Melihat pertumbuhan ekonomi etnis Cina/Tiongkok yang sangat tinggi di Indonesia, ternyata ada sejarah yang melatarbelakanginya, sejak jaman penjajahan Belanda.
Wartapilihan.com, Jakarta –Terkadang kita mempertanyakan, mengapa orang Cina lebih sukses dari segi ekonomi dibandingkan orang Indonesia? Sejak jaman penjajahan Belanda, warga Cina atau yang disebut orang Asia Timur merupakan warga kelas dua dalam strata sosial; Eropa menduduki strata teratas, sedangkan pribumi Indonesia menempati strata terbawah.
Alwi Alatas selaku pakar Sejarah menjawabnya. Ia mengatakan, pada saat jaman kolonial itu, pemerintah Belanda memiliki kebijakan yang berbasis ras; Belanda enggan disamakan dengan pribumi hanya karena warna kulit yang berbeda.
Sejak dulu, pemerintah Belanda yang merupakan bagian dari Eropa memiliki ekonomi yang mumpuni, karena Belanda telah berkuasa di bidang importir produk-produk apa saja, termasuk rempah-rempah.
“Karena pribumi kelas paling bawah mereka juga enggak begitu suka berhubungan dengan pribumi, maka hubungan hanya dilakukan melalui bangsawan pribumi atau pedagang perantara, berupa orang Asia Timur atau Cina,” kata Alwi, dalam Kajian yang bertajuk ‘Ekonomi Pribumi di Priangan Akhir Jaman Kolonial 1900-1942’, Sabtu, (28/10/2017), di Gedung INSISTS, Kalibata, Jakarta Selatan.
“Akhirnya mayoritas diisi oleh Cina, dikasih peluang yang lebih oleh pemerintah Belanda,” lanjut dia.
Pada dasarnya, Alwi menegaskan, orang Indonesia tidak bisa menyalahkan orang-orang Cina. Pasalnya, orang-orang Cina memang tipikal orang yang rajin. Hanya saja, Belanda kurang adil dalam memberi kesempatan antara Cina dan pribumi, terkesan tidak seimbang karena disengaja.
“Belanda (terkesan) enggak mau pribumi terlalu berkembang. Maka, ketika Indonesia merdeka, ekonominya Cina lebih baik dan lebih siap berekonomi, karena sudah terbentuk mentalitasnya. Kondisi yang membuat mereka seperti itu. Walau (orang Indonesia) punya modal tapi kalo gak punya kesiapan akan habis,” papar Alwi.
Ketika Indonesia merdeka, Alwi melanjutkan, komunitas Cina memang lebih siap dalam berekonomi. Awalnya pada masa Presiden Soekarno, banyak kebijakan yang lebih memihak pada pribumi, tapi sayangnya, pribumi tidak memanfaatkan kesempatan tersebut secara optimal.
“Si pribumi dapat kesempatan tapi gak selalu memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Akhirnya, kerjasamanya dengan Cina, ente yang minjem ane yang jalanin. Akhirnya Cina yang mentalnya lebih terbentuk,” imbuh Alwi.
Demikian juga pada masa Presiden Soeharto, orang-orang Cina tidak diberikan akses untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), maupun merambah di bidang politik, sehingga Cina semakin ahli di bidang perdagangan.
“Akhirnya yang punya knowledge-lah yang dapat kemudahan. Yang belajar betul-betul yang akhirnya maju,” ungkap peneliti INSISTS ini.
Seperti diketahui, orang Indonesia tidak banyak yang menjadi pedagang. Menurut Alwi, pada jaman penjajahan dulu, menjadi pedagang bukan sesuatu yang begitu prestise. Yang tinggi statusnya di mata sosial adalah menjadi abdi negara (PNS) atau pegawai kerajaan. “Makanya, mentalitas orang-orang Indonesia di bidang ekonomi tidak begitu terbentuk,” tukas Alwi.
Ia menambahkan, orang Indonesia ke depannya harus memiliki visi dan mentalitas berpikir ke depan, khususnya di bidang ekonomi. Karena, menurut Alwi, penguasaan ekonomi lebih penting daripada politik. Karena jika sudah dapat menguasai ekonomi, maka politik pun dapat dikuasai.
“Buat saya sendiri, saya kita untuk di Indonesia ekonomi lebih penting daripada politik. Karena pintu kalahnya dari situ. Bukan supaya kita kaya, tapi jangan sampai ekonomi kita dikuasai sama orang lain. Ini yang jadi masalah serius,” pungkasnya.
“Masyarakat muslim ini ekonominya sudah bangkit. Tapi kan startnya belum sama. Kalau muncul pengusaha pribumi usaha yang cukup menggeliat tapi masih banyak yang harus dilakukan. 212 Mart, misalnya, supportnya harus dijaga agar terus berkembang menjadi besar,” tandas dia.
Eveline Ramadhini