Isr4el adalah sebuah negara kecil yang didukung oleh Amerika Serikat. Selain Isr4el sendiri mempunyai persenjataan yang lengkap, termasuk nuklir, persenjataan AS yang terkuat di dunia ini pun siap mem-back up Isr4el dari serangan negara mana pun yang menyerangnya. Artinya, mengalahkan Isr4el tidak bisa hanya oleh Hammas atau rakyat Palestina sendiri. Harus dilakukan bersama-sama di seluruh dunia Islam. Umat Islam juga tidak bisa mengandalkan negara-negara Barat maupun Timur yang bersimpati kepada Palestina. Harus umat Islam sendiri yang membebaskan Palestina dan mengeluarkan bangsa Isr4el dari tanah suci umat Islam tersebut.
Wartapilihan.com, Jakarta– Bagaimana cara membebaskan Palestina? Kita sudah pernah mengalami hal yang sama sebelumnya. Palestina, dalam hal ini Jerusalem di mana Masjidil Aqsha berada pernah dikuasai oleh tentara Salib selama 70 tahun lamanya. Di masa penjajahan tersebut, kurang lebih 72.000 kaum muslimin di sana dibantai sampai akhirnya datang pahlawan pembebas Palestina yaitu Shalahuddin al-Ayubi. Sejarah sudah mengajarkan, tinggal kita mau atau tidak menerima dan mengambil pelajaran darinya. Apalagi, sepertinya sebab-sebab kejatuhan Palestina dan kekalahan kaum muslimin kala itu mirip dengan kondisi sekarang.
Mengapa Palestina bisa dikuasai oleh tentara salib demikian lama? Mengapa kaum muslimin kalah dalam Perang Salib jilid pertama? Menurut Dr. Majid Irsan al-Kilani, kekalahan-kekalahan yang diderita oleh kaum muslimin dalam perang melawan kaum Salib ini merupakan dampak negatif dari masyarakat muslim sendiri. Tentara Salib menyerang kaum muslimin di tengah kondisi kaum muslimin lemah dan terpecah belah. Telah terjadi perpecahan dan perselisihan antar mazhab yang sangat keras. Penganut madzab fiqh satu dengan yang lain saling bermusuhan ibarat berbeda aqidah. Jika penganut satu madzab bergaul dengan madzab yang lain maka ia akan dikucilkan dari komunitas madzabnya. Bahkan mereka tidak melangsungkan pernikahan jika kedua mempelai berbeda madzab.
Kemewahan dan budaya hedonisme telah membuat jurang pemisah yang sangat lebar antara orang kaya dan orang miskin. Sehingga timbul krisis ekonomi, moral, sosial dan politik. Para pedagang seenaknya menaikkan harga barang, terutama saat kelangkaan bahan pokok. Ibn Taghri Bardi meriwayatkan kekacauan yang terjadi sekitar tahun 428 H. Seorang penduduk Kairo menjual rumahnya dengan harga 20 karung tepung terigu. Padahal rumah itu dulu dibelinya dengan harga 900 dinar. Harga telur sebutir 1 dinar. Sekarung gandum seharga 100 dinar. Tahun 449 H harga-harga kembali meningkat. Buah delima, jambu, mentimun dan sayuran dihargai 1 dinar. Tahun 511 H harga-harga makin tinggi sampai sekarung gandum senilai 300 dinar.
Penduduk Mesir banyak eksodus karena paceklik panjang. Yang tinggal banyak yang mati kelaparan, sampai-sampai ada yang makan daging manusia dan binatang haram. Anjing dijual 4 dinar dan kucing dijual 3 dinar. Banyak penculikan wanita di gang-gang dengan jala untuk dibunuh dan dagingnya dimakan. Tercatat tahun 440 H wabah penyakit tersebar di Mosul Irak sehingga 30.000 orang dinyatakan mati, bahkan pernah 400 jenazah dishalatkan sekaligus (Ibn Taghri Bardi, An Nujum az Zahirah, vol. V).
Sebaliknya, kalangan elit (mutrafun) hidup bermewah-mewah. Ketika seorang menteri kerajaan Fathimiyah bernama Badr al-Jamali meninggal pada tahun 515 H, Ibn Khallikan mencatat, “Kekayaan yang dia tinggalkan berupa 600.000.000 (enam ratus juta) keping uang emas (dinar), 250 peti uang perak (dirham), 75.000 helai pakaian terbuat dari kain satin halus, emas Irak batangan sebanyak 30 kendaraan, sebuah guci emas berisi permata seharga 12.000 dinar, 100 batang gantungan dengan berat tiap gantungan 100 mitsqal, tersebut di sepuluh ruangan yang berarti ada sepuluh gantungan pada tiap ruangan, pada tiang gantungan terlekat kain dengan pengait yang terbuat dari emas, kain tersebut beraneka warna dan dipakai sesuka hatinya. Selain itu ada 500 peti berisi kain dengan sulaman Tanis dan Dimyath.”
“Badr Al Jamali juga meninggalkan kuda, budak, keledai, kendaraan, parfum, perhiasan dan aksesoris yang tidak bisa dihitung kecuali oleh Allah. Sedangkan sapi, kerbau dan kambing benar-benar tidak mungkin dapat dihitung oleh manusia. Jika diperkirakan, harga susu hewan-hewan ternak yang diperah pada tahun kematiannya itu bisa mencapai 30.000 dinar. Di antara sekian banyak warisannya masih ada dua peti besar berisi kain bersulam emas dengan gambar dayang dan wanita-wanita cantik.” (Ibn Khallikan, Wafayat al A’yan, Vol 2)
Sementara itu Ibnu Katsir menuturkan salah satu gaya hidup Abu Nashr Ahmad bin Marwan Al Kurdi, Gubernur wilayah Bakr dan Mayarfin yang meninggal tahun 453 H. “Ia memiliki 500 wanita sariyyah (bekas tawanan perang) beserta pelayan-pelayan mereka dan 500 pembantu. Ia juga memiliki banyak wanita penghibur (penyanyi) dengan harta setiap penyanyi sekitar 5000 dinar atau lebih. Setiap mengadakan acara hiburan biasanya dilengkapi dengan alat-alat dan aneka perkakas yang bisa mencapai 200.000 dinar.” (Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah, vol 12. hal. 87)
Sebagai salah satu gambaran kemewahan pada waktu itu, orang-orang kaya saat musim panas menyuruh orang mengambil balok es dari puncak gunung Lebanon dan dibawa dengan dibungkus kain wol dan karung. Mereka benar-benar hidup bergelimang kemewahan yang tiada tara.
Ketika terjadi serangan tentara Salib, umat Islam di belahan bumi lain tidak menunjukkan kepedulian. Para penyair dan orator berusaha membangkitkan semangat kaum muslimin namun tetap tidak membuahkan hasil. Ibn Taghri mengomentari hasil usaha mereka dan mengatakan, “Akhirnya Qadhi Abu Sa’ad dan delegasi lainnya kembali dari Baghdad menuju Syam tanpa mendapat bantuan sedikitpun, wa laa haula walaa quwwata illa billah!”
Beberapa sumber sejarah Islam juga memaparkan gambaran terburuk dari keengganan dan ketidakpedulian para khalifah dan sultan terhadap perbuatan keji yang dilakukan oleh tentara Salib di Al-Quds (Palestina) dan kawasan pantai Syiria dan Lebanon. Salah seorang delegasi membawa karung besar yang berisi tumpukan tulang belulang manusia, rambut wanita dan anak-anak, lalu menggelarnya di depan para penguasa. Ironinya, Khalifah justru berkata pada menterinya, “Biarkan aku sibuk dengan urusan yang lebih penting! Merpatiku, si Balqa’, sudah tiga hari menghilang dan aku belum melihatnya.” Maksudnya, khalifah mempunyai seekor burung merpati yang memiliki bintik-bintik indah pada bulunya. Burung tersebut sangat terlatih untuk aduan dan menyerang merpati lainnya. Permainan ini sangat populer di kalangan masyarakat dan khalifah pun sangat menyukainya, demikian pula orang-orang kaya dan para petinggi pemerintahan.
Namun Allah segera mengirimkan pertolongan. Pada tahun 1187 M, umat Islam bangkit merebut kembali tanah suci Baitul Maqdis di bawah pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi. Kebangkitan dan kemenangan tersebut tentu tidak muncul dengan sendirinya tanpa adanya upaya-upaya keras dari kalangan umat Islam. Kesadaran tumbuh setelah mereka mulai melakukan gerakan pembaruan dan islah. Tentara salib dapat dikalahkan dalam sebuah pertempuran yang dahsyat di Hittin pada thn 1187. Benteng al-Kark yang kondang dengan kekokohannya berhasil direbut tentara Islam. Lebih dari 10.000 tentara salib binasa dan banyak perwiranya yang ditawan.
Pada tanggal 2 Oktober 1187 atau bertepatan dengan 27 Rajab 583 (hari Isra’ Mi’raj), Shalahuddin dan tentaranya memasuki Jerusalem, tak ada satu pun orang Kristen yang dibunuh dan tak ada penjarahan. Tebusan dengan sengaja ditetapkan amat rendah, agar kaum miskin Kristen dapat dibebaskan oleh pemimpinnya.
Setelah menguasai Jerusalem, Shalahuddin melakukan pembersihan tempat-tempat suci dari pencemaran yang telah berlangsung lama. Al-Aqsha telah menjadi markas besar para Ksatria Kuil, dan mereka telah membuat asrama-asrama di sekeliling dan di seberang masjid. Mereka telah menjadikan sebagian dari mesjid suci itu sendiri sebagai gudang dan kakus. Salib mas yang berada di atas kubah batu diturunkan oleh tentara Shalahuddin. Masjid al-Aqsha yang penuh dengan gambar-gambar dan berhala dibersihkan dengan menggunakan air mawar. Untuk pertama kali adzan berkumandang di menara masjid tersebut setelah hampir 100 tahun dilarang dikumandangkan. Pada hari Jumat, 9 Oktober, kaum muslimin melakukan shalat Jumat pertama di masjid al-Aqsha. (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, hal 409-412)
Menurut Al-Kilani, keberhasilan kaum muslimin merebut Jerusalem tidak serta merta muncul panglima bernama Shalahuddin al-Ayubi, tapi melalui suatu rangkaian perjalanan panjang bahkan melibatkan satu generasi. Perlu satu generasi untuk memulihkan kondisi di mana generasi yang sudah bergelimang dengan kemewahan harus dihilangkan. Generasi lama telah terjangkit penyakit al-Wahn, yaitu cinta dunia sehingga mengakibatkan takut mati. Siapapun yang cinta dunia dan takut mati tidak ada ruh jihad di dalam dirinya. Maka penyakit inilah yang pertama kali harus dilenyapkan.
Tersebutlah seorang ulama bernama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Beliaulah salah satu ulama yang berperan dalam proses pembaruan dan islah tersebut melalui madrasah yang dibinanya. Beliau mulai dengan mendiagnosa penyakit-penyakit masyarakat Islam pada masanya, yaitu mulai dari rusaknya misi ulama, dampak rusaknya misi ulama dan tersebarnya formalitas keagamaan di kalangan masyarakat muslim, ulama yang jauh dari isu-isu krusial dan sibuk dengan isu-isu kecil, munculnya fanatisme madzab dan sirnanya nilai ilmu, pecahnya persatuan umat dan munculnya komunitas-komunitas madzab, tersebarnya praktik keagamaan yang dangkal dan sebagainya.
Maka mulailah beliau melakukan perbaikan mulai dari golongan ulama, golongan ahli ibadah, kaum sufi dan orang-orang kaya. Beliau melakukan kritik sekaligus mengecam sikap ketidakpedulian mereka. Beberapa tindakan Al-Ghazali yang dicatat oleh Al-Kilani adalah berusaha memproduksi generasi baru ulama dan murabi (pendidik), melahirkan sistem baru dalam bidang pendidikan dan pengajaran, menghidupkan misi amar makruf nahi mungkar, mengkritik penguasa dhalim, memberantas materialisme dan praktik-praktik keagamaan negatif dan meluruskan persepsi umum tentang dunia dan akhirat, menyeru pada keadilan sosial, dan memberantas aliran-aliran pemikiran sesat.
Selain Al-Ghazali, ulama yang dianggap mempunyai peranan penting dalam mengembalikan semangat umat untuk berjihad adalah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Beliau juga berjuang melalui madrasah-madrasahnya dengan memperbaiki aqidah umat. Melalui jaringan madrasahnya Al-Jilani melakukan pembaruan dan islah sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Ghazali, yaitu mengembalikan tujuan hidup umat yaitu mencari ridha Allah.
Jadi madrasah-madrasah pensucian jiwa (tazkiyatun nafs) itu sangat berperan dalam menyembuhkan penyakit umat. Umat, termasuk ulama, penguasa dan orang kaya diarahkan hidupnya untuk tujuan ukhrawi. Kita bisa membaca dari karya Al-Ghazali berjudul Ihya’ Ulumiddin yang senantiasa menekankan bahwa tujuan hidup yang sebenarnya adalah tujuan akhirat. Maka adanya penyakit hati pun disembuhkan terlebih dahulu untuk memperbaiki diri.
Dari sanalah lahir satu generasi yang sudah tersucikan hatinya dan akhirnya merekalah yang membebaskan Jerusalem.
Kondisi kaum muslimin khususnya saat ini pun tidak jauh dengan kondisi umat Islam pada waktu itu. Posisi dan potensi umat Islam sekarang sebetulnya kuat. Apalagi sumber daya alam seperti minyak dan hasil bumi berada di negeri-negeri muslim. Negeri-negeri Islam, terutama di daerah teluk merupakan negeri-negeri kaya. Mudah bagi mereka untuk membiayai dan memenangkan peperangan. Tapi kita lihat selama ini mereka justru berlomba-lomba membangun gedung-gedung tinggi, megah dan mewah di sana.
Kemewahan dan hedonisnya di negara-negara Arab dipertontonkan bahkan dipromosikan untuk menghadirkan orang-orang Barat ke sana. Kita bisa melihat betapa kayanya orang-orang Arab itu melalui media sosial. Mungkin saja mereka sudah membantu rakyat Palestina dengan hartanya, kita tidak tahu. Kalau pun itu benar, tapi masih jauh dari yang dibutuhkan.
Kita saat ini membutuhkan orang-orang seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Abdurrahman bin Auf, dan sahabat lainnya dalam hal mewakafkan diri dan hartanya untuk perjuangan membebaskan Palestina. Mereka tidak berpikir lagi berapa banyak yang diinfakkan di jalan Allah karena mereka lebih mendambakan balasannya di akhirat kelak. Kualitas manusia seperti ini bisa dicapai orang-orang Islam sekarang melalui pembersihan jiwa. Melenyapkan penyakit al-Wahn di diri umat. Jika penyakit cinta dunia dan takut mati tidak ada di diri kaum muslimin, mudah saja mengalahkan negeri kecil bependuduk ‘cuma’ 6 juta jiwa itu.
Maka, langkah kita sebelum menjalankan segala sesuatunya, marilah kita mencontoh langkah-langkah yang ditempuh ulama-ulama kita terdahulu dalam memperbaiki kondisi umat seperti Imam al-Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Itulah mengapa Nabi saw memandang jiwa nafsu (jihadul akbar) lebih besar daripada jihad fisik (jihadul asghar). Bukan merendahkan jihad fisik (apalagi kita tahu, amal terbaik adalah jihad fi sabililah dan pahalanya langsung masuk surga tanpa hisab). Tapi bagaimana jihad fisik bisa jalan kalau masih ada penyakit cinta dunia dan takut mati?
Semoga Allah memberikan pertolongan pada hamba-hamba-Nya di Palestina dan negeri-negeri sekitarnya untuk berjihad di jalan Allah, baik jihad melawan nafsu, jihad dengan harta dan jihad dengan fisik. Amiin.
Pekayon Jaya, 23 Mei 2021
Dr. Budi Handrianto
Dosen Pascasarjana UIKA Bogor