Para peneliti sejarah dari Barat menyebutkan, pada masa kolonial orang Indonesia (pribumi) mengalami pola ekonomi yang suram karena ‘mitos kemalasan’. Benarkah?
Wartapilihan.com, Jakarta –Masyarakat Indonesia mengalami kesulitan disebabkan oleh stratifikasi sosial dan struktur ekonomi yang dikonstruksi oleh pemerintah Belanda. Hal ini disampaikan oleh Alwi Alatas sebagai pakar sejarah.
Ia mengatakan, ada tulisan laporan secara umum mengenai penelitian ini. Penelitian tersebut, menurut Alwi, menunjukkan bahwa mereka gamang dan tidak mengatakan secara tegas bahwa kemiskinan yang dialami oleh pribumi ialah karena ulah penjajahan.
“Dikatakan, masyarakat pribumi miskin karena mentalitas mereka. Masyarakat pribumi ini tidak mengenal budaya insentif, yaitu kalau bekerja lebih banyak nanti ada tambahan gaji. Atau bisnis usahanya ditingkatkan nanti akan lebih besar,” ungkap Alwi, di Gedung Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu, (28/10/2017).
Masyarakat pribumi, dalam penelitian itu disebutkan, tidak termotivasi dengan hal itu. Hal yang unik juga, jika ekonominya dirasa sudah cukup, maka orang pribumi tidak terdorong untuk bekerja lebih jauh.
“Misal, ada yang jualan gado-gado di rumah dan karedok, sangat enak rasanya. Tapi kadang waktu tertentu dia nggak jualan. Oh mungkin lagi banyak duitnya berhenti dulu jualannya.
Alwi menambahkan, kadang masyarakat kita juga menemukan kasus yang memang terjadi juga di tengah masyarakat. Ia mengatakan, mentalitas tersebut terbentuk karena kemiskinan yang sudah mengerak sekian lama. “Mengapa muncul karakter seperti itu? Mentalitas tsb terbentuk karena kemiskinan yang terbentuk sekian lama,” imbuh Alwi.
“Dikatakan bahwa masyarakat pribumi ketika dibuka Bank Pemerintah, ternyata mereka lebih sering meminjam untuk kepentingan konsumtif, bayar hutang, gali lobang tutup lobang,” lanjut dia.
Doktor dari jurusan Sejarah dan Peradaban Universiti Islam Antarabangsa Malaysia ini mengatakan, dalam penelitian tersebut dijelaskan, masyarakat pribumi tidak punya insting bisnis usaha, karena kondisi ekonomi sudah begitu berat dan besar.
“Makanan pas-pasan, income pas-pasan. Mereka punya hutang yang harus dibayar, sehingga mereka harus meminjam. Bukannya gak mau diputer tapi memang tekanan ekonomi sudah terlalu berat. Dalam keadaan terpaksa,” tukas Alwi.
Namun, ia berupaya menyanggah hasil penelitian yang dilakukan pihak Belanda/Eropa. “Hasil penelitian tim tadi banyak yang menyalahkan masyarakat pribumi. Mitos pribumi malas, statemen yang dilakukan pemerintah Belanda,”
“Kita tahu banyak yang rajin, mungkin masalah knowledge (pengetahuan) bukan masalah rajin atau malas,” paparnya.
Kendati beberapa peneliti mengatakan dulu kelas pedagang pernah eksis di Indonesia, namun, banyak yang menyatakan kelas pedagang ini mati ketika ada pemerintah kolonial. “Mereka tidak menggunakan kaum pedagang pribumi untuk mengisi level menengah, yang digunakan adalah kalangan lain terutama Cina di Indonesia. Sehingga akhirnya pelan-pelan mati pedagangnya,” ujar Alwi prihatin.
“Meski industri mulai bermunculan kala itu, namun akibat strata sosial yang dibuat Belanda, maka orang pribumi kala itu mayoritas tidak membaik ekonominya,” pungkas dia.
Eveline Ramadhini