Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Menghadapi Pilkada serentak 2024, masih ada sebagian kalangan aktivis Islam yang menyebarkan opini bahwa pilkada adalah bagian dari sistem demokrasi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu, kaum muslim diajak untuk TIDAK menggunakan hak pilih dalam Pilkada.
Bahkan, ada yang menulis dan mengajak untuk bergabung dengan organisasi yang berjuang menegakkan syariah dan khilafah. Menurutnya, ikut memilih dalam Pilkada tidak ada gunanya, dan tidak akan membawa perubahan dan kemenangan Islam.
Memang, di era media sosial, siapa saja bisa menuliskan dan menyebarkan opininya, sesuai ilmu yang didapatnya. Kadangkala opini itu disebarkan tanpa kajian dan pertimbangan yang matang. Seolah-olah baru mendapatkan pemahaman tentang demokrasi lalu menyalahkan para pejuang Islam yang memilih jalan pemilu untuk memperjuangkan aspirasi Islam di Indonesia.
Sejatinya, opini semacam itu tidak bijak disebarluaskan dalam situasi menjelang Pemilu Nasional atau Pilkada. Kita patut menyimak sejarah dengan bijak. Tahun 1955, umat Islam Indonesia bisa dikatakan bersepakat untuk berjuang melalui pemilihan umum.
Waktu itu, tidak ada yang mengeluarkan fatwa haram ikut pemilu, dengan alasan pemilu merupakan bagian dari sistem demokrasi. Padahal, para ulama Indonesia sudah mengkaji kitab-kitab para ulama tentang fiqih politik, seperti kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah ditulis Imam Mawardi (w. 450 H/sekitar 1072 M).
Yang terlibat dalam Pemilu 1955 itu bukan ulama dan tokoh-tokoh sembarangan. Ada Mohammad Natsir, Buya Hamka, KH Wahid Hasyim, dan ribuan ulama Indonesia lainnya. Mereka sudah memahami kelemahan sistem demokrasi. Tapi, mereka memilih jalan itu, sebab itulah salah satu jalan perjuangan yang terbuka untuk memperjuangkan perbaikan umat Islam Indonesia.
Pada 12 November 1957, Mohammad Natsir berpidato di Majelis Konstituante. Ia mengritik sistem pemerintahan sekular dan juga sistem pemerintahan teokratis. ”Teokrasi adalah satu sistem kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hirarki (tingkat bertingkat), dan menjalankan demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam Islam tidak dikenal priesthood semacam itu. Jadi negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam.”
Para ulama Islam itu mampu menempatkan idealisme dan realitas dengan proporsional. Mohammad Natsir paham tentang kelemahan dan kekurangan demokrasi. Tapi, ia pernah menjadi Perdana Menteri RI dan memelopori mosi integral kesatuan NKRI. Sampai akhir hayatnya, Natsir tetap berjuang dalam bingkai NKRI. Tahun 2008, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Dengan perjuangan seperti itu, Mohammad Natsir dan para ulama Indonesia lainnya tidak bisa dikatakan telah menyalahi jalan Islam, karena tidak mengkampanyekan penegakan khilafah. Jalan demokrasi itu pula yang ditempuh oleh para pejuang Islam yang memilih jalur politik sebagai jalan perjuangannya.
Perjuangan politik melalui parlemen sangatlah penting untuk menyalurkan aspirasi umat Islam atau mencegah terjadinya perusakan masyarakat melalui berbagai perundang-undangan yang bertentangan dengan ajaran Islam dan kemaslahatan masyarakat. Sepatutnya, perjuangan para ulama dan tokoh Islam itu kita berikan apresiasi.
Dan faktanya, selama ratusan tahun, para ulama Indonesia telah memiliki khazanah yang kaya tentang kajian ilmu politik Islam dan konsep negara – yang kini populer dengan sebutan “khilafah”. Para ulama Nusantara bukan hanya paham ilmu politik Islam, tetapi yang lebih penting, mereka BIJAK dalam meletakkan ilmu itu pada tempatnya.
Tahun 1969, Guru besar IAIN Yogyakarta, Prof. TM Hasbi as-Shiddieqy, menulis buku ajar berjudul, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam. Menurut Hasbi, antara Islam dan demokrasi terdapat segi-segi persamaan dan perbedaan. Tapi, tulisnya, “segi-segi perbedaan, lebih banyak daripada segi-segi persamaan.” Ada sejumlah perbedaan yang diungkap Prof. Hasbi.
Misalnya, tentang konsep tentang “kekuasaan rakyat”. Dalam demokrasi Barat kekuasaan rakyat bersifat mutlak. Di Barat, rakyat yang menentukan dan membuat Undang-undang. Tetapi di dalam Islam, kekuasaan rakyat dibatasi dengan aturan-aturan Islam yang bersumberkan kepada al-Quran dan Sunnah. Begitu antara lain paparan Prof. Hasbi As-Shiddieqy.
Contoh menarik tentang ilmu dan kebijakan ulama dalam pemikiran politik terjadi di Aceh, khususnya kesultanan Sulthanah Syafiatuddin di Aceh Darussalam (1641-1675). Ia berkuasa di Aceh selama 35 tahun dengan gelar: Seri Sulthan Tajul Alam Syafiatuddin Syah bergelar Zil-Allah fil-Alam ibnat Sulthan Raja Iskandar Muda Johan Berdaulat.
Kepemimpinan Syafiatuddin didukung oleh dua ulama terkemuka di Aceh saat itu, yaitu Nuruddin al-Raniry dan Abdil Rauf al-Singkili. Ulama paham benar tentang syarat Sulthan harus laki-laki. Tetapi, ada pertimbangan mencegah kemudharatan yang lebih besar dalam keputusan mereka. (Lihat, buku Dinamika Peran Perempuan Aceh dalam Lintasan Sejarah, (PSW IAIN ar-Raniry dan BRR NAD-Nias, 2007).
Jadi, dalam memahami dan menyebarkan opini tentang dakwah dan perjuangan di Indonesia, kita perlu memperhatikan aspek ukhuwah dan keselarasan dalam perjuangan. Tidak bijak jika menyerang sesama aktivis Islam karena perbedaan pendapat yang sifatnya furu’iyyah dan khilafiyah. Wallahu A’lam bish-shawab.