Mengkader Generasi dari Masjid

by
Foto: konsultasisyariah.com.

Pada umumnya, orangtua sangat focus mendidik anaknya dengan berbagai kewajiban agama, pada usia 7 hingga 12 tahun atau bahkan lebih dini. Padahal, pada usia 12 hingga 15 tahun orangtua sangat perlu membentuk anak menjadi pemuda sejati yang mandiri dan memiliki peran peradaban yang spesifik sehingga bisa memberi manfaat bagi umat.

Wartapilihan.com, Jakarta – Hal tersebut disampaikan Harry Santosa, pakar parenting pendidikan berbasis fitrah. Ia mengatakan, sejak zaman Rasulullah SAW, dari generasi ke generasi selalu muncul para pemuda belasan tahun yang sudah memiliki peran peradaban yang dibutuhkan ummat dan zamannya, yang menebar rahmat dan manfaat.

“Lihatlah Usamah bin Zaid RA, telah dinikahkan Nabi SAW di usia 15 tahun dan telah ditunjuk menjadi panglima perang di usia 16 tahun. Lihatlah Imam Syafi’i telah menjadi mahasiswa di usia 11 tahun dan menjadi mufti di usia 16 tahun.

Lihatlah Alkhawarizmi telah menjadi pakar matematika di usia 10 tahun dan menjadi guru besar matematika di usia 18 tahun, lihatlah Muhammad alFatih telah memulai ekspedisi penaklukan Konstantinopel sejak usia 16 tahun dan menaklukannya di usia 21 tahun,” tutur Harry, Selasa, (3/7/2018).

Hal ini berlangsung terus sampai abad 20, demikian pula dengan Hasan al Banna di Mesir, Abul A’la Maududi di Pakistan, Muhammad Natsir di Indonesia; mereka telah memulai debut peran peradabannya ketika berusia belasan tahun.

“Mereka bukan Generasi yang hanya pandai dan hafal ilmu agama, namun mereka telah memiliki peran peradaban terbaik untuk menyeru Tauhidullah sesuai peran spesifik yang mereka pilih secara sadar dan dibutuhkan ummat pada zamannya ketika berusia 15- 19 tahun,” terang dia.

Menurut Harry, pada abad ini, generasi seperti di atas tidak lahir kembali. Hal itu terjadi karena ummat mengekor habis habisan kepada sistem persekolahan barat, yang diakui oleh peradaban barat mereka sendiri sebagai sistem yang merusak fitrah manusia, sistem yang melakukan pembocahan (infantization) yang melambatkan kemandirian dan kedewasaan sampai usia 25-26 tahun.

“Persekolahan Barat adalah sistem yang hanya mengantarkan generasi muda Muslim untuk menjadi kuli dan pekerja yang mengais ngais upah di kota kota besar, sistem yang menyibukkan anak anak kita pada persaingan semu yang tak menuju kemana mana (race to no where) tanpa peran peradaban yang jelas,” tukas dia prihatin.

Konsekuensinya, muncul generasi yang “tidak beradab” pada Allah, pada dirinya, pada keluarganya, pada desanya, pada alamnya, pada zamannya, pada masyarakat dan ummatnya, dan seterusnya. Mereka tercerabut dari akar agamanya, akar dirinya, akar keluarganya, akar masyarakat dan ummatnya.

Maka dari itu, Harry menekankan agar mengembalikan peran masjid sebagai sentra untuk melahirkan generasi Aqil Baligh, yaitu generasi yang memiliki peran peradaban terbaik, generasi mandiri dan mampu menjadi mukalaf yang mampu mengemban syariah dengan baik, generais yang menebar rahmat dan manfaat bagi ummat pada usia belasan tahun.

“Di Indonesia, sesungguhnya para Ulama dahulu telah meninggalkan sistem pendidikan yang luarbiasa. Sebelum sistem pendidikan kolonial dicangkokan di bumi nusantara, para Ulama telah mentradisikan model pendidikan berbasis Masjid atau berbasis Jamaah, seperti Model Pendidikan Surau dan Merantau, Meunasah, Dayah, Rangkang, Langgar, Pesantren, dan lainnya, yang kesemuanya berbasis jamaah atau komunitas dengan pusat pembinaan di Masjid,”

Generasi yang tidak memiliki peran peradaban, terang dia, ketika aqilbaligh karena tidak tumbuh aspek fitrahnya, ibarat sungai yang tidak mengalir, menjadi sarang hama penyakit dan sampah yang menebar wabah dan keburukan.

“Masjid walau dipenuhi anak anak TPA, namun kering dan sepi dari pembinaan anak anak muda untuk persiapan AqilBaligh. Masjid seolah bukan pusat mempersiapkan anak anak kita menjadi pemuda yang Mukalaf, yang memiliki peran peradaban yang dibutuhkan ummat ketika AqilBaligh tiba,” kata dia.

Masjid, menurut dia, kini hanya tempat belajar agama secara terbatas, terlepas dan tidak relevan dengan realitas sosial dan problematika masyarakat sekitar, terlepas dari potensi lingkungan dan alam sekitar, terlepas dari proses mendidik generasi peradaban untuk melahirkan para pemuda sebagai pemeran peradaban dengan kepemimpinan dan karya solutif bagi ummat.

“Jika demikian maka Masjid akan sulit diharapkan untuk menjadi pusat dan agen perubahan, terutama jika tidak ada proses mendidik pemuda di dalamnya yang mengantarkan mereka pada peran peran terbaik peradaban,” pungkas dia.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *