Judul buku: Delusi Kesetaraan Gender: Tinjauan Kritis Konsep Gender
Penulis: Dr. Dinar Dewi Kania, dkk
Penerbit: Yayasan AILA Indonesia, Mei, 2018, 227 halaman
Kesetaraan gender. Frasa ini banyak digaungkan pada Hari Perempuan Internasional, atau yang berkaitan dengan hal itu. Yang getol mengampanyekan adalah perempuan.
Wartapilihan.com, Jakarta –Namun sejatinya, memperjuangkan kesetaraan gender tidak sama dengan memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Keadilan sendiri tidak selalu bermakna penyamarataan, dan juga definisi gender yang dimaksud tidak merujuk pada jenis kelamin biologis tertentu.
Maka dari itu, mereka yang sangat kuat memperjuangkan, sejatinya tengah memperjuangkan ideologi feminis, dimana ideologi tersebut mengusung kebebasan tanpa batas, terlebih lagi batas nilai-nilai agama.
Diskursus Kesetaraan Gender ini sudah banyak diutarakan, terlebih lagi pada institusi pendidikan yang biasanya sangat lekat dengan jurusan sosiologi, filsafat dan juga psikologi (Sosial Humaniora). Maka dari itu, buku ini bisa jadi penyeimbang pemikiran agar ada cover both side dari perspektif agama Islam.
Tak hanya membahas soal feminisme di barat, tetapi juga Feminisme yang seringkali dipraktekkan oleh umat Islam sendiri. Salah satu tokoh terkenalnya semisal Amina Waddud yang menjadi imam shalat bagi para laki-laki maupun perempuan.
Tujuan dibuatnya buku ini menurut Rita Soebagio selaku Ketua AILA Indonesia, ialah untuk menggali akar filosofis dan ideologis dari konsep Kesetaraan Gender serta dampaknya terhadap masyarakat, terutama terkait adanya upaya dekonstruksi nilai-nilai moral dan agama oleh kaum feminis.
“Kami berharap, dengan adanya buku ini, masyarakat memperoleh gambaran tentang pertarungan konsep yang sedang terjadi sehingga mampu melakukan upaya kritis dalam menyikapi berbagai program maupun perundangan yang diklaim mengatasnamakan kepentingan perempuan, padahal memiliki agenda yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia,” tukas Rita, dalam Kata Pengantar buku ini.
Merujuk pada landasan ilmiah, ditulis oleh berbagai pakar pemikiran Islam yang mumpuni dalam bidangnya, buku ini layak untuk menjadi referensi untuk penulisan berbau akademis. Salah satu tulisan yang ditulis Adian Husaini, konsep Kesetaraan Gender ini berdampak pada masyarakat. Contohnya, fenomena feminis muslim Amina Waddud. Ia merupakan feminis muslim yang juga profesor Islamic Studies di Virginia Commonwealth University.
Pada 18 Maret 2005, ia memimpin shalat Jum’at di Gereja Katedral dengan 100 jamaah laki-laki dan perempuan yang shafnya bercampur. Amina memang tidak menolak Al-Qur’an, tetapi ia mengatakan, “Tidak ada metode tafsir Al-Qur’an yang benar-benar objektif. Setiap ahli tafsir melakukan beberapa pilihan subjektif.”
Menurut Amina, penempatan perempuan sebagai kepemimpinan di dalam rumah tangga ialah bias gender. Dengan kata lain, banyak penafsiran hukum Islam yang berdasarkan patriarki, karena kebanyakan ulama fiqih laki-laki. Namun Adian membantah tuduhan itu. Pasalnya, sepanjang sejarah banyak juga ulama-ulama perempuan di berbagai bidang.
Misal, Siti Aisyah r.a. tidak berbeda pendapat dengan sahabat laki-laki dalam berbagai hukum yang kini digugat para kaum feminis. Hingga kini pun, ribuan ulama dan cendekiawan perempuan muslimah masih aktif menentang ide-ide ekstrem para feminis muslim, yang kebanyakan terinspirasi dari pandangan hidup sekuler-liberal.
Perbedaan peran, menurut Adian, bukanlah penistaan terhadap perempuan, karena setiap peran akan sama-sama dipertanggungjawabkan di hari akhir. Ketidakwajiban perempuan dalam mencari nafkah dan shalat Jum’at, semata karena Allah sangat menyayangi kaum perempuan.
Buku ini dapat menjadi rujukan bagi para akademisi yang tenggelam di hiruk-pikuk pemikiran produk Barat yang seringkali tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Maka dari itu, buku ini wajib Anda miliki untuk menjawab diskursus soal Feminisme yang terus berkembang pesat.
Eveline Ramadhini