Masjid Kruszyniany, Simbol Toleransi

by
Masjid Kruszyniany
Wartapilihan.com, Polandia – Banyak cara untuk merajut toleransi. Di antaranya, dengan belajar dari jejak-jejak sejarah masa lalu. Di Polandia, Eropa Timur, misalnya, jejak-jejak sejarah bisa dijadikan pijakan untuk saling mengenal, memahami, dan akhirnya toleransi terajut dengan sendirinya.

Polandia yang berpenduduk 38 juta, 90% warganya beragama Katolik. Jumlah Muslim di seluruh Polandia ditaksir sekitar 30 ribu orang, dan 10% berasal dari suku bangsa Tatar yang muasalnya dari Mongolia. Mereka boleh dibilang anak-cucu Jenghis Khan, sang penakluk yang fenomenal, itu.

“Kami Muslim sedari lahir,” begitu tutur Jimmy dalam bahasa Inggris yang fasih. Jimmy adalah keturunan suku bangsa Tatar yang menjadi pemandu bagi wisatawan yang berkunjung ke Masjid Tua di kota kecil Kruszyniany, berjarak tempuh 4 jam dari kota Warsawa, Polandia.

Komunitas yang 10% ini menarik untuk dikaji. “Komunitas Tatar punya andil di sini,” begitu tutur Andrzej Ahmed Saramowicz, seorang tokoh Muslim yang menjadi Presiden Rumi Foundation of Poland itu.

Di jamannya, Jenghis Khan menjelajah dan menguasai kawasan Asia, Eropa Timur, dan sebagian wilayah Persia. Wilayah-wilayah yang begitu luas itu akhirnya dibagi-bagikan kepada anak-anaknya. Jochi, putra sulung Jenghis Khan, menguasai Rusia dan wilayah Eropa Timur lainnya, termasuk Lithuania, Polandia, dan Belarus, tiga negara yang bertetangga.

Suku bangsa Tatar yang masuk ke Polandia adalah anak turunan dari Jochi, masuk ke Polandia sekitar abad 14 M. Waktu itu, Lithuania-Polandia masih satu, di bawah kepemimpinan Pangeran Witold. Di sini, suku Tatar ikut andil mempertahankan wilayahnya dengan cara ikut berperang membela Pangeran Witold. Selain sebagai pengelana dan berkebun, suku bangsa Tatar juga dikenal ahli menunggang kuda. Pasukan Tatar dikenal dengan pasukan berkuda yang handal dan ditakuti oleh pihak lawan.

Masjid tua di Kruszyniany adalah masjid yang dibangun pada tahun 1768 M, terbuat dari kayu. Jika Kruszyniany terletak di timur kota Bialystok, di arah tenggara kota ini ada masjid tua Bohoniki yang juga dibangun pada abad 18 M. Baik di Kruszyniany maupun di Bohoniki, selain ada masjid, ada juga pemakaman muslim yang nisannya ditulis dalam bahasa Arab dan Polandia. Tak banyak komunitas Tatar yang menetap di dua kota kecil itu. Hanya sekitar 5 keluarga, sisanya, sebagaimana watak dari suku bangsa ini yang terus bergerak dan berkelana, mereka merantau ke kota-kota lain di Polandia.

Kini, masjid di Kruszyniany dan masjid yang ada di Bohoniki, keduanya tak lagi dipakai untuk shalat berjamaah. Setiap harinya hanya berfungsi sebagai daerah tujuan wisata, dari berbagai suku bangsa dan agama, baik yang berasal dari Polandia sendiri maupun turis asing dari mancanegara. “Dengan saling berkunjung dan memahami masing-masing komunitas dan agama, toleransi bisa terwujud,” begitu Jimmy menjelaskan.

Para wisatawan yang berkunjung ke masjid di Kruszyniany dan masjid di Bohoniki, oleh para pemandu, diberi buku kecil yang menjelaskan sejarah secara ringkas tentang masjid, komunitas, dan adat-istiadat setempat. Para pemandu menjelaskan asal-usul komunitas ini, dan tentang peran mereka sepanjang sejarah keberadaannya di wilayah Polandia. “Ya, toleransi antar umat beragama di Polandia ini cukup baik. Kami saling menghormati meski beda suku, etnis dan agama,” tutur Andrzej Saramowicz yang asli Polandia. Para wisatawan yang datang ke dua kota kecil di Polandia ini, selain dengan rombongan, jamak terlihat mereka membawa keluarganya. Mereka hadir untuk mendapatkan informasi di seputar peran etnis Tatar dalam berbaur dengan suku-suku asli di Polandia.

Untuk melaksanakan shalat jamaah, khususnya shalat Jumat, hanya ada di kota-kota besar saja. Misalnya di Bialystok yang berjarak tempuh 45 menit baik dari Kruszyniany maupun dari Bohoniki. Itupun bukan di masjid, tapi rumah yang dijadikan masjid jika hari Jumat. Jumlah jamaahnya tidak banyak, sekitar belasan sampai puluhan saja.

Jika suku bangsa Tatar yang minoritas di Polandia bisa memberikan sentuhan sejarah yang menginspirasi terbinanya toleransi. Umat Islam di Indonesia, yang mayoritas ini, tentu bisa bicara banyak tentang toleransi yang perlu ditengok oleh bangsa-bangsa di dunia.

Penulis: Herry M. Joesoef

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *