“Indonesia merupakan kunci untuk membuat diplomasi dengan Myanmar. Tentu saja kami ingin agar penegakan itu ditugaskan secara utama dan mendorong HAM disana,” kata Josef Benedict.
Wartapilihan.com, Jakarta –amnesty International mendeteksi setidaknya 80 kebakaran berskala besar terjadi di daerah-daerah yang berpenduduk wilayah Rakhine sejak 25 Agustus. Citra satelit selama periode bulan yang sama selama 4 tahun terakhir tidak menunjukkan adanya kebakaran sebesar ini di negara bagian manapun di Myanmar.
Jumlah sebenarnya dari kebakaran dan tingkat kerusakan properti kemungkinan akan jauh lebih tinggi, karena tutupan awan selama musim hujan menyulitkan satelit untuk menangkap semua pembakaran. Selain itu, kebakaran yang lebih kecil tidak terdeteksi oleh sensor satelit lingkungan.
“Saat penduduk desa yang berhasil bertahan hidup mencoba untuk meninggalkan daerah tersebut, pasukan keamanan membakar rumah dengan menggunakan bensin dan roket peluncur,” kata Direktur Amnesty Internasional Usman Hamid di Gedung HDI HIVE, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/9).
Pemerintah Myanmar menyangkal bahwa pasukan keamanannya bertanggung jawab atas pembakaran tersebut, tetapi justru malah mengklaim bahwa etnis Rohingyalah telah membakar rumah mereka sendiri. Usman menyatakan, tragedi yang terjadi saat ini memang berat, karena peristiwa ini merupakan peristiwa yang berakar dari diskriminasi pada etnis muslim Rohingya di Myanmar dengan pencabutan status kewarganegaraan.
“Dalam tragedi ini, isu terorisme sangat lemah. Karena rohingya sudah mendapat diskriminasi puluhan tahun, tapi isu terorisme baru muncul akhir-akhir ini. Upaya pemerintah untuk mengalihkan kesalahan kepada penduduk Rohingya adalah kebohongan yang sangat nyata,” ujar dia.
Dalam kesempatan sama, Deputi Direktur Amnesty International untuk Asia Tenggara dan Pasifik Josef Benedict menuturkan, PBB telah membentuk tim pencarian fakta (TPF) untuk menyeliki dan mendapatkan fakta serta data terkait tragedi kemanusiaan di Myanmar. Tim tersebut didorong oleh negara Barat termasuk para jurnalis-jurnalis internasional dan juga lembaga HAM seperti Amnesty International untuk mendapatkan bukti dari lapangan.
“Benar kami membawa bukti apa yang terjadi sesungguhnya di Myanmar, tetapi banyak yang menolak. Dan mereka bilang bahwa yang membakar ini adalah masyarakat Rohingya. Padahal ini bukti dari satelit dan lembaga-lembaga lain tidak bisa mengatakan ini tidak terjadi langsung di Myanmar,” paparnya.
Sebelum tanggal 25 Agustus, pihaknya memiliki akses untuk melakukan penelitian di Myanmar. Namun, sejak meletusnya tragedi yang sangat tidak berperikemanusiaan itu, semua NGO (non governement organization) dipersulit oleh Pemerintah Myanmar dengan alasan perizinan.
“Kami telah mendorong mereka untuk memberikan akses, bukan saja Amnesti Internasioanl, tapi juga lembaga-lembaga kemanusiaan lain. Sampai sekarang belum ada ancaman kepada kami, hanya saja akses perbatasan yang dipersulit. Persekusi dan diskriminasi saya yakin terus berjalan kalau PBB tidak angkat tangan,” tandasnya.
Peneliti Amnesty Internasional Laura High melalui Skype menyatakan, tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar merupakan tragedi yang bermuara pada sentimen keagamaan. Padahal, sejak tahun 1950 masyarakat Rohingya banyak yang menjadi politisi. Namun, sejak status kewarganegaraan mereka dicabut tahun 1980, etnis Rohingya menjadi target genosida.
“Ini menjadi bukti nyata etnis Rohingya ditarget pembunuhan karena agama mereka. Etnis Rohingya mengalami persekusi karena kepercayaan dan identitas mereka,” terang Laura.
Selain itu, lanjut Laura, Militer diduga kuat memasang ranjau tersebut karena banyak pengungsi yang telah menyebrang ke Bangladesh untuk membawa makanan dan membantu pengungsi lainnya menyebrang ke Bangladesh.
“Militer Myanmar merupakan salah satu dari sedikit angkatan bersenjata di dunia, di antaranya Korea Utara dan Suriah, yang masih menggunakan ranjau anti personil. Otoritas setempat di Myanmar harus segera menghentikan praktik keji terhadap orang-orang yang melarikan diri dari persekusi ini,” tandasnya.
Ahmad Zuhdi