Wartapilihan.com, Jakarta – Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej mengatakan, penistaan agama adalah tindakan seperti menyobek atau menginjak kitab suci. Apa yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dalam pidato di Kepulauan Seribu tahun lalu, menurutnya tidak tepat disebut penistaan.
“Berkaitan dengan pasal 156 A KUHP, kalau dia (Ahok-red) menyobek atau menginjak Al-Quran, dia menghina. Tapi karena (ucapan Ahok-red) ini pernyataan, harus dilihat secara holistik,” kata Eddy dalam persidangan kasus dugaan agama yang dilakukan Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (14/3) siang.
Menurut Eddy, pengadilan bisa menghadirkan ahli bahasa dan ahli agama. Apa yang diinginkan Eddy sebenarnya sudah terlaksana ketika hadir beberapa saksi ahli agama dan ahli bahasa di sidang sebelumnya. Menurut dia, kasus ini perlu dilihat secara konstektual. “Perlu (juga) dihadirkan ahli fisiologi untuk membaca gerak tubuh,” kata dia.
Meski begitu, Eddy menjelaskan bahwa unsur niat dalam tindak pidana penistaan agama bisa saja sudah terpenuhi. Keterangan ini menjadi penegasan atas pernyataannya yang termuat di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pada butir 12 BAP tersebut, ia menyatakan bahwa berdasarkan video-video dan buku Ahok yang berjudul “Merubah Indonesia”. Ia mengaku sudah melihat dan membacanya.
Salah satu advokat dari Tim Advokasi GNPF-MUI, Nasrulloh Nasution, yang turut hadir mengawal persidangan ini menjelaskan, keterangan ahli hukum pidana ini justru memperkuat unsur niat dalam tindakan ahok. Menurutnya, keterangan Ahli pada poin 12 ini bersesuaian dengan keterangan ahli sebelumnya, Dr. Muzakkir dari UII dan Dr. Abdul Choir, S.H., M.H. dari MUI. “Dengan demikian, unsur niat melakukan penistaan agama semakin kuat terbukti sehingga tidak ada lagi keraguan bagi hakim untuk menyatakan Ahok terbukti bersalah,” terang dia.
Nasrulloh juga menerangkan, Eddy pernah diperiksa Penyidik Bareskrim Mabes Polri, namun tidak dihadirkan Jaksa Penuntut Umum di persidangan. Alasannya, keterangan ahli tidak konsisten.Hal itu membuat Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bertanya apa pun. “Tapi keterangannya di poin 12 sudah cukup bagi Jaksa untuk mencantumkannya dalam surat tuntutan,” ujar dia.
Mengundang Tawa Kecil
Sebelumnya, sopir pribadi Ahok, Suyanto, turut hadir memberi kesaksian. Setiap kali hendak menjawab pertanyaan hakim, dia melirik-lirik ke arah Ahok di sisi kanannya. Hal tersebut mengundang sindiran dari hakim. “Saudara jangan melirik-lirik. (Ahok-red) masih ada di situ kok, nggak usah takut,” ujar seorang hakim. Teguran berupa sindiran itu membuat hadirin tertawa kecil, bahkan termasuk Ahok.
Pertanyaan hakim terhadap Suyanto mengarah ke kedekatan pribadinya. Keduanya sudah saling mengenal sejak 1989. Saat ditanya tentang perlakuan Ahok terhadapnya, apakah sering memarahi, dia menjawab, “Pernah, tapi nasihat.” Mendengar hal tersebut, hadirin lagi-lagi tertawa kecil.
Soal perlakuan Ahok terhadap umat Islam, Suyanto menerangkan beberapa jasanya. “Pak Basuki sampai sekarang bantu masjid,” ucapnya. Dengan demikian, ia tak percaya kalau Ahok melakukan penistaan agama. “Tidak ada (penistaan agama-red),” terang dia.
Saat Ahok mencalonkan diri di Pilkada Bangka Belitung, Suyanto sudah mengetahui adanya selebaran berisi surat Al-Maidah: 51, namun ia tak mengetahui isi ayat tersebut. Selebaran tersebut banyak dibicarakan teman-temannya. “Kita tiap pagi nongkrong di warung kopi,” tambah dia.
Reporter: Eveline Ramadhini dan Ismail Al-‘Alam