Mengenal Jurnalisme Islami

by
Foto: komunikasipraktis.com.

Teori-teori tentang jurnalisme kebanyakan didominasi oleh pandangan dari Barat. Padahal menurut Lawrence Pintak dari Washington State University, AS, jurnalisme di berbagai belahan dunia dibentuk oleh budaya, agama, politik etnisitas tekanan ekonomi dan faktor lainnya.

Wartapilihan.com, Jakarta – Hal itu disampaikan oleh Beggy Rizkiyansyah, jurnalis jejakislam.net. Kendati jurnalisme Islam belum mendapat banyak perhatian, ia optimis, jurnalisme Islami akan tetap hidup dan memiliki perspektif yang khas berdasarkan worldview Islam.

“Tentu saja ajaran dalam Islam tidak mengenal istilah jurnalisme. Namun dalam Qur’an disebutkan beragam kata yang berakar dari kata “naba” yang disebutkan sebanyak 138 kali. (Muchtar, Nurhaya, dkk : 2017) Naba yang berarti kabar (berita) menjadi salah satu hal penting dalam ajaran Islam,” tutur Rizki, dalam Program #MelekMedia dari Jurnalis Islam Bersatu (JITU), Senin, (21/5/2018), di Jakarta.

Ibnu Taimiyyah membagi kabar menjadi kabar baik yang benar maupun yang keliru atau bohong. Kabar baik (khabar shadiq) dalam Islam menurut al-Attas harus didasari sifat-sifat saintifik atau agama yang mana diriwayatkan oleh otoritas agama yang otentik.

“Dilhat dari otoritasnya, khabar Shadiq menurut Mohammad Syam’un Salim, terbagi menjadi dua. Pertama otoritas mutlak yaitu Qur’an dan Hadist. artinya Al-Qur’an dan hadist menjadi sumber kebenaran tertinggi. Kedua otoritas nisbi yang terdiri dari kesepakatan alim ulama (tawatur) dan orang yang terpercaya secara umum,” lanjut Anggota Jurnalis Islam Bersatu ini.

Mohammad A. Siddiqi dari Western Illinois University menyebutkan bahwa Qur’an dan Sunnah membentuk bingkai tersendiri tentang definisi berita. Qur’an dan Sunnah juga menentukan proses pengumpulan, pembuatan dan penyebaran berita dalam bingkai Islam.

“Hal ini menjadi kode etik bagi jurnalis Muslim. Namun yang menjadi pondasi utama adalah konsep tauhid,” imbuh dia.

Ia mengutip perkataan Nurhaya Muchtar dkk, yang menyebutkan ada empat prinsip dasar yang dibentuk oleh islamic worldview dalam jurnalisme, yaitu (1) konsep kebenaran (haqq), (2) tabligh, (3) masalahah dan (4) wasatiyyah.

“Prinsip pertama, kebenaran (haqq) digali dari ajaran Islam yang melarang untuk mencampurkan yang hak dengan yang batil (QS: 2:42). Mengutip kembali konsep kabar shadiq dalam Islam maka tampak bahwa kebenaran dalam Islam merujuk pada kabar yang benar yaitu berdasarkan qur’an dan sunnah (wahyu),” tegasnya.

Sedangkan Tabligh berarti menyebarkan kebenaran dan kebaikan kepada publik. Dalam konteks jurnalisme, tabligh berarti jurnalis harus berperan sebagai pendidik yang mempromosikan sikap positif kepada pembacanya dan mendorong mereka berbuat kebaikan.

“Prinsip ini menyatu dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar,”

Prinsip ketiga adalah maslahah, yang maknanya mencari kebaikan untuk publik. Nurhaya dkk mendasarkan prinsip masalah pada hadist rasulullah yang mengajarkan agar mencegah keburukan dengan tangan, lidah, atau terakhir hatinya, sebagai tanda selemah-lemah iman.

“Prinsip ini memberi sandaran pada jurnalis untuk memiliki sikap intervensionis dan parsitipatif. Jurnalis bukanlah sebagai pengamat yang menjaga jarak dan tak terlibat. Sebaliknya, jurnalis diharapkan untuk terlibat dalam wacana publik dan menjadi agen perubahan sosial di masyarakat,” tukas Rizky.

Ia menekankan, pendekatan Islam pada informasi utamanya berfokus pada menyebarkan agama, mengutamakan dakwah, hingga akhirnya membuat industri berita sebagai saluran untuk menyebarkan agama, mengubah jurnalis menjadi penyokong keadilan, kesaksian pada Tuhan dan menyadari tanggung jawab sosial mereka.

“Sementara wasatiyyah berarti moderat. Sebuah konsep yang ditekankan dalam Al-Quran, surah Al Baqarah ayat 143. Menurut Al-Sa’di, umat yang wasath (pertengahan) dalam Al-Qur’an berarti adil dan sempurna agamanya.

Bertindak moderat (wasathiyah) sesuai dengan petunjuk al-Quran adalah dengan cara secara konsisten mengikuti hidayah (petunjuk) yang diajarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala melalui Nabi-Nya dan ditransmisikan melalui para ulama yang saleh,” tuturnya.

Satu hal penting lagi mengenai jurnalisme Islam adalah ketika disepakatinya Piagam Media Massa Islam pada Konferensi Internasional Media Massa Islam pertama di Jakarta pada 1-3 September 1980. Beberapa poin penting dari Piagam tersebut diantaranya; jurnalis Islam (Muslim) harus berkomitmen untuk penyebaran dakwah, menjelaskan isu-isu Islam, dan mempertahankan sudut pandang Muslim. Juga menyajikan fakta sebnarnya dalam bingkai Islam. Kemudian, mengadvokasi dengan kebijksanaan, persaudaraan islam dan toleransi dalam memecahkan masalah mereka.

“Belum ada kesepakatan yang definitif dan pasti tentang jurnalisme islami. Namun beberapa tawaran yang diberikan oleh Nurhaya dan lainnya dapat menjadi awalan bagi kita untuk merumuskannya seraya menjadi panduan bagi para jurnalis muslim untuk menjadi panduan dalam meliput dan menulis berita,” tutup dia.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *