Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (1058-1111 M) pernah suatu saat dalam hidupnya mengalami kegelisahan. Padahal, banyak hal yang telah dimilikinya. Baik jabatan sebagai rektor Madrasah an-Nizhamiyah, kekayaan yang melimpah, dan kehormatan sebagai seorang ulama yang terpandang. Hidup sang Imam adalah hidup yang, mungkin, banyak diidam-idamkan oleh orang-orang pada saat itu. Tapi, Al-Ghazali sendiri merasa ada hal yang kurang.
Wartapilihan.com, Depok— Ia pun akhirnya memutuskan untuk melakukan uzlah (mengasingkan diri). Al-Ghazali meninggalkan jabatannya di an-Nizhamiyah dan sebagian hartanya untuk keluarganya. Sang Imam pergi berkelana supaya ia dapat menemukan ketenangan sejati. Dalam perjalanannya, Al-Ghazali mengaji berbagai macam ilmu. Diantara ilmu yang dikaji olehnya adalah Fiqh, Kalam (Batiniyyah), Falsafah, dan Tasawuf. Dari keempat ilmu tersebut, Al-Ghazali tidak dapat menemukan ketenangan yang hakiki dari tiga ilmu yang pertama. Bukan karena ketiga ilmu ini salah atau menyimpang. Karena ketiganya seringkali menyeret manusia kedalam perbuatan yang tercela.
Banyak ahli Fiqh pada masa sang Imam yang terjebak dalam fanatisme madzhab. Bahkan antar madzhab sampai saling bunuh. Ilmu Kalam, terutama Batiniyyah yang sang Imam kaji, dikhawatirkan olehnya malah membuat akidah seorang Muslim menyimpang. Setali tiga uang dengannya, ilmu Falsafah juga dikhawatirkan menyimpang karena banyak ilmuwan Muslim Skolastik banyak memasukkan faham metafisika filsuf Yunani Kuno dalam cara mereka memahami Tuhan (meskipun Al-Ghazali setuju dengan ilmu Filsafat yang tidak berhubugan dengan metafisika seperti Filsafat alam, Matematika, dll).
Imam al-Ghazali sebenarnya tidak melarang ilmu-ilmu tersebut untuk dipelajari. Sang Imam sendiri merupakan ahli dalam bidang Fiqh, Kalam, dan Falsafah. Tapi, untuk menciptakan seseorang yang baik luar dan dalam, Al-Ghazali merasa ketiga ilmu itu kurang pas.
Ia menemukannya di dalam Tasawuf. Ajaran Tasawuf yang menekankan pada perbaikan diri melalui Tazkiyatun Nafs (Penyucian jiwa). Yakni membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela, seperti sombong, dengki, iri, dan lain-lain.
Maka dari itu, di dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali mengabungkan antara fikih dengan Tasawuf, ibadah dengan penyucian jiwa. Karena bisa saja orang pintar dalam agama atau pun rajin beribadah, tetapi hatinya bermaksiat pada Tuhannya. Wallahu a’lam bisshawab
Depok, 9 Maret 2021
M.Faris Ranadi
(Mahasiswa STID Moh. Natsir)