MUI Sumbar Menolak Islam Nusantara

by
foto:istimewa

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat dengan tegas tolak penamaan ‘Islam Nusantara’ yang ditetapkan melalui surat resmi tertanggal 21 Juli 2018. Di dalamnya memuat pernyataan bahwa ‘Islam Nusantara’ tidak dibutuhkan di Ranah Minang.

Wartapilihan.com, Jakarta — Ditulis oleh Buya Gusrizal, ia menilai sikap pembiaran terhadap umat yang kebingungan dengan pernyataan soal konsep ‘Islam Nusantara’ justru mengabaikan tugas keulamaan dalam menjaga kesatuan umat.

Apalagi, bersamaan dengan diusungnya konsep ini muncul kesan tudingan ‘Islam Arab’ sebagai Islam Radikal, Islam penjajah, dan lainnya.

Buya Gusrizal menganggap, istilah yang dilahirkan oleh sebagian umat, kemudian disebarkan dengan kekuasaan dan mengarah ke berbagai institusi, justru jauh dari ‘taswiyyatul manhaj’.

“Bahkan mengabaikan bagian umat Islam lain yang belum tentu bisa menerima konsep yang diusung tersebut,” tulis Buya, Kamis, (26/7/2018).

Buya Gusrizal juga menambahkan, ketika kaum sekuler, liberal, dan pluralis menjadikan ‘Islam Nusantara’ sebagai payung tumpangan mereka, itu bukan lagi perkara furu’ yang bisa didiamkan begitu saja.

“Ketika sikap diambil oleh ulama Sumbar, kami bukan hanya membaca dan mendengar paparan konsep, sehingga dengan enteng dikatakan salah persepsi,” katanya lagi.

Ia menegaskan, ulama di Sumbar juga melihat dan menyimak perkataan, perbuatan, dan sikap yang dilakukan di bawah konsep ‘Islam Nusantara’ sudah jauh melenceng.

MUI Sumbar, kata dia, memadukan antara pemahaman konsep dan implementasinya di lapangan. Baginya, suara yang disampaikan adalah langkah berpendapat dalam kasus aktual. Kalau tidak demikian, berarti kita membohongi diri sendiri,” ujar dia.

Buya Gusrizal mengatakan, MUI Sumbar sudah melahirkan sikap dan siap mengajak semua kembali kepada nama agama yang diberikan oleh Zat Yang Maha Menurunkan Syari’at Agama ini yaitu “Islam” (QS. Ali ‘Imran 19, 85, al-Maidah 3 dan al-Shaff 7) tanpa ada embel-embel apapun.

“Mudah-mudahan tidak dilupakan bahwa telah dua kali saya juga mengkritik istilah ‘Islam Wasathiy’ di hadapan pengurus lembagai keulamaan ini di Lombok dan di Bogor,” jelasnya.

Ia menerangkan, bila konsep ‘Islam Nusantara’ hanya kekhususan budaya dan tradisi yang menjadi alasan menambah Islam dengan wilayah dan sifat lainnya, maka itu bukanlah dalil, Karena semua tradisi dan budaya tetap harus disaring dengan konsep ‘uruf dalam dalil hukum.

“Kami tegak menjaga Ranah Minang tempat kami menghirup udaranya, meneguk airnya sehingga kami merasakan detak nadi kehidupannya. Karena kami yang hidup di tengah masyarakatnya, maka kami bertanggungjawab mengatakan bahwa negeri kami tidak membutuhkan istilah Islam Nusantara itu,” pungkasnya.

MUI Pusat Merespon

Mendengar hal tersebut, MUI Pusat merespon penolakan tersebut. Wakil Ketua Umum MUI Pusat, Zainut Tauhid mengatakan, penolakan konsep ‘Islam Nusantara’ oleh MUI Sumbar justru menyalahi khittah dan jati diri MUI itu sendiri.

Lanjut Zainut, MUI seharusnya menjadi wadah musyawarah dan silaturahim para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim dari berbagai organisasi.

MUI, menurut dia, harus bisa bertransformasi menjadi tenda besar umat Islam sebagai pemersatu dan perekat ukhuwah Islamiyah, bukan malah sebaliknya.

“MUI harus bisa mengedepankan semangat persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh), dan moderasi (tawazun) dalam menyikapi berbagai persoalan khususnya yang berkaitan dengan masalah umat Islam,” kata Zainut.

Mendapat ‘peringatan’ dari MUI Pusat, MUI Sumbar tetap bersikukuh dengan keputusan yang telah dibuat.

Sementara itu, Din Syamsuddin sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban (UKP DKAAP) menanggapi, penolakan terhadap Islam Nusantara hanya akan memicu perpecahan sesama umat.

Dirinya meminta agar ulama Sumatera Barat (Sumbar) tidak menolak wawasan keislaman yang dikembangkan Nahdlatul Ulama (NU) berupa Islam Nusantara. Menurut dia, sebaiknya tidak ada sikap tolak menolak antarumat Islam yang mengembangkan wawasan tertentu.

“Sebaiknya tidak perlu ada penolakan-penolakan seperti itu. Kalau ada kelompok Islam atau Ormas Islam kemudian mengembangkan satu wawasan tertentu seperti NU mengembangkan wawasan atau pikiran Islam Nusantara harus kita hargai,” ujar Din saat ditemui usai konferensi pers terkait acara World Peace Forum (WPF) ke-7di Kantor CDCC, Jakarta Selatan, Kamis (26/7/2018), dilansir dari Republika.com.

Din mengatakan, Islam Nusantara merupakan pandangan ulama warga Nahdliyin. Jika tidak setuju tidak perlu melakukan penolakan karena bisa memicu adanya perpecahan antarumat Islam.

“Itulah pandangan NU. Itulah pendapat NU, tidak usahlah yang lain kemudian menolak. Kalau tidak setuju ya sudah silahkan, tapi gakusah pakek tolak menolak. Sebab kalau tolak menolak seperti ini nanti semua yang lain akan ada penolakan di sana, penolakan di sini,” terang Din.

Mantan Ketua Umum MUI ini meyakini, tidak semua ulama Sumbar yang melakukan penolakan terhadap Islam Nusantara.

Pasalnya, menurut dia, budaya tolak menolak itu bukan lah watak wasathiyah, bukan watak jalan tengah yang sebenarnya diajarkan Islam.

“Watak wasathiyah yang diajarkan oleh Islam itu ya kalau dengan agama lain bagimu agamamu bagiku agamaku. Dan kalau sesama Muslim, ‘bagimu pendapatmu bagiku pendapatku’, tapi kita tepat bersaudara. Jadi mohon, dan saya kira itu tidak bisa diklaim itu seluruh kalangan ulama di Sumetara Barat,” kata Din.

Apa Makna Islam Nusantara?

Berdasarkan laman www.nu.or.id dikatakan, Islam Nusantara merupakan Islam Nusantara yang empirik dan distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan oleh Iman Fathurrahman, guru besar filologi Islam di UIN Jakarta pada . Ia menjelaskan, masih ada kesalahpahaman ketika sejumlah orang menolak pelabelan “Nusantara” terhadap Islam. Menurut mereka, Islam adalah Islam, tak perlu labelisasi.

“Padahal yang kita maksud bukan Islam yang normatif tapi Islam empirik yang terindegenisasi,” katanya. “Oleh kerena itu kita mencoba merumuskan sebuah kalimat,” kata Oman, pada sebuah Muktamar yang dilaksanakan pada 22 April 2015 lalu, di Sulawesi, Makassar, berdasarkan laman www.nu.or.id.

Menurut Oman, Islam Nusantara ada namun minim data thabaqat (biografi) yang komprehensif para tokoh muslim Nusantara setidaknya sejak abad ke-16. Hal ini berbeda dari fakta yang ada di Arab dan Persia, yang mengakibatkan bangunan sejarah keduanya sangat kokoh lantaran kekayaan sumber literasi tentang itu.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Katib Syuriah PBNU KH Afifuddin Muhajir atau sering disapa Kiai Afif yang menyoroti Islam Nusantara dari sudut pandang fiqih mengatakan, istilah “Islam Nusantara” memang agak ganjil didengar lantaran Islam memang sumbernya satu dan bersifat ilahiyah.

Tapi, katanya, harus diperhatikan bahwa Islam juga terealisasi dalam praktik keseharian. Artinya, selain ilahiyah, Islam juga bersifat insaniyah (manusiawi).

Karena itu, Kiai Afif menilai jika ada Islam Nusantara maka ada juga fiqih Nusantara.

“Fiqih Nusantara adalah paham dan prespektif keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika teks-teks syariat dan budaya, juga realitas di (daerah) setempat,” papar pengarang kitab Fathul Mujib al-Qarib ini.

Salah satu pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo tersebut menekankan adanya pemahaman kontekstual terhadap teks suci dengan mempertimbangkan adat lokal (urf) demi kemaslahatan tak hanya dari segi ukhrawi tapi juga duniawi.

Lebih jauh, Prof DR Azhar Ibrahim Alwee dari National University of Singapore memiliki pandangan, Islam yang terbangun di Indonesia bisa menjadi teladan kepada negara-negara Muslim lain, termasuk warga dunia yang lebih besar.

Ia mengatakan, sarjana dan pemerhati telah membayangkan bahwa Islam Nusantara akan menjadi daerah paling cerah dalam dunia Islam. Sebab, kehidupan mayoritas Muslim di Timur Tengah, Benua Kecil India, Afrika Utara dan Afrika Tengah, sedang terhimpit oleh konflik dan keganasan.

“Walaupun tidak menelurkan gagasan filsafat yang rasional ataupun menghasilkan kesarjanaan Islam yang tinggi, Islam Nusantara mempunyai potensi besar untuk menyumbang kepada dunia Islam, malah perdaban dunia,” tuturnya.

Menurut dia, hal tersebut berakar pada enam poin penting, yakni (1) pengalaman sejarah, (2) orientasi agama yang dominan, (3) pribumisasi Islam yang mengakar, penghargaan dan keteguhan terhadap turats (tradisi), (4) terbangunnya institusi atau kelompok yang mengedepankan wacana Islam inklusif dan dialogis, (5) serta peran ormas dan para pemikir Indonesia yang mencerahkan.

Meski mengajukan fakta dan landasan normatif, semua pembicara tidak memberikan pengertian definitif dan operasional tentang istilah “Islam Nusantara”. Namun, mereka sepakat bahwa ia berkarakter membumi dengan realitas kebudayaan setempat.

“… yang ‘paling Indonesia’ di antara semua nilai yang diikuti oleh semua warga bangsa ini adalah pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan sama sekali ikatan dengan masa lampau,” kata Azhar mengutip pernyataan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menutup pembicaraan.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *