KHILAFAH DALAM PANDANGAN DR. JEJE ZAENUDDIN

by

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Dr. Jeje Zaenuddin, seorang ulama cukup terkenal yang juga Wakil Ketua Umum Persatuan Islam (Persis), termasuk sedikit ulama yang menekuni bidang politik Islam.

Tahun 2019, disertasi doktornya diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Politik Hukum Islam”.  Ajengan Jeje bukan hanya dikenal aktif menulis dan mengajar, tetapi ia juga aktif dalam menjalankan aktivitas “amar ma’ruf nahi munkar”.

Berikut ini adalah ringkasan pendapatnya tentang “Khilafah Islamiyah” yang pernah ditulisnya dalam satu makalah berjudul “Konsep Dasar Khilafah dalam Al Qur’an dan Hadits”. (Lebih lengkapnya, lihat: https://edisi.co.id/konsep-dasar-khilafah-dalam-quran-dan-hadits/).

Menurut Dr. Jeje Zaenuddin, dalam “makna khusus” (istilahan), Khilafah pada umat Islam adalah kepemimpinan sebagai pengganti dan pelanjut kepemimpinan kenabian. Karenanya ia disebut sebagai khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Dengan demikian khalifah adalah khalifatur rasûl (pengganti dan pelanjut kepemimpinan nabi) bukan khalifatullâh (pengganti atau wakil Allah). Sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Mawardi: “Imamah adalah maudhu’ (peristilahan yang dibuat) bagi khilafah nubuwah dalam menjaga agama dan menata dunia”.

Kalau pun kata khilafah itu disandarkan kepada Allah, khalîfatullâh, maka maknanya adalah penghormatan dan kemuliaan dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba pilihannya, bukan sebagai pengganti dan wakil Allah di muka bumi. Karena tidak ada satu makhluk pun yang dapat menempati, menggantikan, dan mewakili Allah Ta’ala.

Al Ragib al Asfahani menyatakan: “Khilafah itu adalah perwakilan dari orang lain. Adakalanya (perwakilan itu) disebabkan ketiadaan orang yang diwakilinya, karena kematiannya, atau karena kelemahannya. Adakalanya juga karena sebagai penghormatan atas orang yang disuruh mewakilinya. Makna terakhir inilah yang dimaksud Allah menjadikan khalifah para kekasih-Nya di muka bumi”.

Menurut Dr. Jeje Zaenuddin, Al-Qur’an dan Hadits tidak menetapkan bentuk, format maupun prosedur yang baku tentang negara khilafah. Tetapi para ulama menyatakan bahwa Khilafah dibangun berdasarkan prinsip musyawarah, keadilan, kesamaan, penegakan syariat, dan kemaslahatan umat.  Prinsip dasarnya adalah penegakan syariat secara konsisten dan konsekwen berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat.

Ibnu Khaldun menyatakan: “Dan khilafah itu adalah menggiring seluruh (manusia) kepada yang sesuai dengan tinjauan syar’i dalam kemaslahatan ukhrawi, dan kemaslahatan duniawi mereka yang kembali kepadanya (kepada kemaslahatan akhirat). Sebab segala kemaslahatan urusan dunia menurut syariat harus ditinjau berdasarkan kemaslahatan akhirat”.

Karena itu, meskipun suatu pemerintahan menggunakan istilah “Khilafah”, tetapi jika syariat tidak dilaksanakan, kezaliman dan kekejaman merajalela, maka tidak patut disebut sebagai kepemimpinan khilafah yang syar’i, melainkan sebagai “Mulkan Jabariyan dan Mulkan ‘Adhan” (kepemimpinan raja-raja otoriter yang memeras rakyat).

Sebaliknya meskipun suatu kepemimpinan dan pemerintahan berbentuk kerajaan, republik, atau yang lainnya, maka ia dikatakan sebagai khilafah dan pemimpinnya layak disebut sebagai Khalifah atau Amirul mukminin, jika ia menjalankan syariat dan mewujudkan kemaslahatan serta keadilan.

Allah menyebut Nabi Dawud sebagai ‘Khalifah’ meskipun beliau berkedudukan sebagai Nabi dan Raja Bani Israil. Begitu pula Umar bin Abdul Aziz, dalam pemerintahan Dinasti Umayah, dan Harun Al Rasyid dalam Dinasti Abasiyah, meskipun keduanya dipilih bukan berdasarkan syura seperti para Khulafaur Rasyidin, keduanya diakui sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin.

Dalam konteks inilah sangat tepat apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah: “Dan boleh saja menamai para pemimpin setelah Khulafa Rasyidin dengan sebutan para khalifah walaupun mereka adalah para raja, dan bukan para khalifah para Nabi dengan dalil apa yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim pada kitab Shahih mereka dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW.”

Jadi, simpul Dr. Jeje Zaenuddin, istilah khilafah adalah istilah syar’i, tetapi interpretasi dan aplikasinya dalam politik Islam tidaklah baku dan kaku, melainkan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat Islam itu sendiri. Itu sesuai dengan pernyataan Syekh Muhammad Rasyid Ridha bahwa ajaran Islam telah mengatur prinsip-prinsip politik-kenegaraan, tetapi pada tataran praktisnya menuntut ijtihad yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan perbedaan tempat.

Kata Rasyid Ridha: “Adapun politik sosial kenegaraan, Islam telah meletakkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidahnya. Ia mensyariatkan kepada umatnya berpendapat dan berijtihad, karena ia berbeda sesuai perbedaan waktu dan tempat, ia meningkat sejalan dengan kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan. Di antara kaidahnya bahwa kekuasaan itu milik umat itu sendiri yang urusannya ditetapkan dengan syura diantara mereka; pemerintahannya sejenis dengan republik; bahwa khalifah/pengganti Rasul tidak diistimewakan di antara rakyat yang paling kemah sekalipun; Ia hanyalah pelaksana hukum syariat dan pendapat umat; bahwa ia adalah penjaga agama dan kemaslahatan dunia; penghimpun keutamaan etika dan kemanfaatan materi; dan pembentang yang meratakan persaudaraan kemanusiaan dengan mempersatukan potensi umat yang bersifat materil maupun moril.”

*****

Demikianlah ringkasan pendapat Dr. Jeje Zaenuddin tentang konsep “Khilafah” dalam Islam. Pendapat ini menarik jika diaplikasikan dalam konteks sekarang. Jika khilafah bisa mengambil bentuk kerajaan, maka apakah Kerajaan Arab Saudi dan Brunei Darussalam yang menerapkan Syariat Islam bisa dikatakan sebagai “khilafah”?

Lalu, bagaimana dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, jika suatu saat Presidennya adalah Habib Rizieq Shihab dan syariat Islam diterapkan sebagaimana amanah Pasal 29 ayat (2) UUD 1945? Maka, apakah ketika itu Habib Rizieq Shihab bisa disebut seorang “Khalifah”? Bukankah Raja-raja Yogyakarta – termasuk Pangeran Diponegoro — juga bergelar “Khalifatullah” sayyidin panitogomo?

Mari kita berpikir serius dan menggali khazanah pemikiran Islam yang begitu kaya akan pemikiran dalam bidang ketatanegaraan! Semoga Allah SWT menunjukkan yang benar itu benar dan kita bekemampuan mengikutinya. Aamiin. (Depok, 31 Agustus 2020).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *