Pekan lalu, ruang publik kembali diramaikan dengan tantangan mubahalah yang disampaikan Habib Rizieq Shihab (HRS), terkait dengan isu “chat porno” dengan Firza Husein. Tantangan mubahalah tersebut sebenarnya sudah pernah beredar beberapa waktu lalu, tapi pekan lalu muncul kembali ke permukaan seiring dengan gencarnya aparat kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap Firza maupun Emma, teman curhat Firza. Berikut isi mubahalah tersebut:
“Demi Allah, Alhamdulillah, sejak saya memasuki usia taklif hingga saat ini, saya tidak pernah mencuri, merampas, merampok, membunuh, berjudi, menenggak miras, sodomi atau pun berzina.
Jika saya berdusta maka laknat Allah SWT atas diri saya. Dan jika saya benar, maka mereka yang memfitnah saya dan tidak bertaubat akan dilaknat oleh Allah SWT di Dunia dan Akhirat.”
Seiring dengan “ramai”-nya tantangan HRS bermubahalah tersebut, pihak Badan Nasional Penanggulan Terorisme(BNPT) pada 17 Mei lalu, dalam twitter-nya, mengeluarkan panduan berupa 7 syarat dalam melakukan mubahalah. Tidak jelas, apa sebenarnya hubungan mubahalah dengan penanggulan terorisme yang menjadi tugas utama dari lembaga negara yang satu ini.
Sebelumnya, kita mengenal A. Hassan (wafat di Bangil, Jawa Timur, 10 November 1958) yang sering berdebat dengan tokoh-tokoh Ahmadiyah, juga menantang mereka untuk bermubahalah. Tapi, sampai akhir hayatnya, tantangan mubahalah A. Hassan itu tak pernah ditanggapi oleh para tokoh Ahmadiyah. Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan (almarhum) Fauzan Al-Anshari, beberapa waktu lalu juga menantang bermubahalah kepada siapa saja yang mengkritiknya karena telah berbaiat kepada Abu Bakar Al-Bagdadi yang menjadi Khalifah dalam struktur Islamic State in Irak and Suriah(ISIS).
Di jaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, mubahalah pernah dilakukan oleh Beliau. Hal ini karena pada tahun ke-9 Hijriyah, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kedatangan delegasi Kristen Najran yang berjumlah 60 orang. Tapi, yang berdialog secara langsung dengan Beliau hanya dua orang: al-Aqib alias Abdul-Masih dan al-Ayham alias as-Sayyid.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya meriwayatkan, tatkala dua pendeta berbicara kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersadda kepada keduanya, “Masuklah Islam.” Jawab mereka berdua, “Kami telah memeluk Islam.” Beliau bersabda lagi, “Sesungguhnya kalian berdua belum masuk Islam, maka masuklah Islam.” Mereka menjawab, “Sungguh kami telah masuk Islam sebelum dirimu.” Beliau bersabda, “Kalian berdua berdusta. Pengakuan kalian berdua bahwa Allah mempunyai anak dan penyembahan kalian terhadap salib, serta tindakan kalian memakan daging babi menghalangi kalian masuk Islam.” Mereka berdua bertanya,”Lalu siapa ayahnya(Isa) itu, wahai Muhammad?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam diam dan tidak memberi jawaban kepada keduanya. Lalu dikarenakan ucapan mereka dan perbedaan pendapat di antara mereka, Allah menurunkan permulaan surah Ali ‘Imran sampai ayat 80 lebih. Termasuk di dalamnya turun ayat tentang mubahalah, sebagaimana firman-Nya:
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (QS. Ali ‘Imran: 61)
Tantangan mubahalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada dua pendeta Kristen membuat mereka keder, karena menyadari bahwa diri mereka telah berbohong, dan akibat yang akan ditimpa oleh mereka. Begitulah kisah mubahalah di jaman Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan hanya terjadi sekali sepanjang hidup Beliau.
*
Substansi mubahalah itu adalah dua pihak yang saling melaknat atau saling mendoakan agar laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dijatuhkan kepada orang yang berbohong di antara mereka yang sedang berselisih. Mubahalah bertujuan untuk membuktikan sebuah kebenaran, mematahkan argumen mereka yang keras kepala, walaupun sudah jelas kebenaran itu lengkap dengan argumen-argumen yang dipakai sebagai sandaran. Ibnul Qoyyim, dalam kitab Zad al-Ma’ad, menjelaskan bahwa mubahalah disunahkan ketika argumentasi sudah disampaikan tetapi mereka tetap bertahan pada pendapatnya yang batil dan sesat atau berbohong.
Dalam sejarah salafus shaleh, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Hajar Al-Asqolani, dan Ibnu Taimiyah, misalnya, pernah melakukan mubahalah kepada kelompok-kelompok sesat yang keukeuh atas pendapatnya yang jelas-jelas lemah argumen, data, dan fakta. Diriwayatkan bahwa para salafus shaleh seperti Ibnu Abbas, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Hajar al-Asqolani, pernah menantang orang yang berselisih pendapat dengannya dalam suatu masalah untuk bermubahalah.
Jika kini HRS menantang bermubahalah kepada pihak-pihak yang telah berbuat dzolim atas dirinya, itu sah-sah saja. Meskipun mubahalah belum diakomodir dalam hukum positif di Indonesia, tapi setidaknya, akan membuat keder para pemfitnahnya, sebagaimana dua pendeta dari Najran tersebut. Ujung dari tantangan mubahalah adalah, jika yang memfitnah masih punya iman dan rasa takut pada Allah, mereka akan menghentikan fitnah-fitnah yang disebarkan melalui berbagai saluran media tersebut. Wallahu A’lam
Herry M. Joesoef