Meneroka Tapak Kiwari Palestina-Israel

by

Dalam memandang persoalan Palestina, setidaknya ada tiga perspektif yang digunakan oleh Warganet. Pertama, perspektif yang bertumpu pada nilai kemanusiaan. Sedangkan lainnya, mengasaskan perspektifnya pada nilai keagamaan dan kebangsaan.

Wartapilihan.com, Jakarta– Tetapi, anehnya kadangkala masing-masing perspektif ini dilontarkan secara berbenturan antara satu dengan lainnya. Sehingga, terdapat kemungkinan bahwa ada sebagian yang masih bingung mana yang betul dan mana yang salah? Atau bahkan sudah pada tahap dimana sudah meminggirkan perspektif yang ada?

Mari ambil nafas sejenak. Kita urai secara perlahan dan awali dengan mempertanyakan pertanyaan seperti diatas. Dengan kata lain, kemapanan satu atau beberapa pertanyaan, kita coba cek kembali. Singkatnya, kira-kira kenapa ya diharuskan memilih atau terjadi pembelahan yang tajam antara ketiga perspektif tersebut dalam memahami hal yang terjadi di Palestina? Apakah karena landasan nilai kemanusiaan, keagamaan, dan kebangsaan itu saling men-denial dan kontra produktif?

Secara ringkas, tulisan ini hanya akan mengurai masing-masing perspektif tersebut. Harapannya pembaca mampu menangkap benang merah antara ketiga perspektif yang ada dengan terlebih dahulu memahami dengan baik atas beberapa perspektif tersebut.

Pertama, landasan nilai kemanusiaan. Sebagaimana dilansir oleh Anadolu Agency, seorang Yahudi Amerika bernama Laura Whitehorn menanggapi perlakuan Israel terhadap Palestina dengan berkata, “Hak Asasi Manusia untuk semuanya. Bukan pada situasi dimana Anda menciptakan negara apartheid dan mendukung sekelompok orang untuk mengusir orang lain dari tanahnya, mengusir mereka dari rumahnya, dan kemudian Anda menangkapnya ketika mereka mencoba melawan untuk mempertahankan milik mereka. Ini benar-benar situasi yang tak bermoral. Israel sedang melakukan kejahatan perang. Amerika Serikat secara total juga terlibat. Seharusnya dunia dan masyarakat internasional mengakui, bahwa paham zionisme adalah rasisme. Amerika Serikat seharusnya menggunakan kekuatannya untuk mencegahnya dan dengan membuat situasi dimana seperti saat ini, ketika mengkritik negara Israel yang haus darah lantas dicap sebagai anti-semit. Sebagai Yahudi, saya sangat menolak pemikiran seperti itu.”.

Sementara itu, dalam sebuah forum yang diliput oleh ABC Q&A, seorang penulis Australia yakni Randa Abdel-Fattah memberi tanggapan atas komentar seorang Ibu asal Israel atas hal yang dialami warga sipil Israel akibat serangan dari Gaza dengan berkata, “Saya senang putra Anda punya ruang aman untuk berlindung. Andai penduduk Gaza juga punya kesempatan untuk berlari. Tempat yang populasinya paling padat di dunia dan diblokade oleh Israel selama 14 tahun, diputuskan hubungannya dengan wilayah Palestina lainnya. Sama sekali tidak ada kebebasan untuk bergerak. Anda (Israel) punya kekuatan militer yang didukung dan didanai oleh AS, 3.8 milyar dolar per tahun. Anda memiliki senjata modern yang kekinian. Anda menjatuhkan bom pada penduduk sipil, lalu Anda mengatakan pada saya tentang keamanan Israel? Kemana penduduk Palestina di Gaza harus berlindung? Anak anjing putra Anda, anjing Anda ketakutan? Ada anak-anak yang dibantai dan dibunuh. Sembilan keluarga tak lagi ada, mereka dilenyapkan (wafat). Lalu, Anda mengatakan pada saya tentang keamanan Israel?”.

Kemudian kali ini, seorang Politisi Irlandia bernama Richard Boyd Barrett mengomentari Duta Besar Israel dengan sangat tajam, sebagaimana yang dibagikan melalui Richard Boyd Barrett TD Channel. Beliau berkata, “Penduduk sipil Palestina bangkit (melawan) karena Anda meniadakan hak asasi mereka. Saya pernah tinggal disana. Itu adalah sistem apartheid. Itu rasisme. Itu adalah penyakit yang busuk. Tentu saya terkejut selama beberapa pekan tinggal disana untuk melihat bagaimana Anda memperlakukan rakyat Palestina. Dan bukankah faktanya Undang-Undang Kepulangan yang menjadi Undang-Undang Dasar Negara Israel merupakan undang-undang apartheid yang rasis? Karena itu memberikan hak pada orang Yahudi dan tidak untuk Palestina. Undang-Undang itu, contohnya mengizinkan, jika saya seorang Yahudi dan tidak pernah melangkahkan kaki di Israel, maka saya bisa mengklaim kewarganegaraan disana besok. Tetapi, 6 juta orang yang berasal dari tempat yang sekarang Anda sebut sebagai Israel, yang dipaksa keluar pada tahun 1947 atau 1948 tidak memiliki hak itu. Bukankah itu menjadi alasan mengapa orang Palestina bertikai dengan orang Israel? Itu karena Anda meniadakan hak mereka untuk kembali ke rumah, tanah air, dan desa mereka. Mereka memiliki legitimasi, klaim bahkan di bawah hukum internasional, hak untuk kembali, tetapi Anda meniadakan hak tersebut. Mengapa Anda meniadakan hak mereka? Dan mengapa Anda memberikan hak tersebut kepada orang lain yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan tanah tersebut, entah Anda menyebutnya sebagai Israel atau Palestina. Mengapa Anda terus merampas tanah mereka? Jika Anda serius pada Perjanjian Oslo dan solusi dua negara, mengapa Anda terus merampas tanah mereka? Yang mana menurut perjanjian, tanah tersebut merujuk pada tanah Palestina? 500.000 orang telah mengambil tanah (Palestina) sejak Perjanjian Oslo. Anda membiarkan itu terjadi. Mengapa Anda membiarkan itu terjadi? Jika memang Anda serius ingin memberikan tanah itu kepada rakyat Palestina? Ini sungguh diluar batas. Dan Anda bukan hanya memanggil kami para duta besar sebagai idiot dimana Anda bisa mengatakan itu dengan wajah sok serius, “Kami serius dengan perdamaian. Tapi, ketika kami serius dengan perdamaian, maka kami akan tetap merampas tanah milik Palestina.” Lalu, Anda berharap rakyat Palestina hanya duduk-duduk saja dan tidak melakukan apapun? Dan dunia bisa menerima sikap itu? Sebelumnya, Anda menanyakan, “Apakah kita bisa membuat beberapa solusi yang konstruktif?” Apakah Anda mengetahui bahwa apa yang sebenarnya rakyat Palestina inginkan? Beberapa orang juga menginginkan agar keseluruhan sistem apartheid ini seharusnya dihapuskan. Apa yang mereka inginkan adalah angkat pengepungan atas Gaza! Cukup angkat pengepungan atas Gaza. Biarkan mereka memiliki bandara. Biarkan mereka memiliki pelabuhan. Jangan sampai mereka didikte oleh pemerintah yang bukan mereka pilih. Biarkan mereka keluar masuk dari wilayah mereka. Tenaga listrik sendiri. Air yang bersih. Obat-obatan. Apa yang mendasari Anda, sehingga Anda boleh memiliki senjata nuklir dan kekuatan militer empat terbesar di dunia, dan kemudian memberikan kehancuran terhadap penduduk Gaza, dan mereka tidak boleh membela diri mereka sendiri. Mereka tidak memiliki kedaulatan atas wilayah mereka sendiri. Bagaimana Anda membenarkan hal tersebut? Bagaimana Anda membenarkan standar ganda tersebut? Dan terakhir bapak duta besar, orang-orang seperti Uskup (Desmond) Tutu, Nelson Mandela, dan saya dengan yakin menyebut negara Anda sebagai Negara apartheid, dengan adanya hukum yang berbeda untuk orang-orang didasarkan pada ras atau agamanya. Dan bukan itu saja, contohnya di bagian pos pemeriksaan di Tepi Barat, ada jalur khusus orang Israel atau Eropa, dan ada jalur lain jika Anda orang Arab. Hanya karena Anda orang Arab! Jika Anda pergi ke Dale Aaron (Irlandia) lalu mereka menstop Anda dan bertanya, “Apakah Anda Yahudi?” “Oh maaf, Pak. Anda tidak bisa melewati pintu masuk untuk orang Irlandia atau Eropa karena Anda Yahudi.” Anda pasti menyebut itu sebagai rasisme dan apartheid, tapi ya Anda melakukan itu. Anda melakukan itu di pos pemeriksaan Anda, dengan menggunakan pembatas militer dan tembok apartheid Anda. Bagaimana Anda membenarkan itu?”.

Selain itu, dalam acara dialog yang diselenggarakan oleh Sky News, Lolwah al-Khater selaku Jubir Kemenlu Qatar menjawab dengan pasti dan tegas terkait uang donasi yang digunakan untuk membiayai rekonstruksi, pembangunan kembali, dan membantu penduduk sipil Palestina dengan berkata, “Tentu apa yang terjadi di Gaza merupakan malapetaka. Dan mari kita lihat akar penyebabnya, ini bukanlah Israel berhadapan langsung dengan kelompok militer. Ini sebenarnya bermula ketika dilakukannya pembersihan etnis yang terjadi di lingkungan Sheikh Jarrah. Dan berbicara tentang dua sisi dari penyerangan ini, yaitu adanya kekeliruan dalam memandang situasi yang terjadi. Disana ada negara nuklir yang memiliki salah satu tentara terkuat di dunia dan ada orang-orang yang tidak memiliki negara. Terkait upaya rekonstruksi, ya kami memberikan setengah miliar dolar dan sebagian besar akan digunakan untuk membangun kembali rumah-rumah dalam waktu lima sampai enam bulan ke depan. Dan kami yakin nantinya akan membangun 45 unit perumahan, termasuk juga membangun fasilitas lain, seperti bangunan untuk Bulan Sabit Merah Qatar yang dihancurkan saat perang atau serangan atas Gaza. Beberapa bagian donasi akan ditujukan untuk itu. Dan tentunya juga membangun al-Jalaa yang juga dihancurkan, yang merupakan kantor media Associated Press dan al-Jazeera. Sehingga banyak yang bisa dilakukan. Termasuk juga Rumah Sakit Rehabilitasi Hamad yang sebagiannya rusak akibat serangan ini.”.

Ketika ditanya kembali terkait porsi donasi yang digunakan untuk hal lain, maka beliau menjawab, “Sebelumnya 50% dari bantuan ditujukan untuk sektor energi sebagaimana yang kita ketahui, bahwa 2 juta penduduk Palestina di Gaza hidup dengan listrik yang mengalir dua jam setiap harinya hingga kemudian Qatar turun tangan meningkatkannya menjadi 16 jam per hari. Dan sebelumnya juga 50% dari bantuan disalurkan kepada keluarga yang miskin di Gaza sebesar 100 dolar setiap keluarga. Dan harus saya garis bawahi juga, bahwa bantuan dari Qatar bukan hanya untuk Gaza, tapi juga Tepi Barat contohnya proyek perumahan terbesar di Tepi Barat yang merupakan proyek al-Rawabi yang dibiayai Qatar.”.

Kemudian beliau ditanya lagi, kali ini soal persetujuan Israel dan pelanggaran sanksi atas Hamas bilamana Qatar menyalurkan bantuan dana, kemudian beliau merespon, “Klaim ini tidaklah akurat. Siapapun yang mengatakan pada Anda, tidaklah mengatakan yang sebenarnya. Ya, kami menjalankan aturan yang ketat terhadap bantuan dari kami secara umum. Dan ini telah dilakukan melalui PBB dan tentunya setelah disetujui oleh Israel, karena bantuan untuk Gaza harus melalui dua jalur, yaitu melalui Mesir ataupun Israel. Jadi, jawaban untuk itu adalah dana yang digunakan untuk sektor listrik atau untuk bantuan kemanusiaan. Kebanyakan komentator dari Israel mengatakan itu hanya untuk alasan domestik ataupun alasan politik untuk mendapatkan suara.”.

Pertanyaan selanjutnya yang diajukan kepada Jubir Kemenlu Qatar tersebut adalah berkenaan hubungan negara-negara Barat dengan Hamas. Beliau mengatakan, “Ini sudah saatnya negara-negara Barat untuk menghentikan dukungan tanpa syarat baik itu secara moril, finansial, dan politik untuk Israel, itu adalah dukungan tanpa syarat. Permasalahannya sekali lagi bukan tentang Hamas. Pendekatan yang mereduksi perjuangan rakyat Palestina sejak 1948 dan dengan hanya menyebut Hamas, padahal Hamas baru berdiri pada 1984. Ada puluhan tahun penderitaan, bahkan sebelum Hamas berdiri. Jadi, sekali lagi ini bukan tentang dua pihak. Kita membicarakan tentang negara nuklir dengan kekuatan militer salah satu terkuat secara global dan orang-orang yang tidak memiliki negara (merdeka) yang telah menderita berpuluh tahun lamanya. Anak-anak dari pihak Palestina ini dibunuh, mereka bukanlah Hamas. Dan bukan hanya rakyat Palestina, Anda ingat Rachel Corrie? Aktivis Amerika yang dibunuh Israel pada tahun 2003. Mereka bunuh para jurnalis, aktivis, supaya mereka tidak mengatakan yang sebenarnya. Jadi, sekali lagi ini bukanlah agresi dari kedua pihak, ini adalah penjajahan dan Israel adalah kekuatan colonial terakhir yang kita ketahui di masa kita sekarang ini.”.

Diatas hanya beberapa pandangan tokoh atas persoalan Palestina-Israel yang dilandaskan pada nilai kemanusiaan. Tak perlu dijelaskan lebih lanjut, sebab hal yang disampaikan oleh para tokoh tadi sudah gamblang. Berikutnya, kita tengok uraian dari perspektif nilai keagamaan. Dalam buku “Mengenal Sosok dan Pemikiran Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas” karya Dr. Adian Husaini, kita diingatkan kembali pernyataan lugas dan jelas dari Prof. Naquib al-Attas, bahwa “Bukankah di zaman kita ini pun jelas bahawa orang-orang Yahudi dan Kristian, yang keduanya menjelmakan sifat asasi Kebudayaan Barat memang tiada rela menerima baik seruan Islam dan kaum Muslimin, melainkan kita jua yang dikehendaki mereka mengikut cara agamanya? Menganuti sikap hidup yang berdasarkan semata-mata keutamaan kebendaan, kenegaraan dan keduniaan belaka. Dan agama dijadikannya hanya sebagai alat bagi melayani hawa nafsu. Bukankah Ilmu yang sebenarnya sudah sampai kepada kita? Maka mengapa pula kita membiarkan sahaja nasib umat kita dipimpin oleh pemimpin-pemimpin politik, kebudayaan dan ilmu pengetahuan dan juga para ulama yang lemah dan palsu yang sebenarnya tiada sedar bahawa mereka sedang mengekori hawa nafsu Kebudayaan Barat! Mereka membayangi Kebudayaan Barat dalam cara berfikir, dalam sikap beragama, dalam memahami nilai-nilai kebudayaan dan mengelirukan faham serta tujuan ilmu. Kepada Kebudayaan Baratkah akan kita berlindung, akan kita memohon pertolongan, yang akan dapat mencegah tindak balasan Allah kelak? Waspadalah saudaraku Muslimin sekalian!”.

Pesan Prof. Naquib al-Attas diatas memberi gambaran terhadap hal dibalik sebagian umat muslim di dunia termasuk di Indonesia yang mendukung perlakuan Israel atas Palestina atau mengabaikan masalah yang dihadapi Palestina. Worldview mereka telah bermasalah, sehingga bukan hanya sisi ekternal umat muslim saja yang perlu direspon, tetapi sisi internal pun menjadi hal penting yang harus dibenahi. Ada pelbagai dalil dan hadits yang bisa dimaknai kembali dari permasalahan Palestina dan Israel ini. Salah satunya adalah QS. Al-Fatihah: 6-7, yakni “Ya Allah, tunjukkan kami jalan yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat, dan bukannya jalan orang-orang yang Engkau murkai, dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” Rasulullah SAW. Menyebut, bahwa kata al-maghdhuub tersebut merujuk pada al-Yahuud, sedangkan al-dhalliin pada al-Nashara. Itu sekelumit pandangan berasaskan nilai keagamaan, berikutnya adalah kebangsaan.

Roeslan Abdulgani, seorang negarawan dan politikus Indonesia dalam karyanya “Indonesia Menatap Masa Depan” menyebut, bahwa zionisme boleh dikatakan sebagai kolonialisme yang paling jahat dalam zaman modern sekarang ini. Ia berbau rasialisme. Ia menyalahkan agama Yahudi. Ia didukung oleh kekuatan-kekuatan internasional yang berjiwa reaksioner, baik dari kalangan Yahudi di Eropa Barat maupun di Amerika. Menurut beliau, zionisme Israel pada hakekatnya adalah bentuk dan manifestasi dari nafsu untuk merampas tanah air bangsa lain, dengan cara-cara teroris dan kejam. Negara Israel yang didirikan pada tahun 1948, tidak hanya merampas tanah air rakyat Palestina yang tak berdosa, tetapi juga mengusir penduduk aslinya dengan teror dan kekerasan. Ada juga Soekarno, Abdul Haris Nasution, dan para tokoh Indonesia lainnya yang dengan lugas menyatakan pandangannya terkait Palestina-Israel dan tegas mensupport Palestina.

Kalau kita pahami lagi dengan bijak atas ketiga perspektif yang digunakan dalam memahami persoalan Palestina-Israel, yakni dari sisi kemanusiaan, keagamaan, dan kebangsaan sebetulnya saling berhubungan. Akan lebih baik jika kita memiliki pemahaman yang menyeluruh meliputi ketiga perspektif ini. Tentu kontribusi tidak berhenti sebatas mengerti persoalan, tetapi perlu kerja-kerja sesuai kemampuan. Berdonasi, menulis buku, dan lain sebagainya yang bisa menjadi langkah dan kerja sederhana, namun memilki manfaat yang tidak kecil. Selain itu, kita juga harus waspada atas peringatan dari Nabi Muhammad SAW. sebagaimana yang termaktub dalam HR. Muslim, bahwa “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah-sunnah orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta; bahkan jika mereka masuk ke lubang biawak, kalian pun mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Maka siapa lagi?”.

Taufik Hidayat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *