Mensikapi Penolakan Perda Syariah

by

Sikap politik Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menolak perda-perda agama (perda syariah atau perda injil) mencederai elektabilitas mereka sendiri.

Wartapilihan.com, Jakarta — Dalam sambutan pada acara ulang tahun keempat PSI di Tangerang, beberapa waktu lalu, Grace Natalia selaku ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengatakan partainya “akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan intoleransi. PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah.” Hal ini banyak menuai pro kontra.

Menurut Ketua Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini, sikap politik Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang menolak perda-perda agama (perda syariah atau perda injil) dinilai Fraksi PKS DPR sebagai bentuk ketidakpahaman terhadap falsafah dan dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Karena itu, Fraksi PKS menyarankan agar PSI memahami konstitusi dan Pancasila secara utuh.

“Sebagai sikap politik sah-sah saja, tapi sebagai sesama warga bangsa tentu kita perlu mengingatkan dan mengoreksi sikap tersebut. PSI tidak paham utuh Pancasila dan UUD 1945 yang menempatkan agama dalam posisi yang penting, yang menjiwai semangat kebangsaan, dan yang terpenting menjadi landasan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya, Rabu, (21/11/2018), di Jakarta.

Sikap politik PSI itu, kata Anggota Komisi I DPR ini, sebagai bentuk phobia agama yang bisa saja bertendensi memisahkan nilai-nilai agama dalam laku kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Kita perlu tanya dengan jelas kepada PSI apa yang mereka maksud dengan perda-perda agama yang mereka tolak. Umumnya perda-perda tersebut mengatur ketertiban hidup bermasyarakat, lebih dari itu bertujuan untuk menjaga moral dan akhlak masyarakat. Apa ini yang mereka tolak?,” tanya Jazuli.

PSI, kata Jazuli, harus membaca semangat Pancasila dan UUD 1945. Pasalnya, jelas sekali nilai-nilai agama menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan hanya secara implisit, tapi eksplisit dalam pembukaan UUD 1945, sila pertama Pancasila, Pasal 29 yang menyatakan negara berdasar atas Ketuhanan YME dan jaminan kebebasan beragama, Pasal 28J bahwa pelaksanaan hak asasi tidak boleh bertentangan dengan nilai agama, hingga Pasal 31 tentang visi pendidikan nasional untuk menghasilkan SDM yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.

“Oleh karena itu perda-perda bahkan undang-undang bukan saja menyerap nilai agama akan tetapi wajib mengambil nilai-nilai tersebut. Negara melalui perangkat aturannya wajib menjamin pelaksanaan nilai agama dilaksanakan secara konsekuen. Itulah mengapa lahir UU Peradilan Agama, UU Haji, UU Zakat, UU Perbankan Syariah, UU Jaminan Produk Halal dan kita terima melalui proses bernegara antara DPR dan Pemerintah. Apa ini ditolak juga oleh PSI?” tandasnya.

Untuk itu, Anggota DPR Dapil Banten ini berpesan agar PSI tidak mengambil posisi diametral atau bertentangan dengan semangat Pancasila dan UUD 1945. “Sebaliknya, mari kita sama-sama kokohkan semangat keberagamaan di republik ini agar Indonesia semakin diberkahi Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa,”

Ketua Fraksi PKS ini menilai PSI termasuk partai anak-anak muda, yang bisa jadi waktu di SMP dan SMA nya sudah tidak lagi belajar PMP jadi mungkin saja tidak bisa memahami dasar negara dan konstitusi secara utuh.

“Oleh karena itu, atas nama Fraksi PKS Jazuli meminta kepada Mendiknas agar memasukkan kembali pelajaran PMP mulai dari SD sampai SMA agar anak bangsa ini memahami dasar negara dan konstitusinya secara utuh,” tukasnya.

PDIP Berpandangan Sama

Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, ia mewakili PDIP tidak setuju adanya perda syariah. Menurut dia, peraturan baik di daerah maupun tingkat nasional seluruhnya harus berdasarkan hukum konstitusi.

“Buat kami memang tidak ada namanya perda syariah yang ada peraturan daerah kabupaten mana, peraturan daerah kota mana, peraturan daerah provinsi mana yang ada ya seperti itu. Semua harus diturunkan dari hukum konstitusi kita,” kata Hasto di Rumah Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, dilansir dari jawapos.com.

Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf itu menyebut bahwa bahwa Indonesia merupakan negara berbasis hukum, bukan berlandaskan agama.

Namun, Hasto menyebut bahwa ada daerah-daerah tertentu yang dimaklumi menggunakan Perda Syariah karena faktor sejarah. Seperti Daerah Istimewa Aceh. “Kalau daerah lain berbeda karena situasi kesejarahan dan latar belakang politik seperti di Aceh,” ungkap Hasto.
“Prinsipinya seluruh peraturan per undang-undangan termasuk Perda harus sesuai hukum konstitusi. Tidak boleh ada yang bertentangan dan kemudian bagi yang mengawal itu melalui faraksi,” sambungnya.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *