La Nyalla, Habib Rizieq dan Anies Baswedan

by
Foto: https://suaranasional.com/

Pengakuan La Nyalla Mattalitti yang terang-terangan mengaku bahwa dirinya harus menyediakan uang 40 miliar untuk Partai Gerindra, menunjukkan sistem Pilkada yang rusak di negeri ini. Calon-calon yang meminta rekomendasi di partai lain, juga mengalami hal serupa. “Saya dimintai mahar 6 miliar agar diberi rekomendasi sebuah partai,” kata HM (52th) kepada Warta Pilihan. Laki-laki yang tidak mau disebutkan namanya itu, 2015 lalu berniat mencalonkan diri sebagai bakal calon wali kota Depok. Mengapa ini semua terjadi? Apa dampaknya bagi Prabowo sebagai Capres?

Wartapilihan.com – Tiga tahun lalu, tepatnya 26 September 2014, DPR sebenarnya telah mengesahkan UU Pilkada Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota secara tidak langsung (dipilih anggota DPRD). UU No. 22 Tahun 2014 itu dibuat, karena DPR mengevaluasi banyaknya fenomena politik uang, kerusuhan dan berbagai mudharat lain dalam Pilkada langsung (langsung dipilih oleh rakyat). UU itu dimotori oleh Koalisi Merah Putih, yaitu Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Partai Golkar.

Tapi, Presiden SBY saat itu berkehendak lain. Entah didesak oleh siapa –mungkin oleh tokoh-tokoh PDIP dll-  seminggu kemudian, tepatnya 2 Oktober 2014, SBY tiba-tiba mengeluarkan Perppu membatalkan Undang-Undang itu. SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada),

Perppu yang diterbitkan SBY itu antara lain berisi :

  1. Pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota langsung oleh rakyat (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2);
    2. Mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur pelaksanaan pilkada secara tidak langsung oleh DPRD (Pasal 205);
    3. Adanya uji publik calon kepala daerah agar dapat mencegah calon yang integritasnya buruk dan kemampuannya rendah (Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) huruf b, dan Pasal 7 huruf d);
    4. Penghematan atau pemotongan anggaran pilkada secara signifikan (Pasal 3, Pasal 65 ayat (1) huruf c, d, e, dan f, serta ayat (2), dan Pasal 200);
    5. Pembatasan kampanye terbuka agar menghemat biaya dan mencegah konflik horizontal (Pasal 69);
    6. Pengaturan akuntabilitas penggunaan dana kampanye (Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76);
    7. Larangan politik uang dan biaya sewa parpol pengusung yang dapat berdampak pada tindakan penyalahgunaan wewenang (Pasal 47);
    8. Larangan kampanye hitam yang dapat menimbulkan konflik horizontal (Pasal 68 huruf c);
    9. Larangan pelibatan aparat birokrasi yang menyebabkan pilkada tidak netral (Pasal 70);
    10. Larangan mencopot jabatan aparat birokrasi pasca-pilkada karena dianggap tidak mendukung calon (Pasal 71);
    11. Pengaturan yang jelas, akuntabel, dan tranparan terkait penyelesaian sengketa hasil pilkada (Bab XX Pasal 136 sd 159);
    12. Pengaturan tanggung jawab calon atas kerusakan yang dilakukan oleh pendukung (Pasal 69 huruf g, Pasal 195);
    13. Pilkada serentak (Pasal 3 ayat (1);
    14. Pengaturan ambang batas bagi parpol atau gabungan parpol yang akan mendaftarkan calon di KPU (Pasal 40, Pasal 41);
    15. Penyelesaian sengketa hanya dua tingkat, yaitu pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (Pasal 157);
    16. Larangan pemanfaatan program atau kegiatan di daerah untuk kegiatan kampanye petahana (Pasal 71 ayat (3));
    17. Gugatan perselisihan hasil pilkada ke pengadilan tinggi/Mahkamah Agung hanya dapat diajukan apabila memengaruhi hasil penetapan perolehan suara oleh KPU secara signifikan (Pasal 156 ayat (2). (Lihat http://nasional.kompas.com/read/2014/10/03/09190651/Ini.Isi.Perppu.Pilkada.yang.Dikeluarkan.Presiden.SBY)

Keputusan yang dibuat SBY itulah yang membuat Pilkada langsung 2018 ini terus menyibukkan masyarakat. Meski Pilkada langsung saat ini dibuat serentak, tetapi money politic dan potensi kerusuhan akibat tidak puas dengan hasil pemilu, terus membayangi. Pilkada serempak nanti akan dilaksanakan di 171 daerah dan dilaksanakan pada 27 Juni 2018.

Calon Presiden Alternatif

Melihat model koalisi partai dan terungkapnya ‘mahar politik’ dalam Pilkada 2018 ini, banyak kalangan Islam resah. Mereka mencoba mencari alternatif calon presiden untuk 2019-2024.

Di beberapa media sosial muncul nama-nama calon presiden 2019 ‘pilihan umat’, antara lain : Prof Didin Hafidhuddin, Habib Rizieq Shihab dan Anies Baswedan. Banyak kalangan akademisi Islam menjagokan Profesor Kiyai Didin. Tapi Kiyai Didin kepada orang terdekatnya seringkali menyatakan bahwa ia tidak berminat menjadi presiden.

Calon-calon alternatif ini  muncul, karena kalangan umat (diantaranya aktivis-aktivis alumni 212) merasa jenuh dengan pilihan lhu lagi-lhu lagi. Yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Mereka ingin ada calon yang fresh, yang berani mengubah Indonesia agar kebijakan-kebijakannya lebih memihak kepada mayoritas umat Islam Indonesia ini.

Setelah Prof Didin menolak, pilihan tentu saja jatuh pada Habib Rizieq. Mengapa Habib Rizieq? Ya Habib kini adalah tokoh Islam yang dizalimi oleh pemerintah Jokowi. Ancaman penangkapan dan pemenjaraan terhadap Habib Rizieq –dengan kasus tidak bermutu pornografi itu- membuat Habib terus bertahan di Arab Saudi. Lobi-lobi Habib yang hebat ke pemerintah Saudi, menjadikan dirinya kini menjadi tamu istimewa kerajaan Saudi. Keberhasilan Habib dalam membangun organisasi Front Pembela Islam di berbagai wilayah dan tokoh utama demo jutaan umat Islam Aksi 212 di Jakarta 2016 lalu, menjadi catatan tersendiri di hati umat Islam.  Kini Habib sedang berada di Turki dan kabarnya mengadakan pertemuan penting dengan pejabat-pejabat di Turki.

Tokoh-tokoh yang dizalimi kelewat batas oleh penguasa istana sebuah negeri, biasanya akan menjadi orang nomor satu di negeri itu. Dalam survei Denny JA, Habib adalah salah satu tokoh penting yang suaranya didengar umat Islam.

Selain Habib, tokoh ‘the raising star’ kini adalah Anies Baswedan. Meski Anies punya perjanjian dengan Prabowo untuk tidak maju dalam pemilihan presiden 2019, tidak berarti tertutup peluang Anies untuk menjadi calon presiden. Keberanian Anies di awal pemerintahan ini, untuk memihak rakyat kecil, mendapat simpati yang luas di masyarakat. Kebijakannya membatalkan HGB Reklamasi Pulau C, D dan G, membubarkan pelacuran di Hotel Alexis, pemihakannya kepada usaha kecil di Pasar Tanah Abang, membuka Monas untuk acara sosial-keagamaan, mencabut larangan sepeda motor di Jalan Thamrin dan lain-lain mendapatkan pujian yang tinggi dari masyarakat dan tokoh.

Keberanian Anies menghadapi Luhut Panjaitan dalam soal reklamasi patut diacungi jempol. Karena Luhut –yang disebut-sebut sebagai presiden komisaris istana- terkenal angker dan kabarnya Prabowo sendiri kurang berani berhadapan dengan Luhut.

Tentu Anies dan Habib akan terus digempur oleh ‘media massa sekuler’ di tahun-tahun 2018 ini. Media massa Kompas TV dan Metro TV adalah contoh diantara media yang selalu mengkritisi dan sinis terhadap dua tokoh itu.

Relakah Prabowo, bila 2019 Habib atau Anies yang maju? Bukan tidak mungkin. Meski hasil berbagai survei kini menyatakan bahwa Jokowi dan Prabowo sebagai tokoh teratas untuk Capres 2019, tapi di bulan-bulan mendatang, bukan tidak mungkin hasil survei akan menunjukkan lain. Survei yang benar tentu saja, bukan survei pesanan. Karena menurut Denny JA, ada dua jenis survei : Survei Kenyataan dan Survai Pemesanan (pembentukan opini).

Prabowo di hari-hari ini dan mendatang nampaknya terus akan digempur dengan mahar politik La Nyalla. Gempuran ini tentu selain anak panahnya ditujukan untuk menggembosi Prabowo sebagai capres, juga digunakan untuk menggempur citra Partai Gerindra yang berniat menjadi dua partai terbesar di negeri ini.

Bagaimana akhir pertarungan ini? Akankah Prabowo merelakan dirinya menjadi The King Maker, seperti Amien Rais? Wallahu a’lam. Tapi persahabatan yang erat antara Prabowo dan Amien, bukan tidak mungkin Prabowo akan merelakan Habib Rizieq atau Anies Baswedan untuk bersaing dengan Jokowi. Tentu, Prabowo lebih memilih Anies daripada Habib.

Dan bila Anies yang maju melawan Jokowi, ‘hitungan matematis akal sehat politik’ hampir pasti, Jokowi akan KO. Karena banyak dosa politik Jokowi kepada umat Islam yang tidak termaafkan.

Walhasil, bagi Muslim sebenarnya, pemilu bukan kalah dan menang. Siapapun yang jadi pemimpin di negeri ini, Al Quran mengingatkan tugas pemimpin itu yang utama ada empat. “(yaitu) Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS al Hajj 41). II

Nuim Hidayat Dachli

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *