Rencana presiden menerbitkan Perppu Tindakan Pidana Terorisme membuat akal sehat publik terganggu dan nurani masyarakat tersayat. Pasalnya, terorisme kali ini seolah memecah belah masyarakat dan saling mencurigai satu sama lain.
Wartapilihan.com, Jakarta – Hal tersebut disampaikan Maneger Nasution, Direktur Pusdikham Uhamka. Ia mempertanyakan, tidak mungkin ada orang bernalar kemanusiaan nekat bunuh diri, apalagi membunuh orang tanpa alasan yang dibenarkan.
“Oleh karena itu, tindakan teror dan kekerasan oleh siapa pun dan dengan motif apa pun adalah anti ketuhanan dan anti kemanusiaan. Negara harus mengusut tuntas sampai ke akar-akarnya siapa pun pelaku, aktor intelektualnya, dan apa pun motifnya,” kata Maneger, Selasa, (15/5/2018), di Jakarta.
Menurut Maneger, hal-hal yang terjadi belakangan ini, cara kerja teror dan kekerasan ini terkesan aneh. Pasalnya, saat isu penistaan agama menguat, ia tidak muncul. Tetapi saat isu keislaman menguat justru ia muncul mencemarkan nama baik Islam sebagai agama yang karakter dasarnya mengajarkan kedamaian.
“Secara teori, akar masalah terorisme itu multifaktor. Biasanya kemiskinan dan ketidakadilan sering dipandang sebagai yang dasar. Itu PR besarnya. Meskipun dalam beberapa riset, pelaku teror dan kekerasan itu ada juga diduga sebagai korban projek intelijen,” tutur dia.
Maneger menambahkan, kendati situasi bangsa mutakhir ini lagi kisruh, akal sehat publik tetap mendesak polisi menyampaikan hasil investigasi secara profesional, objektif dan transparan terkait kasus di Mako Brimob dan Surabaya.
“Terkait kekerasan di Mako Brimob, bom surabaya, narasi konklusinya tiba-tiba lompat. Sepertinya ada pihak tertentu yang mengggunakan tragedi ini untuk mendorong mempercepat revisi UU Terorisme, bahkan mendorong-dorong Presiden menerbitkan Perppu Terorisme. Semoga Presiden tenang dan tetap menggunakan akal sehat,” harap Maneger.
Dia menekankan, ada beberapa catatan penting yang perlu dijawab dan dipastikan Presiden sebelum menerbitkan Perppu Terorisme. Pertama, prosedural penerbitan Perppu tersebut harus memenuhi 3 (tiga) syarat sebagaimana dinyatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 38/PUU-VII/2009 yaitu, (1) Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang, atau (2) UU yang ada belum memadai, atau (3) Adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada. Presiden harus memastikan dan meyakinkan akal sehat publik bahwa persyaratan tersebut betul-betul terpenuhi sebelum menerbitkan Perppu Terorisme.
“Kedua, soal substansi. Perppu itu harus dipastikan tidak melanggar hak-hak konstitusional warga negara yang ada dalam Konstitusi dan UU HAM. Perppu tersebut tidak berpotensi melanggar HAM,”
Maneger mengatakan demikian karena pembatasan HAM hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas HAM serta kebebasan dasar orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral-kesusilaan, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa dalam suatu masyakat yang demokratis (pasal 28J (2) UUDNRI 1945 dan pasal 73 UU Nomor 39 tahun 1999).
“Presiden sekalipun tidak boleh mengurangi, merusak atau menghapuskan HAM yang diatur dalam konstitusi dan UU HAM (pasal 74 UU Nomor 39 tahun 1999),” tegas dia.
Maneger pun berharap, Presiden berkenan dan berani menjadikan momentum kasus Mako Brimob dan bom gereja Surabaya ini justru untuk mengevaluasi total kinerja BNPT dan Densus 88, bahwa pendekatan deradikalisaai yang dilakukan selama ini kurang msksimal mengurangi apatah lagi menihilkan aksi terorisme.
“Untuk itu, dipandang mendesak mempertimbangkan perombakan paradigma, model, dan metodologi penanganan terorisme dengan melibatkan semua komponen bangsa. Presiden boleh dengan rendah hati belanja gagasan dengan masyarakat sipil. Muhammadiyah sendiri punya kajian akademik soal ini,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini