Menjadi manusia berkarakter menjadi aset besar bagi bangsa. Sebelum memperbaiki bangsa yang besar, membangun manusia berkarakter dimulai dari pilar keluarga.
Wartapilihan.com, Jakarta – Hal itu disampaikan oleh Prof. Euis Sunarti, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia mengatakan, peran keluarga sebagai unit terkecil sangat penting bagi pondasi manusia berkarakter di masa depan. Pasalnya, keluarga merupakan pendidikan pertama bagi orangtua.
Namun di sisi lain, ia amat menyayangkan, perempuan harus berada di dunia kerja. Padahal, karakter anak sangat dipengaruhi kehadiran orangtua, terutama ibu yang berperan menjadi sekolah pertama bagi anak.
“Seharusnya ada kebijakan, cukup satu orang bekerja, kepala keluarga saja. Ibu yang harusnya di dalam rumah untuk mendidik anak. Kesetaraan gender bagi perempuan ini sangat bahaya, karena jika dua-duanya bekerja siapa yang mendidik anak,” tutur dia, saat ditemui Warta Pilihan, Senin, (14/5/2018), di Jakarta.
Karena permasalahan tersebut, ia pun memberikan solusi dengan merancang RUU Pembangunan Keluarga, yang salah satunya berisi tentang kebijakan ramah keluarga. Kebijakan ini hendak mangatur bahwa cukup satu orang (kepala keluarga) yang bekerja.
Kalaupun perempuan bekerja, tidak harus sampai sore hari (work hour), dan mengutamakan pekerjaan yang bisa dikerjakan dari rumah, seperti mengolah data, dan lain sebagainya.
“Pekerjaan yang ramah keluarga, jangan yang work hour, itu yang sebetulnya sedang saya perjuangkan. Pekerjaan ramah keluarga itu bisa bekerja dari jam 10 sampai jam 3 sore, supaya sampai rumah sebelum magrib. Gajinya 60%, gak apa-apa. Pegang aja outputnya (hasil), kecuali yang costumer service.
Begitu juga para orangtua muda yang anaknya mau dibawa ke kantor, anak-anak dititipkan di tempat yang layak di daerah kantor,” ia menerangkan.
Kelekatan Keluarga Pengaruhi Pembangunan Karakter
Ketua Penggiat Keluarga (GiGa) ini menjelaskan, permasalahan mendasar mengapa manusia menjadi tidak berkarakter kaerna kurangnya peringatan sejak dini dari orangtua dan para pendidiknya.
Mengutip dari Ibn Jazzar Al-Qairawani, Euis menjelaskan, semakin dewasa akan semakin sulit meninggalkan sifat-sifat buruk tersebut. “Banyak orang dewasa yang menyadari sifat buruknya, tetapi tidak mempu mengubahnya krena sifat tersebut sudah mengakar, sehingga menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan,” tegasnya.
Euis melanjutkan, kelekatan antara orangtua dengan anak dapat menentukan karakter anak, khususnya fungsi ekspresif. “Usia paling efektif membangun karakter anak adlah usia di bawah Sembilan tahun,” terangnya.
Biasanya, jika gaya pengasuhan sesuai dengan emosi anak, maka saat dewasa anak mampu membangun hubungan empato, dan mampu menyediakan batasan yang tepat. Sedangkan gaya pengasuhan yang tidak tersedia atau menolak akan membuat anak menghindari kedekatan koneksi emosi anak.
“Gaya pengasuhan yang tidak konsisten juga dapat membuat anak menjadi pencemas, tidak aman, tukang mengontrol, menyalahkan, dan berubah-ubah juga tak dapat diprediksi,” tukasnya.
Maka dari itu, Euis menegaskan agar orangtua mengasuh anak dengan hati yang di dalamnya terdapat sumber cinta dan kasih sayang.
“Cintai anak tanpa prasyarat, karena setiap anak adalah pemenang, dan setiap anak adalah unik,” tegasnya.
Eveline Ramadhini dan Ahmad Zuhdi