Jika pengertian radikal diartikan sebagai pemahaman agama yang dikembalikan pada akar atau ajaran sebenarnya dari Allah dan Rasul-Nya, maka menjadi benar dan memang seharusnya. Tapi jika radikal diartikan sebagai kekerasan atau yang bukan dari Allah dan Rasul-Nya, maka itu jelas di tolak umat Islam.
Wartapilihan.com, Jakarta –Dalam kondisi zaman serba canggih dengan kecepatan perkembangan teknologi dan informasi, perang atau ancaman suatu negara tidak lagi dilakukan dengan cara-cara konvensional. Perang saat ini dilakukan melalui tiga bagian. Pertama, perang asimetris. Kedua, perang hibrida dan ketiga perang proksi (proxy war).
Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin menyatakan, apabila sebelum Indonesia merdeka, perang dilakukan melalui penjajahan dan imperialisme yang melahirkan resolusi jihad. Namun perang saat ini yaitu perang melawan radikalisme dan kesenjangan sosial. Hal itu disampaikan Ma’ruf dalam diskusi di PBNU, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Senin (9/10).
Menurut dia, benih radikalisme di mulai dengan cara berpikir seseorang yang tekstual (rigid) dalam memahami nash. Mengutip perkataan Imam Al Farabi yang mengatakan, al Jumuud ala manqulat abaadan dhalalan fid diin wa jahlun (kebekuan berfikir dalam beragama akan menyebabkan kejahilan dan kesesatan selama-lamanya).
“Bahkan pemikiran ini (tekstual) bisa berakibat kepada faham teroris. Kelompok ini tidak bisa menerima sistem pemerintahan negara kita. Contoh, Pancasila memang tidak ada dalam Islam. Tapi itu ijtihad ulama yang berfikir secara kontekstual,” papar Ma’ruf.
Selain itu, kata Dewan Pengawas Syariah Ekonomi tersebut, dalam Islam tidak ada sistem pemerintahan yang baku. Seperti Arab Saudi dan Yordania yang menganut sistem kerajaan, serta beberapa abad silam Turki menggunakan sistem khilafah. Yang terpenting, kata dia, dalam sistem tersebut terdapat prinsip Islam (mabadi Islam). Antara lain syura (musyawarah), al adalah (keadilan) dan hurriyah (kemerdekaan).
“Langkah yang harus kita lakukan dalam mengcounter pemahaman seperti itu yaitu kontra radikalisme dan deradikalisasi. Tantangan kita bukan jihad fii sabilillah, tetapi penanggulangan radikalisme,” tuturnya.
Lebih jauh, dalam menjaga harmonisasi umat, Ma’ruf menyeru kepada aktivis dakwah untuk tidak menyampaikan hal-hal yang berujung kepada konflik dalam menjaga keutuhan bangsa dan NKRI. Dia meminta pihak aparat berwenang untuk memproses secara hukum apabila ada aktivis dakwah yang didapati melakukan ujaran kebencian dalam dakwahnya.
“Ini negara hukum tho, kalau ditemukan dugaan pidana dan unsur-unsur hukumnya, silakan pihak berwajib untuk memproses,” ucap Rais Aam PBNU itu.
Maruf menilai, kesenjangan sosial hari ini merupakan kelanjutan dari kebijakan masa lalu yang tidak tepat, sehingga melahirkan konglomerasi dan perilaku korupsi. Pemberdayaan ekonomi umat saat ini, terangnya, menjadi isu strategis sebagai upaya solutif agar tidak melahirkan disparitas dan eksploitasi alam secara serakah oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.
“Saya ingin menjadikan pusat ekonomi umat pada titik pesantren. Sekarang kita berhasil menggandeng pemerintah untuk kerjasama lembaga keuangan mikro syariah dan diberi modal 5 – 8 miliyar. Kesempatan ini harus dikelola dengan baik oleh pesantren-pesantren,” tandasnya.
Ahmad Zuhdi