30 Juni lalu, KPU baru saja meresmikan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Wartapilihan.com, Jakarta – Dalam pasal 7 ayat (1) huruf h PKPU tersebut, KPU melarang mantan terpidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak menjadi bakal calon anggota legislatif.
Menanggapi hal ini, Reza Indragiri Amriel selaku Psikolog forensik mengatakan, apa yang dilakukan oleh KPU bagus tetapi rapuh. Kendati demikian, Reza mengapresiasi KPU atas keberaniannya.
Menurut Reza, kejahatan terkait properti seperti korupsi memiliki tingkat residivisme tertinggi dibandingkan jenis-jenis kejahatan lain. Kancah politik nasional yang dianggap berbiaya tinggi senyatanya menjadi habitat ideal bagi residivisme tersebut.
“Politisi dengan catatan kriminal korupsi akan menghasilkan produk politik yang juga koruptif. Jika itu yang terjadi, penghancuran terhadap kesejahteraan rakyat tidak lagi sebatas dilakukan sebagai kejahatan individu per individu, tetapi sudah terkonstruksi sebagai kejahatan sistemik bahkan sejak level perundang-undangan,” tutur Reza, kepada Warta Pilihan, Selasa, (3/6/2018).
Lebih lanjut, Reza mengungkapkan, kesamaan jiwa dan langkah antarlembaga penegakan hukum dalam permasalahan korupsi masih belum optimal.
Menurutnya, perlakuan hukum relatif masih biasa saja terhadap kejahatan yang disebut-sebut sebagai kejahatan luar biasa.
“Dibutuhkan sanksi ekstrayudisial (sanksi sosial) utk menambalnya,” tegasnya.
Perilaku koruptif ialah hal yang berbeda dengan kejahatan terorisme, dimana sesama anggota keluarga kerap tidak mengetahui niat dan rencana jahat pelaku, kejahatan korupsi justru dilakukan dan dinikmati oleh anggota keluarga.
“Dengan demikian, melarang koruptor menjadi caleg sesungguhnya merupakan perlindungan terhadap keluarga si koruptor sendiri agar tidak terjangkiti tabiat busuk serupa,” pungkas Reza.
Sementara itu, Mantan komisoner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, adalah hal yang sah saja bila KPU menetapkan hal tersebut karena kemandirian KPU diatur dalam UU Pemilu Pasal 3.
“KPU itu lembaga yang diberikan otoritas untuk membuat peraturan, itu mandatnya jelas di dalam UU. KPU lembaga mandiri, selain nasional dan tetap. Jadi diatur dalam konstitusi,” ucap Hadar, dilansir dari kumparan.com, Selasa, (3/7/2018), di Jakarta.
Menurut Hadar, KPU sudah meminta masukan dari berbagai pihak termasuk DPR sebelum menerbitkan PKPU Nomor 20 tahun 2018 itu. Namun dalam pembahasan, DPR memang menolak dan tidak diamini oleh KPU.
“Kalau KPU menetapkan tidak memperhatikan apa yang diusulkan (DPR), ya enggak apa-apa. Itu harus dihormati semua, itu jadi tanggung jawab KPU. Di MK sudah diputuskan juga bahwa KPU sebagai lembaga mandiri keputusan itu tidak mengikat KPU,” paparnya.
Ia menambahkan, jika ada yang keberatan dengan peraturan KPU, ada prosedur yang dapat diikuti yaitu dengan melakukan uji ke Mahkamah Agung (MA).
Hadar pun heran terhadap sikap penolakan yang dilakukan Menkumham Yasonna Laoly soal apa yang ditetapkan KPU. Padahal, pekerjaan itu hanya administratif alias tidak perlu mendapatkan persetujuan atau tidak.
“Kemenkumham itu tidak punya prioritas untuk mempermasalahkan substansinya, karena Kemenkumham bagian dari pemerintah itu sudah mengikuti proses konsultasi di DPR,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini