Hingga hari ini menjelang berakhirnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada periode 2014-2019, kasus penyiraman air keras terhadap kasus Novel Baswedan belum juga menemukan titik terang. Mengapa hal tersebut terjadi?
Wartapilihan.com, Jakarta – Menurut Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, pihak yang paling efektif dalam memberantas korupsi bukan Ketua KPK maupun Penyidik Senior KPK, melainkan presiden, pihak yang memimpin negeri ini.
“Kenapa kasus Novel terhambat, menurut saya karena ada miskin komitmen terhadap upaya pemberantasan korupsi. Masalah utama kita di praktek korupsi bukan cuma maling duit negara, tapi bisa terkait penegakan hukum yang tidak adil,” tutur Dahnil, dalam acara bertajuk ‘Mencari Capres Anti-Korupsi’, Selasa, (17/7/2018), di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta.
Isu korupsi, menurut pendiri Madrasah Anti-korupsi ini merupakan isu yang penting dalam pemilu dan Pilpres nanti. Pasalnya, masyarakat membutuhkan capres yang memiliki komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi, bukan yang hanya pandai bicara soal berantas korupsi.
“Yang jadi masalah juga kita tidak disediakan pilihan rasional, tapi disediakan menu yang tidak mengedepankan akal sehat. Itu juga kenapa kami mengajukan gugatan PT ke MK terkait PT 20 persen. Karena bagi kami PT 20 persen itu mengabaikan nalar sehat dan pilihan rasional. Ibarat kita dipaksa makan menu yg kita tidak suka, dan itu bukan menu yg kita pesan, kokinya yg menentukan. Itu yg terjadi, sehingga kita tidak punya piilihan, yang akalnya sehat tentu terganggu dan berontak,” lanjut Dahnil prihatin.
Bagi publik, terangnya, merdeka dalam demokrasi menjadi masalah penting. Karena kesejatian demokrasi adalah kebebasan untuk memilih. “Seperti jomblo, kalau tidak bebas memilih itu menyakitkan. Anda dipaksa nikah misalnya, itu menyakitkan,” tegasnya.
Dahnil mengaku tetap optimis hasil MK masihe merawat akal sehatnya sehingga menghasilkan demokrasi yang berkualitas.
Adapun soal kriteria capres, Dahnil menegaskan tidak fokus pada personal tertentu. “Kami tidak fokus pada personal, tapi ingin mendorong kriterianya, kita ingin sosok yang jujur, berani, cerdas. Kita butuh kememimpinan yang demikian, saya pikir akan banyak muncul,” pungkasnya.
Sementara itu, Novel Baswedan dalam kesempatan yang sama mengatakan, korupsi ditindak pada yang kecil-kecil saja; korupsi menurut dia tidak berkurang, melainkan kurang pemberitaannya.
“Bagaimana praktek korupsi terkait SDA. Faktanya adalah yg mana korupsi yg sudah dicegah atau sudah ditindak. Kalaupun ditindak hanya yg kecil-kecil. Bukan ditangani secara komprehensif. Jadi ini adalah masalah yang sangat banyak. Tentu miris,” kata Novel.
Begitu juga dengan praktek lainnya, seperti soal naiknya harga pangan. “Tentu kita sering juga mendengar bagaimana impor pangan itu dimainkan. Permasalahan serupa juga banyak terjadi tapi tidak terselesaikan. Itu fakta-fakta yang terjadi,” lanjutnya.
Belum lagi soal praktek suap dan pungutan liar. Praktek ini, tutur Novel, terjadi hampir di semua bidang pelayanan publik. Dari kasus-kasus tersebut, ia menerangkan, akar utamanya adalah penegakan hukum. Karena, upaya apapun untuk meningkatkan ekonomi, jika penegakan hukumnya bermasalah, akan sulit diharapkan.
“Mau sebaik apapun kebijakan ekonomi, ketika ada pintu belakang, apa yang ingin diperoleh negara. Selalu berlarut-larut dan tidak dirumuskan dalam satu kebijakan. Di saat yang sama, harapan terhadap penegak hukum dan aktivis yang selama ini mendukung pemberantasan korupsi itu juga mendapat serangan, intimidasi, ancaman, dan sebagainya,” tukasnya.
Maka dari itu, Novel menekankan, mencari capres yang anti-korupsi ini sangat penting. Siapapun presidennya orang punya perhatian terhadap pemberantasan korupsi, dialah yang layak didukung.
“Tentunya bukan yang cuma mengucapkan, tapi yang benar-benar dilaksanakan,” pungkasnya.
Ia pun berharap, kasus yang menimpa dirinya soal penyiraman air keras dapat diselesaikan oleh Presiden Jokowi, mengingat ia masih memiliki waktu hingga tahun 2019 mendatang.
“Saya berharap jokowi punya kesempatan untuk mengungkapkan dengan tuntas, siapapun yang terlibat harus diungkap. Saya khawatir karena jasanya tidak diungkap. Ini bukan hanya terkait dengan diri saya, saya dari awal sudah ikhlas dan memaafkan pelakunya. Karena saya ingin move on, saya ingin ketika kesehatan membaik mulai kerja dan beraktivitas semaksimal saya bisa,” harapnya.
Eveline Ramadhini dan Ahmad Zuhdi