Layar TV dan smartphone tak jarang menyuguhkan tampilan gaya hidup selebritis yang memang selalu jadi sorotan. Terlebih kehidupan mereka sering diidentikkan dengan gaya hidup mewah dan glamor seiring posisi dunia barat yang mulai jadi kiblat mereka.
Wartapilihan.com, Jakarta– Cara berpakaian atau pergaulan dari banyak seleb terlihat lebih meniru gaya hidup kebarat-baratan. Bahkan, ada juga yang sudah biasa dengan sederet kebiasaan pesta, pakaian minim, minuman beralkohol di usia muda, hingga gaya berpacaran yang mesranya sudah layaknya pasangan suami istri. Parahnya hal-hal ini diikuti oleh masyarakat era kiwari yang sebagiannya sedang diterpa kegamangan dalam soal jati diri. Nilai-nilai tersebut, mereka adopsi dengan tanpa pertimbangan matang atau hanya sekadar ikut saja. Misal dalam hal berpakaian, pada awalnya individu merasa tertarik untuk mencoba pakaian yang berbeda agar mengikuti tren hingga akhirnya mereka mengubah gaya berpakaiannya untuk seterusnya.
Kegelisahan ini salah satunya diutarakan oleh Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani dalam penutupan Diskusi Panel Serial bertema ‘Membangun Budaya dan Nilai Keindonesiaan Demi Masa Depan Bangsa’ di Jakarta, Sabtu (3/12/2016). Beliau mengatakan, bahwa “Saat ini karena pengaruh globalisasi telah membuat anak-anak muda bersikap kebarat-baratan. Ini menjadi sebuah pekerjaan yang harus kita pikirkan,” (www.liputan6.com) Selain yang telah disebutkan diatas, gaya hidup kebarat-baratan ini nampak dari meningkatnya eksistensi LGBTQ, obat-obatan terlarang, memudarnya nilai sosial, dan lainnya. Jelas ini bukan permasalahan remeh, tetapi ikhtiyar solusi terhadap hal-hal ini terus dilakukan oleh pihak-pihak terdampak dalam pelbagai bentuk, salah satunya melalui tulisan ini.
Lifestyle dalam Modernisasi atau Westernisasi
Proses imperialisme dan kolonialime dalam waktu yang panjang terjadi di Indonesia memberikan dampak yang luas dalam kehidupan masyarakat. Diantara dampaknya, terjadi westernisasi atau modernisasi dalam segala segi kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk gaya hidup (lifestyle). Bila menilik lembaran sejarah Indonesia, belum pernah dijelaskan secara pasti sejak kapan proses westernisasi atau modernisasi ini mulai terjadi. Tetapi, sebagian para pakar sejarah Islam mengatakan, bahwa proses westernisasi atau modernisasi terjadi sejak era kolonialisme dan imperialisme di Indonesia dan dunia Islam lainnya pada abad 19 Masehi.[1] Hal ini dapat dibenarkan, karena pengaruh secara langsung dapat dilakukan oleh Barat terhadap masyarakat Indonesia pada era itu.
Seiring berjalannya waktu, proses tersebut terjadi baik dalam skala kecil atau besar. Tanpa disadari, masyarakat dikejutkan dengan perubahan-perubahan yang telah maupun sedang terjadi dan mengalami kegagapan. Oleh sebagian peneliti, perubahan tersebut terbagi mejadi dua kategori. Pertama, dilihat dari aspek pola pikir masyarakat dengan budaya materi (life style). Kedua, dilihat dari dimensi kultural (budaya masyarakat) serta interaksionisme (hubungan antar masyarakat).[2] Salah satunya bisa ditilik dari realitas sosial yang demam dengan gaya pakaian para model, artis, atau orang-orang yang sibuk di dunia entertainment. Paduan jeans, oblong ketat, dan seterusnya merupakan gaya yang cukup digandrungi oleh para remaja putri, dewasa muda, dan dewasa. Bagi remaja putra dewasa, selain mengikuti tren juga menghiasai diri dengan tato, kalung, dan sejumlah aksesoris lainnya.
Fenomena di atas secara jelas telah menggambarkan fenomena yang diistilahkan sebagai budaya pop. Penampilan dan gaya menjadi lebih penting daripada moralitas, sehingga nilai-nilai tentang baik atau buruk telah melebur dan dijungkir-balikkan. Tanda-tanda pesatnya pengaruh budaya pop ini dapat dilihat pada masyarakat Indonesia yang sangat konsumtif. Membeli barang bukan didasarkan pada fungsi guna dan kebutuhan, tetapi lebih didasarkan pada prestise atau sejenisnya.[3] Semakin maraknya dan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan seperti mall, industry mode atau fashion, industri kecantikan, industri gosip, dan real estate yang menjadi pendukung semakin kuatnya pengaruh budaya pop ini. Tentu fakta-fakta demikian tidak telepas dari peran media massa, yang dewasa ini memiliki pengaruh besar dalam ruang kehidupan manusia.
Dengan kata lain, modernisasi atau westernisasi mengakibatkan sejumlah perubahan sosial dan merongrong sistem nilai masyarakat. Tidak semua orang mampu bersikap adil terhadap modernisasi dan perubahan sosial yang pada gilirannya menimbulkan ketegangan (stressing) pada diri individu. Banyak orang terpukau dengan modernisasi, dalam gaya hidup salah satunya. Mereka menyangka, bahwa modernitas akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan. Orang tidak menyadari bahwa dibalik modernisasi yang serba memukau itu terdapat gejala mental yang dinamakan dengan the agony of modernization, yaitu azab sengsara karena modernisasi (Hawari, 1997).[4] Hal ini dapat membentuk suatu akumulasi dalam diri individu dan berkembang menjadi suatu ketegangan pikososial yang pada akhirnya akan menampilkan wujud dalam bentuk peningkatan aksi kriminalitas dan tindak kekerasan, seperti perampokan, judi, pengkonsumsian narkoba, prostitusi, diskriminasi, penggusuran, dan lain sebagainya.
Meneguhkan Kembali Identitas Melalui Serat Wedhatama
Masyarakat dengan mata terbuka menghadapi segala tantangan dan perubahan, tetapi dalam perubahan harus mampu menentukan dirinya sendiri. Masyarakat tidak bisa menutup diri dari perubahan-perubahan yang datang dari luar, sehingga harus terus mempelajari hal-hal baru sebagai wujud dialektik identitas-identitas. Dampak terburuknya masyarakat bisa kehilangan dan melupakan identitasnya. Agar dalam pertemuan antar identitas tersebut, tidak muncul penderitaan, maka harus untuk bertambah kuat. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memperkuat identitas dan sadar akan identitasnya sendiri. Dalam pengertian, harus mengenal kebudayaannya dan sejarahnya serta merasa bangga ketika dilekatkan dalam setiap gerak kehidupannya maupun mengidentifikasikan pelbagai kelemahannya.[5] Jadi, keyakinan akan diri, kesadaran harga diri yang kuat, serta siap terbuka termasuk dengan pelbagai konsekuensinya itulah yang dianggap sikap yang memungkinkan kita tidak kehilangan identitas.
Permasalahan ini sebetulnya bisa ditemukan solusinya pada karya-karya klasik cendekiawan muslim di Indonesia, salah satunya Serat Wedhatama karya K. G. P. A. A. Mangkunagara IV. Didalamnya terkandung pelbagai nilai, seperti nilai kehidupan, kebersamaan, profesionalisme, kejiwaan, keindahan, kebijaksanaan, kesucian, Islam, budi pekerti, dan seterusnya. Nilai-nilai ini sangat berkelindan dengan identitas manusia maupun masyarakat. Berikut ini beberapa syair dalam Serat Wedhatama yang bisa diambil nilainya untuk meneguhkan kembali identitas.
Dalam pupuh tembang Gambuh bait 12 tertulis:
Sucine tanpa banyu
Amung nyunyuda hardaning kalbu
Pambukae tata titi ngati-ati
Tetep telaten atul
Tuladan marang waspaos[6]
Dalam bait ini, pengarang menggunakan istilah waspaos untuk kesadaran. Kesadaran atau penemuan jati-diri atau pencerahan. Semua kata itu menjelaskan fenomena yang satu dan sama. Bagaimana cara memperolehnya. Yang diolah sudah bukan badan lagi. Membersihkan badan dengan air sudah tidak dapat membantu lagi. Yang harus dibersihkan adalah jiwa. Jiwa yang ditutupi oleh awan ketidak-sadaran, kabut kebodohan. Jiwa ibarat cermin yang sudah tidak pernah digunakan selama bertahun-tahun. Ada lapisan debu yang sangat tebal, sehingga terlihat begitu buram. Jika kita tidak dapat melihat wajah sendiri, maka cermin jiwa ini harus dibersihkan.
Terdapat dalam bait keempat:
Si pegung nora nglegewa
Sangsayarda denira cacariwis
Ngandhar-andhar angendhukur
Kandahane nora kaprah
Saya elok alangka longkanganipun
Si wasis waskitha ngalah
Ngalingi marang si pinging[7]
Agama menekankan manusia bukan hidup tanpa makna. Tetapi, ia diciptakan untuk mengabdi kepada Allah Sang Penciptanya. Dalam rangka pengabdian itu, ia mempunyai kewajiban kewajiban baik kepada dirinya, keluarga, maupun masyarakat. Kehidupan manusia dipengaruhi oleh banyak faktor menjadi kewajiban kita untuk mengendalikan faktor- faktor tersebut, sehingga makna dan tujuan hidupnya bisa tercapai secara optimal. Salah satu pengendalian itu adalah mengendalikan diri dari berkata sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti dalam bait keempat yang berisi nasihat untuk mengendalikan diri dari berbicara tidak bermanfaat, melantur, panjang lebar dan bermacam-macam namun tidak berisi. Dan masih banyak lagi yang bisa dipahami dari serat ini, namun belum bisa dimaktubkan semua dalam tulisan ini, karena keterbatasan ruang.
Manusia mempunyai kedudukan yang tinggi dibandingkan dengan yang bukan manusia, jika manusia sadar akan hidupnya. Manusia memiliki hal-hal yang membedakannya dengan makhluk yang lain, yakni akal, rasa, kehendak, dan seterusnya.[8] Kedudukan yang lain ini membawa akibat pula bagi hidup manusia. Manusia bukan hanya ‘apa’, melainkan pula ‘siapa’, yang dapat memberikan arti bagi hidupnya. Karena itulah, hidup manusia tidak hanya sekedar hidup untuk mempertahankan jenisnya atau melanggengkan nafsunya saja, tetapi hidup yang mempunyai tujuan yang lebih tinggi, yakni menjalankan amanah dari Allah SWT..
Penulis: Taufik Hidayat
Catatan kaki:
[1] Suharni. 2015. “Westernisasi Sebagai Problema Pendidikan Era Modern”. Jurnal al-Ijtimaiyyah Vol. 1 No. 1.
[2] Yurida Eka. 2018. “Modernisasi dan Perubahan Sosial Masyarakat (Studi di Pekon Hujung Kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat)”. Lampung: Skripsi UIN Raden Intan.
[3] Islamiah, Nur. 2015. “Dampak Negatif Budaya Asing pada Gaya Hidup Remaja Kota Makassar”. Makassar: Skripsi UIN Alauddin.
[4] Safuwan. 2007. “Gaya Hidup, Konsumerisme, dan Modernitas”. Jurnal SUWA Vol. 5 No. 1.
[5] Husain, Wahyuni. 2009. “Modernisasi dan Gaya Hidup”. Jurnal Al-Tajdid Vol. I No. 2.
[6] Supanta. 2008. “Serat Wedhatama Karya K.G.P.A.A. Mangkunagara IV serta Sumbangannya Terhadap Pendidikan (Kajian Struktur dan Nilai Edukatif)”. Surakarta: Tesis Univ. Sebelas Maret.
[7] Khusna, Vina Afiatul. 2010. “Pendidikan Ilmiah dan Pendidikan Akhlak pada Pupuh Pertama Serat Wedhatama Karya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV dalam Perspektif Pendidikan Islam”. Semarang: Skripsi IAIN Walisongo.
[8] Asdi, Endang Daruni; Parmono, Suhartoyo Harjosatoto R.. 1986. “Ajaran Etik Dalam Serat Wedhatama dan Relevansinya dengan Etika Pancasila”. Yogyakarta: Laporan Penelitian Univ. Gadjah Mada