Kekerasan terhadap Anak Meningkat

by
Susanto. Foto: kpai.go.id

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan keprihatinan mendalam atas berbagai kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, yang mencoreng dunia pendidikan, mulai dari kasus kekerasan fisik, kekerasan psikis hingga kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah. Ada apa dengan pendidikan kita?

Wartapilihan.com, Jakarta –Sepanjang 2018 banyak kejadian kekerasan dalam hal pendidikan. KPAI menyebut hal ini sebagai “Tren” saking banyak dan beragamnya kasus yang dilaporkan kepada pihak KPAI.

“Terungkapnya berbagai kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum guru terhadap anak didiknya menjadi trend yang menunjukkan bahwa sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak didik ternyata justru bisa menjadi tempat yang membahayakan anak-anak. Guru sebagai pendidik yang mestinya menjadi pelindung bagi anak, justru bisa menjadi oknum yang membahayakan anak-anak,” tutur Susanto, Ketua KPAI, Selasa, (20/3/2018), di Jakarta.

Berdasarkan data pengaduan yang diterima KPAI didominasi oleh kekerasan fisik dan anak korban kebijakan (72%). Sedangkan kekerasan psikis (9%), kekerasan financial atau pemalakan/pemerasan (4%) dan kekerasan seksual (2%). “Selain itu, kasus kekerasan seksual oknum guru terhadap peserta didik yang viral di media , meski tidak dilaporkan langsung ke KPAI, tetapi KPAI tetap melakukan pengawasan langsung mencapai 13% kasus,” terang Susanto.

Dia menjelaskan, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum guru tersebut sebagian besar dilakukan di lingkungan sekolah, seperti di toilet, di ruang kelas, di ruang OSIS, dan bahkan ada yang di mushola (ruang penyimpanan karpet). “Juga terjadi saat kegiatan ektrakurikuler seperti di perkemahan dan bus pariwisata. Selain itu, korban mencapai puluhan siswa/siswi, karena beberapa kasus pelaku telah melakukan aksi bejatnya selama beberapa bulan bahkan ada yang sudah beberapa tahun,” paparnya.

Trendnya pun, Susanto menambahkan, telah berubah, sebelumnya korban kebanyakan anak perempuan, tetapi data terakhir justru korban mayoritas anak laki-laki. Korban mayoritas memiliki rentang usia SD dan SMP.

“Misalnya kasus kekerasan seksual oknum guru di kabupaten Tangerang korbannya mencapai 41 siswa, kasus di Jombang korbannya mencapai 25 siswi, kasus di Jakarta korbannya 16 siswa, kasus di Cimahi korbannya 7 siswi, dan kasus oknum wali kelas SD di Surabaya korbannya mencapai 65 siswa,”

Oknum guru pelaku kekerasan seksual di sekolah juga beragam, ada guru yang berstatus sebagai wali kelas, sedangkan di jenjang SMP dan SMA atau yang sederajat, pelaku adalah oknum guru mata pelajaran yang diantaranya mengajar bahasa Indonesia, olahraga dan bahkan pendidikan agama.

“Untuk kasus di Jombang, pelaku dikenal sebagai guru yang rajin mendampingi kegiatan kesiswaan, menjadi imam para siswa saat sholat berjamaah, dan guru yang berdedikasi tinggi dalam menjalankan tupoksinya. Mayoritas warga sekolah terkejut dan tidak menyangka bahwa pelaku bisa melakukan perbuatan bejat tersebut,”

Adapun modus oknum guru pelaku kekerasan seksual beragam, misalnya korban di bujuk rayu dengan iming-iming memberikan kesaktian seperti ilmu kebal dan ilmu menarik perhatian lawan jenis.

“Selain itu, ada yang dalih untuk pengobatan dan ruqyah. Ada juga modus yang meminta anak didik membantu mengkoreksi tugas, memasukan nilai ke buku nilai, dan bahkan dalih memberikan sanksi tetapi dengan melakukan pencabulan,” pungkas dia prihatin.

Maka dari itu, KPAI mendorong adanya pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan peserta didik mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak (TK) sampai SMA/sederajat. “Sedari dini anak harus dididik untuk melidungi tubuhnya agar tidak disentuh oleh orang lain selain dirinya sendiri.” lanjutnya.

Pihak sekolah pun menurut Susanto harus didorong membuka posko pengaduan dan mendorong anak-anak berani melapor jika mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, financial, maupun seksual. Sistem perlindungan bagi anak korban dan anak saksi yang melaporkan kekerasan harus dijamin perlindungannya.

Selanjutnya, Susanto menekankan agar Kemdikbud terus mensosialisasikan ke jajarannya, para guru dan para birokrat pendidikan tentang Permendikbud No. 82 Tahun 2015 soal Pencegahan dan Penanganan Kekerasan.

“Di satuan pendidikan ternyata belum dipahami oleh para pendidik maupun para birokrat pendidikan, padahal isi Permendikbud ini sangat rinci dalam mendefiniskan jenis-jenis kekerasan dan sanksinya, upaya pencegahan dan penanganan kekerasannya jelas,”

Tak hanya itu, Susanto juga merekomendasikan agar para guru dibekali psikologi anak agar dapat memahami tumbuh kembang anak sesuai usianya, juga harus diberi pelatihan manajemen kelas sehingga dapat mengatasi anak-anak yang memiliki kecenderungan agresif, dan membangun disiplin positif dalam proses pembelajaran.

“Terakhir, KPAI mendorong KPPPA, Kemdikbud dan Kemenag untuk bersinergi menciptakan sekolah aman dan nyaman bagi warga sekolah melalui program Sekolah Ramah Anak (SRA). Percepatan SRA harus dilakukan seluruh Kementerian Lembaga (KL) terkait,” simpul Susanto.

Eveline Ramadhini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *