Perbincangan mengenai Syi’ah telah ada dalam sejarah Islam sejak berabad lalu. Hal ini dikarenakan kehadiran Syi’ah dalam peradaban Islam memang telah menjadi fakta yang terakui dan tak dapat dipungkiri.
Wartapilihan.com, Jakarta –Akan tetapi kewujudan Syi’ah di tengah-tengah kita sekarang perlu dipahami, ditimbang dan kemudian didudukkan dalam tempat yang wajar. Ibarat noda pada sehelai kain, maka ia harus dipandang sebagai sekadar noda. Tak perlu noda itu dianggap sebagai keseluruhan dari kain itu sendiri.
Inilah yang coba dijernihkan dalam buku berjudul Bukan Sekadar Mazhab: Oposisi dan Heteredoksi Syi‘ah (terbitan INSISTS Jakarta 2018). Sebuah ikhtiar untuk melihat Syi’ah dengan lebih seksama, buku ini menelusuri ratusan literatur mengenai Syi’ah. Tak kurang dari 115 kitab Syi’ah, 73 kitab ahlu sunnah dan 114 karya sarjana orientalis dalam berbagai bahasa.
Selain ratusan referensinya, keistimewaan buku setebal 204 halaman ini terletak pada cara pengelolaan dan pengolahan sumber rujukan tersebut. Berbagai persoalan terkait Syi’ah dijelaskan secara historis, logis dan akademis. Kajian sejarah dan kebudayaan yang jarang digunakan untuk melihat Syi’ah dapat kita
temukan dalam buku ini.
Mulai dari Islamisasi Persia dan Persianisasi (Iranisasi) Islam sebagai dua peristiwa kebudayaan yang melatarbelakangi hadirnya Syi’ah. “Penaklukan Persia”, “Pertikaian Politik”, “Fakta dan Interpretasi”, dan “Unsur Persia dan Sahr-Banu” ialah 4 sub-judul buku ini yang membahas secara terang dua peristiwa
kebudayaan tersebut.
Dari paparan tersebut kita temukan fakta bahwa kehadiran Syi’ah tak lepas dari sebuah usaha “pempribumisasian” Islam oleh orang-orang Persia. Suatu upaya mengukuhkan kepersiaan dengan membedakan diri dengan “Islam Arab”.
Pada bagian-bagian ini kita dapat secara terang melihat bahwa dalam sejarahnya Syi’ah terlibat proses budaya yang kompleks, pengolahan ajaran dan kemudian penciptaan identitas pembeda dengan Islam di tempat lain.
Tentu saja kita perlu melihat Syi’ah dengan keragamannya. Diperlukan klasifikasi yang tepat untuk memilah Syi’ah. Syi’ah seperti apa yang sebenarnya menjadi noda dalam kain utuh peradaban Islam itu. “Tiga Macam Syi’ah” menghadirkan klasifikasi historis-sosiologis dari kelompok ini.
Dari penelusuran terhadap berbagai literatur, penulis kemudian memaparkan perbedaan tiga jenis Syi’ah, yaitu: Syi‘ah terminologis, Syi‘ah politis, dan Syi‘ah ideologis. Dengan pembagian ini kita dapat melihat dengan seksama, Syi’ah pada dimensi seperti apa dan Syi’ah yang bagaimana yang menjadi persoalan kita.
Secara umum, Syi’ah terminologis maupun Syi’ah politis bukanlah sebuah persoalan besar. Kedua hal itu lahir dari dinamika sejarah umat Islam yang lumrah terjadi pada peradaban mana pun. Tetapi lain halnya dengan Syi’ah Ideologis yang masalahnya lebih dari sekadar persoalan sejarah atau dinamika politik dalam tubuh umat Islam.
Syi‘ah ideologis, adalah Syi‘ah dengan makna tersendiri yang mencakup keyakinan (‘aqidah atau i‘tiqād), cara pandang menyeluruh (worldview), pola pikir (mindset) dan kerangka berpikir (intellectual framework) yang pada gilirannya membentuk sikap, mempengaruhi perilaku, dan menentukan penerimaan atau penolakan orang terhadap suatu informasi, menentukan pemahaman, dan mewarnai penafsirannya terhadap fakta dan peristiwa.
Syi‘ah ideologis ini merupakan fenomena ‘gerakan sempalan’ yang muncul belakangan –yakni sekitar dua ratus tahun sesudah wafatnya Rasūlullāh saw (hlm 16). Klasifikasi tersebut kemudian ditajamkan kembali pada Sub Judul “Syiah Ideologis:Tafḍīlī, Rāfiḍī, Ghulāt”.
Varian-varian Syi’ah berikut persoalan yang dikandung dalam setiap kelompok dipaparkan dengan apik dalam bagian ini. Sebagai misal, penulis menjelaskan Syi‘ah Ghuluww atau “Ghulat” sebagai: mereka yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan pelik lagi cenderung kufur dan syirik. Misalnya mereka percaya Sayyidina ‘Alī itu Tuhan yang berwujud manusia (‘alā ṣūrat al-insān), dan Tuhan itu dapat bersemayam di dalam tubuh seseorang (yaḥillu fi ’l-asykhāṣ)… (hlm. 43).
Penjelasan mengenai varian lain dari Syi’ah juga dipaparkan berdasarkan sumber Syi’ah sendiri. Pada akhirnya klasifikasi ini menukik pada pembahasan mengenai “Syiah Takfīrī dan Taqdīsī”.
Klasifikasi baik dengan landasan kesejarahan maupun penelusuran ajaran/ideologi ini penting agar kita dapat melihat persoalan dengan jernih. Selain itu, klasifikasi ini menjelaskan pula posisi penulis buku ini dalam melihat persoalan Syi’ah. Syiah yang mana dan Syi’ah yang bagaimana yang dimaksud dalam buku ini tergambar dengan jelas dan tuntas. Hal ini merupakan ikhtiar yang baik untuk menghindari “kucing-kucingan” dari beberapa penganut Syi’ah yang kerap menyebut para pengkritiknya tidak mengerti apa itu Syi’ah dan perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya.
Klasifikasi yang tajam ini mengunci dan membuktikan Syi’ah seperti apa yang dimaksud dan kemudian dikritik oleh penulis. Kajian kultural-historis terhadap kehadiran Syi’ah yang diikuti pengklasifikasian terhadap Syi’ah ini
dilengkapi oleh penelaahan terhadap beberapa unsur ajaran Syi’ah. “Aqidah Syi‘ah”, “Tafsir Syi‘ah”, “Hadits Syi‘ah” dan “Praktik Syi‘ah” ialah penelusuran yang cukup cermat terhadap persoalan-persoalan pokok dari ajaran yang berkembang pesat di Iran ini. Kontroversi Syi’ah seperti mengenai pandangan mereka terhadap ‘Alī bin Abi Ṭālib, Mut’ah, pengkafiran mereka terhadap Sahabat Nabi, Taqiyyah, Bara’ah dan lain sebagainya dibahas tuntas dari berbagai sumber. Baik sumber Syi’ah maupun sumber Sunni.
Penulisan mengenai ajaran Syi’ah seperti ini tentu telah banyak dilakukan. Salah satu kekhasan dan pembeda buku ini dengan kajian-kajian sejenis ialah pembahasan-pembahasan tersebut tidak hanya berpokok pada pandangan benar-salah dalam ajaran Islam, tetapi juga dilengkapi pembahasan sosiologis dan kesejarahan yang menarik. Misalkan pembahasan mengenai Mut’ah. Selain
menelusuri hadits-hadits mengenai Mut’ah (hukum), penulis juga sampai pada kesimpulan yang lebih dalam.
Jamuan seksual yang dikaitkan dengan keberadaan tempat suci ternyata telah berakar pada tradisi kuno yang diamalkan orang-orang Mesopotamia dan juga hadir di kebudayaan Yunani. Hal ini tentu saja meluaskan perspektif dari sekadar hukum ke kajian anthropologi.
Melengkapi penelaahan-penelahaan di atas, Bukan Sekadar Mazhab kemudian menghadirkan pembahasan mengenai “Syi’ah di Indonesia”. Telaah kritis mengenai “kisah” masuknya Syi’ah ke Indonesia yang kerap diklaim bermula di abad ke-9 masehi atau abad ke-3 hijriah. Pun dikritik beberapa bentuk budaya yang sering diklaim sebagai bukti pengaruh Syi’ah di Indonesia. Misalnya fakta hadirnya kerajan Perlak yang dianggap Syi’ah dan adanya festival Tabuik di Sumatera Barat.
Dua fakta ini seringkali dipakai untuk mengukuhkan kehadiran dan pengaruh Syi’ah di Indonesia. Akan tetapi terdapat kesenjangan waktu antara keduanya. Perlak hadir di abad ke-9, sementara Tabuik baru ditemui pada abad ke-19. Kesenjangan waktu ini, dan beberapa fakta lain, menunjukkan bahwa pengaruh Syi’ah di Indonesia tidaklah besar dan apalagi mengakar. Bagaimana pun bangsa kita ialah bangsa Ahlusunnah.
Seluruh kajian tersebut disampaikan secara runut, tertib disertai keketaan alur logika yang memadai. Meski terbagi kedalam 15 Sub Bagian, buku ini menunjukkan kesinambungan dan ketertiban alur berpikir yang terang. Kaitan antar satu bagian dengan bagian lain tampak jelas sehingga kita dapat melihat benang merah yang utuh. Pun kekayaan pendekatan (syariah, sosiologis, kultural dan historis) tidak membuat buku ini menjadi “ribet” dan tumpang tindih. Semua diletakkan pada tempat yang cukup wajar, proposional dan pantas dengan gaya penuturan yang mengalir. Ada kalanya kita sampai pada bagian-bagian yang penuh dengan kisah menarik, seperti ketika penulis
memaparkan gugurnya Sayyidina Husayn di padang Karbala. Keketatan ilmiah tak mengurangi daya tarik prosaik buku ini.
Pada akhirnya kita akan melihat kesimpulan mengenai Syi’ah dalam buku ini. Setelah mengkaji Syi’ah dengan berbagai pendekatan (syariah, sosiologis, kultural dan historis) sampailah kita untuk melihat bagaimana penulis mendudukan Syi’ah. Paragraf terakhir buku ini dapat meringkas posisi penulisnya terhadap Syi’ah. Bahwa sikap yang paling baik kepada orang Syi‘ah adalah memahami sebelum menghakimi, dan mengembalikan segala tuduhan buruk dari mereka kepada diri mereka sendiri. Dengan tetap berbaik sangka,
cukuplah kita mengatakan bahwa secara ideologis (aqidah) Syi‘ah itu “syi‘ah”, dan secara diplomatis, syiah itu “muslim”. Adapun secara sosial (dalam mu‘amalah), Syi‘ah itu manusia, tetangga, sahabat kita, sama-sama warganegara Indonesia dan seterusnya. Dan di atas itu semua, secara ontologis, Syi‘ah itu makhluk Allah yang mesti kita perlakukan dengan baik dan adil (hlm 148).
Dalam hal ini penulis memperkenalkan sebuah sikap yang bijak, bagaimana kita mesti bersikap adil dan beradab terhadap orang-orang Syi’ah tanpa perlu membenarkan keyakinan mereka. Hubungan antar manusia,
hubungan sebagai “sesama muslim” harus terus dirawat. Hak-hak mereka sebagai manusia harus tetap kita jaga. Namun dengan semua itu tak berarti kekeliruan-kekeliruan Syi’ah menjadi terpupus.
Buku ini baik dibaca oleh umat Muslim yang kerap dibingungkan dengan berbagai dalil-dalil Syi’ah dan juga penting dibaca oleh orang Syi’ah (khususnya di Indonesia) untuk melihat cara pandang seorang Sunni terhadap keyakinan mereka. Dialog persoalan Syi’ah yang lebih bermakna dapat dimulai dari buku ini.
Selain itu, kajian lebih jauh mengenai Syi’ah dapat dilakukan peneliti lain. Buku ini melampirkan berbagai pendapat ulama mengenai Syi’ah. Dari Imam al-Asy’ari, Imam al-Ghazali hingga Ibn Taymiyyah. Juga dilampirkan bukti-bukti tekstual beberapa kontroversi ajaran Syi’ah yang bermasalah. Bon lecture !
- Resensi ini ditulis oleh Tri Shubhi Abdillah dan dimuat di jurnal ISLAMIA. Judul buku: Bukan Sekadar Mazhab: Oposisi dan Heterodoksi Syi‘ah. Penerbit: Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS). Tahun: 1439/2018. ISBN: 978-602-19985-8-8. Tebal 204 halaman + xii ukuran 14 x 21 cm.
- Order Online ke: https://store.insists.id/