Tradisi menulis sesungguhnya sudah ada sejak Islam lahir. Tradisi ini turun-temurun dilakukan hingga saat ini. Namun, era teknologi yang canggih membuat generasi zaman now melakukan hal-hal yang cenderung kurang penting.
Wartapilihan.com, Jakarta –– Hal tersebut disampaikan Ustadz Ardiyansyah, pengajar di Pondok Pesantren At-Taqwa yang terletak di Cilodong, Depok. Ia mengatakan, oleh pasal era disrupsi media dan teknologi yang semakin canggih makin banyak anak generasi masa kini yang melakukan hal kurang produktif.
“Maka dari itu, kita berusaha menghidupkan kembali tradisi ilmu dalam Islam, salah satunya menulis. Kalau kita lihat dari sejarah, dari era sahabat, tabiin, sampai hari ini terus ada dalam bentuk apapun. Sebagian dari mereka menulis ayat dan hadits (di zaman Rasulullah).
Berikutnya ringkasan, dan sebagainya. Sampe sekarang begitu, kita harap tradisi tersebut berlanjut,” kata Ustadz Ardiyansyah, Selasa, (23/10/2018), dalam acara peluncuran buku ‘Mewujudkan Insan dan Peradaban Mulia’: Catatan Pemikiran Santri Milenial karya Santri PRISTAC, di Pesantren At-Taqwa, Depok, Jawa Barat.
Menulis menurut dia amat penting karena dengan menulis, suatu pemikiran dapat dipahami. Jika merujuk pada perkataan Plato, Kalam manusia sebenarnya ada di alam pikiran.
“Dikatakan Plato, Kalam manusia itu sebenarnya ada di pikiran. Ketika dituangkan dalam bentuk tulisan maka akan dipahami. Kebetulan di pondok ini ada mata pelajaran jurnalistik,” tutur dia.
Bagi dia, peluncuran buku oleh santri berusia 16 tahun ini merupakan hal yang membahagiakan. Namun ia menyanggah bahwa bisa menulis di usia 16 tahun bukanlah hal yang pertama kali. Sejak jaman Rasulullah, para pemuda yang usianya dianggap belia yang justru memimpin berbagai perang. Namun, anggapan masyarakat yang melihat bahwa 16 tahun merupakan anak-anak sehingga dianggap belum bisa melakukan apapun.
“Enam belas (16) tahun bisa menulis bukan hal yang baru, dianggap belum bisa apa-apa padahal udah biasa sejak dulu,” dia menegaskan.
Terlebih, para ulama terdahulu memang dikenal karena karyanya. Maka dari itu, para santri PRISTAC bisa mengikuti jejak para ulama untuk terus menulis.
“Banyak karya lain risalah Al-Ghazali tapi karena yang mereka buat besar, dan punya nilai yang tinggi. Mudah-mudahan apa yang bisa dilakukan ini, yuk, kita sama-sama hidupkan lagi tradisi ini. Apalagi kita beri kesempatan dan dibimbing akan banyak karya yang bagus di masa yang akan datang,” pungkas Ustadz Ardiyansyah.
Sementara itu, Ustadz Adian menambahkan bahwa berbagai panglima perang telah memimpin di usia 21 tahun. Menurut dia, sangat perlu untuk menyiapkan anak untuk menjadi dewasa, tidak hanya secara biologis tetapi juga secara psikologis, seperti kemandirian.
“Perang Uhud Abdullah bin Umar usia 15 tahun sudah diizinkan perang. Batas akhir anak-anak. SD SMP menyiapkan anak menjadi dewasa dalam arti kemandirian, salah satunya kemandirian pemikiran. Sehingga anak bisa membedakan mana yang halal dan haram, baik buruk.
Orang sekarang baru dianggap dewasa 18 tahun. Di usia segini (16 tahun) anak sudah dewasa tapi diperlakukan sebagai anak-anak dan dipaksa menjadi anak-anak,” tukas Ustadz Adian.
Maka yang perlu dilakukan yaitu pendewasaan cara belajar. Pada dasarnya, jika anak sering dikasih tanggung jawab akan menjadi mandiri.
“Jangan dikasih soal-soal pelajaran tapi gak disuruh jawab soal kehidupan,” ia menegaskan.
Hal yang saat ini juga menjadi permasalahan bagi dunia pendidikan yaitu orientasi industri yang sangat tinggi. Pasalnya, setiap anak sudah lulus kuliah langsung berorentasi kepada penghasilan.
“Kami di pondok pesantren mencoba kalau wali santri datang, kami bilang, emang tempat ini (pesantren At-Taqwa) untuk orang-orang enggak normal. Masuk UI UGM itu normal.
Kalau anaknya mau jadi orang baik insyaaAllah di sini tempatnya. Kalau pinter nanti dulu, kita arahkan menjadi ulama,”
Dia menjelaskan, hal yang paling penting yaitu melatih anak agar mencintai ilmu dan menjadi manusia yang memiliki adab dan sikap belajar yang baik.
“Sikap belajar ini yang penting dan kita coba untuk tanamkan, dan itu perlu kreativitas. Bagaimana pendidikan menekankan sikap, enggak bisa diketatkan karena beda-beda setiap anak,” imbuhnya.
Eveline Ramadhini dan Ahmad Zuhdi