Wartapilihan.com, Depok – Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Telah meninggal dunia Bpk ALI AUDAH, 93 tahun, di Bogor, Selasa, 20 Juni 2017. Almarhum adalah seorang pujangga Sastrawan dan penulis buku-buku terkenal. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.
Pesan singkat inilah yang saya buka sejak Selasa pagi kemarin. Perkenalan saya dengan Pak Ali Audah terjadi tiga kali, tepatnya ketika saya menjadi pengurus Pelajar Islam Indonesia (PII) Bogor tahun 2006, bertemu di Kampus UIKA Bogor tahun 2010 dan tahun 2015 ketika menjenguk beliau bersama KH. E Khairul Yunus, Pimpinan Pondok Pesantren Tarbiyatun Nisaa Bogor. Sebagai aktifis muda saya merasa tertarik membaca karya-karya Pak Ali Audah baik tulisan maupun terjemahannya.
Semula saya mengira beliau adalah akademisi yang mengenyam pendidikan tinggi. Terlebih beliau adalah penerjemah “The Reconstruction of Religious Thought in Islam”, sebuah karya momumental dari seorang sastrawan dan filsuf besar asal Pakistan, Sir Mohamad Iqbal.
Saya baru tahu belakangan bahwa Pak Ali Audah ternyata adalah produk “sekolah alam”. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah (Sekolah Rakyat). Berkat kekuatan mujahadah, tafakkur, dan kematangan otodidak, beliau adalah penulis dan penerjemah yang terbaik di negeri ini. Namun semua adalah karunia Allah SWT yg dipilih untuk hamba-Nya, Hadza Min Fadhli Rabbi.
Kenangan dan Kesan
Kesan yang saya dapatkan saat bertemu di rumahnya di Perumahan Bogor Baru, Bogor. Suasana rumahnya begitu teduh dan asri. Di depan rumahnya ada taman sekitar empat kali sepuluh meter ditanami rerumputan dan bunga-bunga. Pak Ali Audah sungguh mengundang simpati. Sebagai anak muda yang terpaut jauh dari segi usia, pengalaman, wawasan keilmuan, dan status sosial, Pak Ali Audah tidak pernah memandang dan memperlakukan saya sebelah mata. Beliau selalu bersedia meluangkan waktu dan terbuka untuk diajak berdiskusi tentang segala hal. Sosoknya yang teduh, rendah hati, nada bicaranya yang santun, dan sikapnya yang ramah, pasti membuat siapapun yg bergaul dengan beliau merasa nyaman. Sampai sekarang saya masih ingat betul pesan beliau: “Saya sangat bahagia”.
Hamka, Ali Audah & Lekra
Namanya memang tidak sebesar Buya Hamka, namun sumbangsihnya dalam dunia sastra tidakkah kecil. Salah satunya adalah inisiatifnya mengakhiri polemik Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan LEKRA di tahun 60an yang menuduh Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka sebagai plagiat dari Al-Majdulin karya sastrawan Mesir Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi. Dengan bijak Ali Audah menerbitkan Al-Majdulin (versi tejemahan berjudul Magdalena) supaya masyarakat bisa menilai sendiri, apakah karya Hamka tersebut jiplakan atau bukan. Terobosan Ali Audah terbukti begitu efektif. Setelah Magdalena terbit, polemik seputar autentisitas Tenggelamnya Kapal Van der Wijck berangsung-angsur hilang.
Bagi tokoh PKI, Njoto dan para sastrawan kiri yang tergabung dalam Lekra, sastra dapat dijadikan kendaraan politik yang ditolak dengan tenang oleh Ali Audah: “Jikalau politik sudah menjadi objek sastra, maka dia bukannya sastra lagi, tetapi politik dalam bentuk sastra”. Bagi Ali Audah: “Sastra adalah ekstrak, saripati dari kehidupan sesuatu bangsa”. Kemudian mengenai seni, ‘seni yg bertendensi atau ‘seni tak bertendensi’, Ali Audah memberikan pendapatnya: “Apabila kita cenderung untuk menyuruh sastra itu bertendensi, misalnya tendensi politik, maka hasil seni ini bukanlah suara batin dari si pengarang lagi, melainkan sesuatu hal yang berada di luar batin si pengarang. Karena itu, dia bukanlah seni lagi namanya. Seni tidak bisa dijadikan propaganda dan agitasi”.
Itulah diantara reaksi Ali Audah terhadap politisasi sastra oleh pihak Lekra PKI yang sedang berada diatas angin di bawah payung kekuasaan Demokrasi Terpimpin yang minus demokrasi itu.
Menjaga Warisan Leluhur
Di tahun 2011 kami beserta kawan-kawan mendirikan Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamaddun. Komunitas ini adalah sebuah lembaga yang ‘concern’ khusus merawat, menjaga, dan mempublikasikan kembali dokumen-dokumen karya-karya para Ulama, Ilmuwan, dan Cendikawan Indonesia. Salah satunya adalah penulis, pemikir, sastrawan dan pujangga Ali Audah yang kami simpan di Perpustakaan Riset Tamaddun.
Diantara karya-karya Ali Audah yg tersimpan baik di rak Perpustakaan Riset Tamaddun antara lain: ‘Ibn Khaldun: Sebuah Pengantar, Konkordinasi Qur’an: Panduan Dalam Mencari Ayat Qur’an, Dari Khazanah Dunia Islam (dengan pengantar: Dr. Kuntowijoyo dan editor Endang Saifuddin Anshary), Sejarah Hidup Muhammad Karya Husain Haikal (terjemahan sastrawan Mesir Husain Haikal), Biografi Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan karyaa Thaha Husain, Ahmadiyah Qadian: Sejarah, Pokok-Pokok Ajaran dan Pribadi Mirza Ghulam Ahmad (karya Abu Hasan Ali Nadwi), Tafsir Holy Qur’an Yusuf Ali, Makalah Pemikiran Ibn Khaldun yg disampaikan pada orasi ilmiah di Kampus UIKA tahun 80an (makalah ini saya dapatkan dari Bapak Hardi Arifin, pembina Dewan Da’wah) dan beberapa karya cendikiawan seperti Haji Agus Salim (Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia), Biografi Memoar Bung Hatta dan terbitan Tintam, Litera Antar Nusa serta beberapa tulisan makalah di Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKSPTIS) 1974-1984 dimana tempat pak Ali Audah berkarya dan bekerja. Yang luar biasanya dari pribadi Pak Ali Audah beliau mengarang dan menulis mulai dari jam sembilan pagi sampai dengan jam sembilan malam. Subhanallah.
Dalam perjalanan ‘rihlah ilmiah’ saya berterima kasih kepada guru-guru yang mengenalkan saya pada sosok pribadi Bpk. Ali Audah, antara lain: Ustadz Ade Syatibi Darwis (Guru Tsanawiyah Pesantren Muhammadiyah Cipanas), KH. Mansur Ali (Guru Mu’allimin Pesantren Persatuan Islam Bogor), Bpk. Hardi Arifin (Mentor Sejarah SPUII), Prof. KH. Didin Hafidhuddin (Pimpinan Pondok Pesantren Mahasiswa Ulul Albab UIKA Bogor & Pimpinan BKSPPI), KH. E Khairul Yunus Allahuyarham (Pimpinan Pesantren Tarbiyatun Nisaa) dan KH. Abbas Aula, Lc. (Pimpinan BKSPPI & Dosen UIKA Bogor). Jazaakumullahu Khairan Katsiera atas semua ilmunya.
Semoga ikhtiar mengumpulkan karya-karya Ali Audah yang kami lakukan dapat “menjaga warisan leluhur” dan menjadi batu bata peradaban Islam di Indonesia.
Pesan dan Kesan Bersama Ali Audah
Bagi Ali Audah, pria yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur 14 Juli 1924 ,(93 tahun lalu), bakat bukanlah nomor satu, tetapi latihan yang tekun dan ulet adalah syarat utama untuk sebuah keberhasilan, termasuk dalam penerjemahan. Maka keluhan seseorang yang sering kita dengar :”Saya tidak punya bakat untuk menjadi penulis,” harus ditolak berdasarkan resep Ali Audah. Tetapi latihan yang terus menerus adalah cara terbaik untuk meningkatkan mutu sebuah karya, asli atau terjemahan. Inilah modal dari sebuah kalimat sakti “Man Jadda Wajada”.
Atas jasa-jasanya dalam kehidupanya sebagai pengarang dan penerjemah buku-buku ‘berat’, Ali Audah telah mendapatkan penghargaan dari pemerintah RI dan beberapa lembaga pemerintah dan swasta, antara lain tanda Jasa kehormatan Satya Lencana Wira Karya dari Presiden RI (20 Juni 2008) dan Anugerah Rumah Puisi dari Sumatera Barat (3 Desember 2011).
Selamat Jalan Pak Ali Audah, Semoga Allah SWT menempatkan engkau disisi-Nya yang terbaik. Engkau adalah karunia tak bertara dari Allah SWT untuk bangsa Indonesia.
[Hadi Nur Ramadhan/Founder Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamaddun/Kampung Peradaban, Cilodong Depok, 27 Ramadhan 1438H] / AZ