Idul Fitri akan datang sebentar lagi. Tetapi, bagaimana sesungguhnya makna dari idul Fitri itu sendiri?
Wartapilihan.com, Depok – Idul Fitri tidak identik dengan lebaran. Lebaran dengan semua tradisinya pasti berlalu. Tetapi Idul Fitri dengan makna hakikinya sedianya terus menjadi cermin bagi perbuatan dan perilaku kita sepanjang tahun. Hal itu disampaikan oleh Dr. Syamsul Yakin, MA, Dosen Pascasarjana FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hari ini, di Depok, (23/6).
“Motivasi lebaran dipacu untuk memuaskan apsek fisikal yang dangkal. Sedangkan kerinduan akan Idul Fitri dipicu karena manusia sadar akan eksistensinya: dari mana berasal, untuk apa diciptakan, dan akan ke mana kelak. Bila lebaran bersimbolkan pakaian dunia yang serba baru, maka Idul Fitri berbalutkan pakaian ukhrawi yang serba otentik,” lanjut Dr Syamsul.
Ia menambahkan, lebaran semestinya tidak dinantikan oleh mereka yang menekankan aspek kemeriahan dan kemegahan palsu dan serba menipu. Idul Fitri justru dinantikan oleh mereka yang selalu mengheningkan cipta, melakukan perenungan, dan peningkatan iman, “Dibuktikan dengan kesepadanan antara porsi spiritual dan material serta antara saleh secara ritual dan sosial,” tuturnya.
Ia menegaskan, bila selepas Ramadhan hati kita belum juga sudi menengok dan berpihak pada keadilan, kebenaran, kedamaian, persatuan, kemakmuran untuk semua berarti kita belum ber-Idul Fitri. “Karena kita gagal menyingkap tabir kemanusiaan dan ketuhanan. Kita tidak memiliki kepekaan terhadap seluruh eksistensi diri,”
Allah SWT berpesan dalam Al-Quran surat As-Syuura ayat 24, “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan baginya di dunia, dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya satu bagian pun di akhirat.”
“Dalam bahasa kita, ayat di atas bisa kita maknai: Bila di penghujung Ramadhan ini, kita memotivasi diri untuk terus-menerus meningkatkan intensitas hablumminallaah dan hablumminanaas agar menggapai nilai hakiki Idul Fitri, maka kegembiraan lebaran juga akan kita dapatkan,” paparnya.
“Namun, bila lebaran adalah tujuan terakhir dari puasa hingga kita sibuk mempersiapkannya, bisa dipastikan kita akan mendapatkan kemeriahan dan kemegahan lebaran itu saja dan tidak ada sedikitpun kesucian Idul Fitri pada diri kita,”
Pengasuh Pondok Pesantren Madinatul Qur’an Indonesia ini mengajak pada masyarakat untuk memaknai momentum keagamaan dan kemasyarakatan dengan menyibak hakikatnya, karena idul Fitri adalah hari di mana hati “merayakan” kembali kesuciannya.
“Fithrah manusia adalah suci-bersih. Kedatangan Idul Fitri yang didahului oleh “hari-hari pembakaran” dan tapabrata Ramadhan harus kita pertahankan. Allah sendiri menetapkan bahwa manusia identik dengan kesucian bila kita dapat terus menjaganya,” ungkapnya.
Menjelang hari kemenangan penuh kesuciaan ini, beliau menghimbau untuk berkaca diri dengan menggugat model keberagamaan selama ini. Ia katakan, sebaiknya kita hancurkan doktrin-kaku yang membatu dan tanpa dasar. “Agama berperan untuk mengarahkan manusia mengembalikan kesuciannya, bukan mengekalkan kenikmatan duniawi yang serba meriah, mewah dan megah,” pungkasnya. II
Eveline Ramadhini