan biaya kebutuhan di Asmat cukup tinggi.

“Makan (untuk Christila) tiga kali sehari. Tapi dia tidak bisa makan yang kasar. Jadi kita kasih susu saja. Kalau dikasih makanan lain seperti sayur dia selalu muntah,” ungkapnya.

Pada awal Januari, Christila sempat dipulangkan karena kondisinya mulai membaik. Namun ketika sampai rumah ia kembali mual dan tidak dapat mencerna makanan apapun. Yohana bersama suami, Leo, kembali membawa buah hatinya untuk menjalani perawatan di RSUD Asmat.

Ia tinggal di distrik Suruk. Jarak yang ditempuh cukup jauh. Moda transportasi yang digunakan hanyalah perahu ketingting. Tingginya ombak dan cuaca yang tidak menentu, terkadang membuat mereka ingin mengurungkan niatnya ke RSUD.

“Perjalanan kesini (RSUD) bisa sampai dua jam. Mau tidak mau kita harus kesini, kasihan kalau di rumah. Mual-mual terus kata bapaknya,” ujar Yohana.

Penyebab Campak dan Gizi Buruk

Dokter Anak Cut Hafifah Nurul usai memberikan penyuluhan kepada Nakes Puskesmas/Pustu dan personil TNI-Polri di posko satgas menjelaskan masalah warga Asmat adalah multidimensi. Hal itu dimulai dari faktor ibu. Para ibu di Asmat, menurutnya sudah mengalami gizi buruk. Ketika hamil, sang ibu tidak memiliki asupan gizi yang baik. Sehingga berakibat kepada kualitas ASI dan berat badan bayi ketika lahir.

“Selain itu, pengetahuan tentang makanan pendamping ASI juga kurang. Misalkan makanan yang biasa di makan adalah sagu. Tidak cukup hanya karbohidrat saja, harus ada protein. Padahal disini banyak ikan, kepiting dan udang,” tuturnya.

“Saat mereka sudah besar atau remaja putri status gizinya kurang. Kemudian menikah dan melahirkan di usia muda, ia menurunkan gizi buruk pada anaknya. Seperti lingakaran setan (balik lagi). Status gizi kurang ibunya balik lagi ke anak,” imbuh Nurul.

Nurul mengatakan penyebab utama campak adalah virus. Ketika kekebalan tubuh pasien gizi buruk rendah, hal itu mengakibatkan mudahnya tertular virus campak. Kendati Kemenkes sudah mencabut status KLB campak dan gizi buruk, pihaknya terus melakukan penanganan dan pendampingan secara intensif.

“Pertama dari SDM ( sumber daya manusia). Kita membekali mereka dengan pengetahuan, agar ketika turun ke lapangan bertemu dengan masyarakat bisa mengedukasi dengan baik. Kedua, fasilitas kesehatan, yaitu dokter. Kami akan menjangkau 23 distrik dengan tenaga dokter yang tersedia,” tandasnya.

Kemana dana Otsus?

Pada tahun 2017, dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk Papua mencapai Rp 11,67 triliun, yaitu Rp 8,2 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp 3,47 triliun untuk Provinsi Papua Barat. Jumlah ini meningkat pada 2018 menjadi Rp 12,3 triliun, yakni Rp 8 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp 4,3 triliun untuk Provinsi Papua Barat.

Wakil Bupati Kabupaten Asmat Thomas E Safanpo kepada Warta Pilihan menuturkan, dana Otsus Papua masuk dalam bentuk anggaran. Untuk pendidikan memiliki anggaran 20% dan kesehatan sebesar 15%. Sisanya, untuk ekonomi dan infrastruktur. Meskipun dana Otsus besar, kata dia, namun tidak bisa digunakan bebas karena sudah memiliki alokasi.

“Anggaran itu beda dengan uang. Pada saat kita butuh sepatu, kita bisa langsung beli, tapi anggaran tidak bisa. Anggaran itu uang yang sudah diorganisasikan dan peruntukannya jelas. Misalnya untuk bangun sekolah dan rumah sakit. Tidak bisa tiba-tiba kita cabut untuk perawatan orang sakit,” jelasnya.

Sesuai dengan Keputusan Gubernur Papua dan Undang-Undang, dana Otsus diprioritaskan untuk 4 hal. Yaitu pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pemberdayaan masyarakat. Rencananya, untuk meningkatkan kesejahteraan warga Papua, kata Thomas, pemerintah akan memberikan dana Rp 1,5 juta setiap bulannya untuk Orang Asli Papua (OAP).

“Uji cobanya baru akan dilaksanakan di dua kabupaten. Asmat dan Paninai. Kriterianya orang asli papua dan tidak mampu. Sebenarnya tahun ini sudah jalan, tetapi kami masih melakukan sinkronisasi data supaya tepat sasaran,” tutupnya.

Ahmad Zuhdi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *