Para orangtua memaksa anak untuk membaca, menulis dan menghitung (calistung) karena hal tersebut sebagai prasyarat anak masuk sekolah dasar.
Wartapilihan.com, Jakarta — Mengapa setiap Sekolah Dasar mewajibkan siswa baru kelas satunya untuk bisa CALISTUNG? Hal itu menjadi pertanyaan bagi ahli parenting, Ayah Edi. Ia mengatakan, padahal, jika dibandingkan dengan pendidikan-pendidikan anak usia dini yang ada di negara-negara maju; sama sekali tidak ada kewajiban semacam ini.
“Program untuk anak usia dini mayoritas adalah bermain; karena bermain bagi anak-anak sama dengan Belajar. Mereka baru diperkenalkan Baca Tulis Hitung pada kelas 3 Sekolah Dasar (Elementary),” kata Ayah Edi.
Bahkan secara ilmiah, baru-baru ini ia melihat, anak usia dini baru bisa menfokuskan organ visualnya pada objek-objek tiga dimensi; oleh karenanya alat-alat pembelajaran anak usia dini yang baik adalah berbentuk 3 dimensi.
“Apabila anak usia dini dipaksa untuk belajar Calistung yang pada umumnya menggunakan objek 2 dimensi atau tulisan di papan tulis, maka si anak akan mengalami gangguan organ visual pada usia yang lebih muda,” terangnya.
Adapun alasan mengapa sekolah-sekolah yang ada dinegara maju tidak menekankan pada aspek Baca Tulis Hitung, ialah lebih menekankan pada aspek pengembangan kreatifitas dan kemampuan berpikir/nalar anak.
“Menurut penelitian ilmiah, secara global kemampuan otak manusia yang berkaitan dengan pembelajaran terbagi menjadi 3 hal besar yang pertama adalah Kemampuan Kreatif, kedua adalah Kemampuan Berpikir/nalar dan ketiga adalah Kemampuan Mengingat,” tegasnya.
Dari ketiga kemapuan ini, kemampuan mengingat adalah merupakan kemampuan alami yang bersifat pelengkap sementara kemampuan Kreatif dan Berpikir adalah merupakan kemampuan utama dan vital yang akan membantu anak untuk mencapai sukses dikehidupannya kelak.
“Keberhasilan hidup seseorang lebih banyak ditentukan oleh kemampuan kreatif dan berpikirnya ketimbang kemampuan mengingatnya, atau dengan kata lain kemampuan mengingat (short term memory) hanya sebagai pelengkap saja,” kata pemilik website www.ayahkita.com.
Ia menyayangkan, sayangnya yang terjadi pada sistem pendidikan di Indonesia malah sebaliknya; sejak usia dini anak-anak sudah dipaksa untuk bisa CALISTUNG; yang sesungguhnya hanyalah sebuah proses untuk mengembangkan kemampuan mengingat jangka pendek anak (Short Term Memory Learning).
“Ternyata, Proses ini tidak hanya berhenti di usia dini saja, namun hingga dewasa mereka terus diajar dan diuji berdasarkan kemampuan mengingatnya dan bukan kemampuan kreatif atau nalarnya,” tutur dia prihatin.
Sejak kecil, anak-anak tidak pernah dinilai berdasarkan nalar kita dalam menjawab soal-soal, dan sejak kecil kita juga tidak pernah diberi pertanyaan yang menggunakan nalar/berpikir seperti ‘Apa yang terjadi jika Minyak Bumi Indonesia habis?’
Sementara itu, para pelajar lulusan SMA dan sederajar terus berebut menyerbu peruruan tinggi yang pada akhirnya juga akan menjadikan mereka hanya sebagai calon-calon pengangguran baru.
“Mari, mari bersama-sama kita ciptakan sistem pembelajaran yang mengasah kemampuan Kreatif dan Berpikir anak! dan bukan sekedar hafalan. Agar kelak mereka bisa melihat dan menciptakan peluang-peluang baru bukannya melihat dan menciptakan masalah baru bagi bangsa ini,” pungkasnya.
Eveline Ramadhini