Iklan rokok yang masif di televisi merupakan salah satu alasan mengapa RUU penyiaran dari Baleg DPR ditolak KNRP. Apa penyebabnya?
Wartapilihan.com, Jakarta – Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) menolak adanya siaran dari Badan Legislatif DPR. Pasalnya, ada tujuh permasalahan yang melatarbelakangi penolakan akan penyiaran bersi Badan Legislasi pada 19 Juni 2017 lalu. Salah satu hal yang dapat digarisbawahi ialah mengenai iklan rokok yang tidak dilarang. KNRP mengecam hal ini, pasalnya, draf sebelumnya telah memuat larangan iklan rokok di media penyiaran.
“Rokok merupakan zat sebagaimana dinyatakan UU 36/2009 tentang Kesehatan Pasal 113 Ayat 2. Dengan mencabut larangan iklan rokok, maka draf Baleg sesungguhnya memuat hal yang bertentangan, karena draf Baleg telah menyatakan larangan untuk mempromosikan zat adiktif (Pasal 137 Ayat 2 huruf i),” terang Narahubung KNRP, Muhamad Heikall, hari ini (3/7/2017).
KNRP berharap, komisi I semestinya tetap mempertahankan ketentuan melarang iklan rokok sebagaimana yang sudah dinyatakan dalam drafnya, dan menolak rekomendasi Baleg. “Lepas dari itu, pelarangan iklan rokok mestinya menjadi prioritas DPR dalam revisi UU Penyiaran. Lebih dari 140 negara telah menghapus iklan rokok dari media penyiaran demi perlindungan anak dan remaja dari paparan produk adiktif. Langkah Baleg mempertahankan status quo adalah kemunduran.”
Menurut lembaga yang terdiri dari 160 akademisi dan praktisi sekaligus 20 organisasi masyarakat sipil ini menjelaskan, selain masalah rokok, ada beberapa ketentuan yang bermasalah karena melenceng dari demokratisasi penyiaran. “Draf Baleg mengkhianati prinsip demokratisasi penyiaran, tidak berpihak pada kepentingan publik dan secara sangat transparan mengusung kepentingan pemodal besar industri penyiaran,” lanjutnya.
KNRP menilai, tujuh poin yang dipermasalahkan dari draf baleg yakni, (1) Digitalisasi penyiaran, (2) Organisasi lembaga penyiaran, (3) Iklan rokok, (4) Penyelenggaraan SSJ (Sistem Stasiun Jaringan), (5) Pembatasan kepemilikan, (6) Pencabutan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), dan (7) Kegiatan jurnalistik.
Secara garis besar, tujuh poin tersebut menurut KNRP sangat jelas menunjukkan keberpihakannya kepada industri penyiaran, terkhusus stasiun televisi besar, serta mengabaikan kepentingan publik. “Apalagi, sejumlah ketentuan yang dimuat oleh Baleg tampak memiliki kesamaan dengan aspirasi Asosiasi Televisi Swastia Indonesia (ATVSI) yang dalam berbagai kesempatan menginginkan agar tidak melarang iklan rokok, salah satunya.
KNRP berharap, Komisi I DPR RI tidak menerima rekomendasi dari Baleg yang semata-mata hanya berpihak kepada kepentingan pemodal besar tanpa mempertimbangkan kepentingan publik luas. “Sebagai wakil rakyat, Komisi I harus mampu menghasilkan revisi UU Penyiaran yang demokratis, adil, dan berpihak pada kepentingan publik. Pengkhianatan kepada publik luas adalah pengkhianatan kepada pemilik frekuensi yang sah,” pungkasnya. II
Eveline Ramadhini