Wartapilihan.com, Jakarta – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom) KH. Masduki Baidlowi menilai cara-cara sepihak dan otoriter tidak boleh kembali dilakukan negara untuk memblokir media Islam.
“Dalam demokrasi tidak boleh ada penutupan sepihak. Karena pilar demokrasi adalah kebebasan berpendapat dan berkumpul,” ujar Masduki dalam silaturahim dengan Jurnalis Islam Bersatu (JITU) di Kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa (14/2).
Masduki menjelaskan, terlepas dari pro kontra sistem demokrasi, Indonesia sudah sepakat menerimanya sebagai prinsip bernegara. Dalam demokrasi, tidak boleh ada langkah mengekang kebebasan perpendapat.
“Hukum hanya boleh menghakimi sebuah tindakan bukan pikiran. Apapun pikirannya itu tidak boleh dilawan karena itu kebebasan pendapat,” jelasnya yang ditemani sejumlah anggota JITU.
Mantan wartawan Tempo era 80-an ini mengatakan jurnalis muslim memiliki fungsi menyebarkan ajaran agama Islam. Jurnalis muslim memiliki peran berdakwah kepada masyarakat melalui media. “Dalam alam bebas ini kita sebagai jurnalis muslim mengharuskan misi kita adalah dakwah,” jelasnya.
Merespon kebutuhan sinergitas elemen jurnalis dengan MUI, Masduki akan merutinkan pertemuan pengelola media Islam dan jurnalis muslim dengan MUI. Hal ini sebagai tindak lanjut pertemuan antara pengelola media Islam dengan MUI yang dilakukan beberapa waktu lalu.
“Kita akan rutinkan 3 bulan sekali. MUI sudah membentuk sub komisi jurnalis muslim,” paparnya.
Sementara itu, Anggota Dewan Syuro JITU Mahladi menyoroti polemik barcode media yang dikeluarkan Dewan pers. Menurutnya, kebijakan ini bernilai positif jika pemerintah benar-benar ingin melakukan pengawasan atas profesionalitas media massa. Namun jika kebijakan ini ingin mendiskriminasikan media yang berbarcode dan tidak, ia tidak setuju.
“Barcode ini ingin mengatalan ini lho media hoax dan ini yang tidak hoax, ini yang standar jurnalistik dan ini yang tidak. Sehingga masyarakat diajak untuk hanya membaca media yang barcode,” terangnya.
Pemimpin Redaksi Kelompok Media Hidayatullah ini khawatir jika kebijakan barcode media ini berangkat dari prinsip like and dislike. Akhirnya media Islam kesulitan untuk menfatar. Jika ini terjadi, dia yakin ulama akan bersama dengan media Islam.
“Kami yakin ulama akan mengatakan bahwa media Islam adalah partner kami,” jelasnya.
JITU sendiri telah mengeluarkan kode etik jurnalis muslim yang mengikat para anggotanya. Bagi jurnalis yang ingin bergabung dengan JITU, wajib menaati kode etik.
“Dalam kode etik, kita menolak amplop yang diberikan oleh narasumber. JITU juga melarang anggotanya menulis yang memenuhi unsur fahisyah atau yang berbau ponografi,” jelasnya.
Wartawan yang malang melintang di Harian Republika ini menilai JITU selalu mengintrospeksi diri dalam melakukan kegiatan peliputan. Maka itu JITU selalu berpegang kepada Kode Etik Jurnalistik.
“Sebagai upaya keseriusan kami maka kami menerbitkan kode etik jurnalis muslim.
“Kode etik kami mirip dengan dengan kode etik jurnalistik umum, tapi kami menempatkan alquran dan sunnah dalam kode tersebut,”
Guna meningkatkan kemampuan dan skill jurnalis muslim, Mahladi mendorong adanya kerjasama dengan MUI.
“Kita tentu ingin meningkatkan kualitas bersama, maka kita akan sangat terbantu jika kemudian dari Kominfo MUI menggelar pelatihan bersama,” Mahladi berharap.
Reporter: Pizaro