Masturbasi, Perspektif Psikologi

by
foto:istimewa

Berdasarkan banyak penelitian, 94 persen remaja melakukan masturbasi. Hal ini terjadi karena tubuh lebih sensitif terhadap rangsangan seksual karena hormon seks sudah aktif di masa ini.

Wartapilihan.com, Jakarta –Hal itu disampaikan oleh Hilman Al Madani, M.Si, Psi, seorang Psikolog dan Trainer di Yayasan Kita dan Buah Hati. Ia menyatakan, jika dilakukan sekali atau dua kali masih tergolong wajar. Namun, jika dilakukan terlalu sering dapat mengganggu mental dan jiwa manusia.

“Hal yang perlu diingat adalah, biasanya orang yang sudah melakukan masturbasi pengennya melakukan terus dan akhirnya sulit untuk menghentikannya. Jadi, sebaiknya hindari deh melakukan masturbasi,” kata Hilman, di Fanpage Facebook Yayasan Kita dan Buah Hati, Jum’at, (9/2/2018).

Ia pun menjelaskan mengapa anak remaja melakukan masturbasi. Menurutnya, adalah hal yang wajar sebetulnya sebagai bentuk reaksi atas perkembangan seks remaja.

“Penyebab lainnya, adanya rangsangan seksual seperti menonton film porno, membaca atau mendengar cerita erotis, atau bahkan melihatnya secara langsung. Ketika hormon seks seorang remaja naik, ia jadi membutuhkan pelampiasan. Jadi, jauh-jauh lah dari rangsangan-rangsangan tersebut,” tutur Hilman.

Bahkan, rasa cemas pun Hilman menganggap sebagai salah satu penyebab seorang remaja melakukan masturbasi. Para ahli mengatakan, masturbasi ada kaitannya dengan perilaku obsessive kompulsive (pikiran dan perilaku yang berulang-ulang) yang dilandasi oleh kecemasan.

Dr. Ian Kerner, seorang konsultan seks juga mengatakan, masturbasi sering dilakukan seseorang yang ingin keluar dari kecemasannya. Perasaan bersalah yang terjadi pasca melakukan masturbasi tersebut akan menimbulkan kecemasan. Jika cemas, maka seseorang membutuhkan untuk tenang dan bahagia.

Karena kebutuhan untuk tenang dan bahagia, orang akan cenderung melakukan masturbasi lagi karena setelah melakukan hal itu otak mengeluarkan zat kimia seperti hormon dopamine (rasa senang) dan serotonin (rasa tenang).

“Kalo menurut saya sih, sebaiknya cari akar permasalahan dari kecemasan, dan selesaikanlah. Jangan sampai masturbasi menjadi jalan keluar dalam mengatasi kecemasan yang justru sebenarnya tak memberikan penyelesaian, malah menimbulkan dampak yang merugikan,” saran dia.

Efek Jangka Panjang

Adapun hal-hal yang dapat terjadi jika terus menerus dilakukan ialah yang pertama kesulitan untuk fokus.

“Kalau kamu sudah keseringan, pikiran atau fantasimu akan sulit dikendalikan. Mungkin hal ini akan sangat mengganggu, terlebih jika kita berada pada kondisi yang mengharuskan untuk fokus penuh,” kata Hilman.

Keseringan masturbasi, Hilman melanjutkan, dapat membuat terlalu banyak testosteron yang diproduksi menjadi DHT (dehydrotestosterone). Tingginya kadar DHT dalam tubuh dapat menyebabkan kebotakan dan pembesaran prostat jika sirkulasi darah terganggu di daerah prostat sehingga menyebabkan akumulasi senyawa tersebut.

“Ketiga, ejakulasi dini. Ini yang seringkali menjadi ketakutan para laki-laki. Riset membuktikan bahwa ejakulasi dini lebih banyak dikarenakan oleh faktor psikologis. Semisal rasa bersalah. Di samping itu, pola pemuasan hasrat secara individual, pada akhirnya seseorang hanya terpola untuk cepat tuntas dan selesai,”

Yang terburuk, Hilman mengatakan, saat menikah nanti kemungkinan orang yang kecanduan masturbasi akan sulit berhubungan dengan pasangan yang nyata. Cenderung lebih suka memuaskan hasrat secara mandiri (self service) dengan fantasi dan imajinasinya sendiri.

Kendati demikian, Hilman tetap memberi solusi agar dapat keluar dari kebiasaan masturbasi. Yaitu, bisa menjauhkan diri dari stimulan yang memicu naiknya hormon seks, seperti tayangan porno, cerita porno maupun lingkungan yang tidak baik. “Jaga mata, jaga telinga, dan jaga kemaluanmu.”

Kedua, ia menyarankan agar selalu waspadai waktu luang. Apalagi jika tidak disertai perencanaan yang baik. “Saya pernah punya klien di rumah sakit, seorang remaja yang selalu masturbasi sepulang sekolah. Alasannya karena ‘gabut’ (ngga ada kerjaan kata anak sekarang). Akhirnya saya kasih ‘PR’ deh setiap kali sepulang sekolah. Dan alhamdulillah sekarang jauh lebih baik kondisinya. Jadi, kenali waktu-waktu rawanmu. Lalu isi dengan kegiatan yang terencana dan bermanfaat,” cerita dia.

“Ketiga, selesaikan permasalahan yang menimbulkan kecemasan. Mungkin bisa dengan melakukan relaksasi sejenak dan merilis emosi-emosi negatif. Jika diperlukan, jangan sungkan untuk datang kepada orang yang dianggap bisa membantu penyelesaian masalah seperti; orangtua, Guru, atau bahkan psikolog yang mengerti akan hal ini,” tukasnya.

Terakhir, dapat dilakukan cara dengan menyalurkan energi pada kegiatan fisik yang menguras energi. “Jangan hanya diam dan main gadget. Kalo kamu makan banyak, kamu juga harus bergerak banyak. Supaya energimu tersalurkan dan ngga bikin penyakit (salah satunya obesitas). Di masa inilah kamu harus coba banyak melakukan kegiatan positif yang bermanfaat untuk hidupmu kelak,” pungkasnya.

 

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *