Polmark Indonesia melakukan Quality Control sebanyak 20% dari total sampel secara random, dengan cara mendatangi kembali (rekonfirmasi) responden terpilih (spot check).
Wartapilihan.com, Jakarta –Menjelang tahun pemilu 2018 dan 2019, Polmark Indonesia melakukan survei kepada masyarakat sejak tanggal 9 sampai 20 September 2017. Dalam survey tersebut, terjadi penurunan antara pemilih Jokowi dan Prabowo. Hal itu, kata CEO Polmark Indonesia Eep Saefullah, membuka kemungkinan bagi kemunculan kandidat lain selain Prabowo untuk menjadi penantang Jokowi dalam pilpres 2019.
Namun, Eep tidak dapat memastikan siapa calon alternatif yang akan muncul. Berikut kutipan wawancara dengan Eep Saefullah terkait peta politik 2018 dan 2019:
Bagaimana kemungkinan dapat memunculkan calon alternatif?
Survei ini memperlihatkan bahwa Pak Jokowi nomor satu di angka 41 persen, dan Pak Prabowo nomor dua di angka 20 persen. Tapi ketika ditelusuri lebih lanjut, ada beberapa catatan. Pertama, dibandingkan dengan koresponden hasil survei kami pada tahun 2014, ternyata Pak Jokowi maupun Pak Prabowo mengalami jumlah penurunan pemilih, itu artinya pergeserannya bukan positif bagi kedua belah pihak, tapi negatif.
Kedua, ternyata jumlah pemilih yang belum mantap masih signifikan. Baik pada Pak Jokowi maupun Pak Prabowo. Artinya perpindahan mereka menjadi swing voters masih mungkin terjadi. Ketiga, variabel waktu 2019 masih lama dan variabel-variabel lain ini bisa di jajar. Yang harus hati-hati menurut saya adalah Pak Jokowi dan Pak Prabowo, karena boleh jadi akan muncul calon alternatif.
Apa yang menyebabkan pemilih Prabowo menurun?
Kalau kita lihat, Pak Jokowi mendapatkan keuntungan karena memerintah. Pak Prabowo mengalami kerugian karena tidak memerintah, sehingga orang melihat buktinya. Karena itu, mereka yang memilih Pak Jokowi dengan kinerja yang baik itu signifikan. Oleh karena itu, Pak Prabowo tidak bisa menaikkan electoral karena tidak memiliki alat ukur.
Siapa Wapres yang memiliki kans mendampingi Jokowi?
Ada tiga hal tentang Wapres. Pertama, survei ini bukan survei yang sudah masuk ke tahap simulasi, karena jarak waktunya yang cukup masih jauh. Nanti ada saatnya survei itu juga akan mengajukan pertanyaan simulasi. Si A dipasangkan dengan si B, si C dipasangkan dipasangkandipasangsi C, dan dipasangkan head to head bagaimana. Kami biasa melakukan survei itu karena perkembangan waktu sudah dekat, bakal calon sudah mengerucut namanya dan seterusnya. Itu belum kami lakukan.
Kedua, memang tidak ada target dari kami untuk terlalu terburu-buru menampilkan spesifikasi tokoh terlalu jelas. Jadi hanya memunculkan para tokoh yang akan masuk bursa pencalonan dan memenangkan kontestasi. Dan yang ketiga, isu Wapres menjadi relevan untuk didiskusikan ketika sudah ada banyak variabel yang kita hitung. Seperti misalkan judicial review untuk presidential threshold di MK setelah hasilnya jelas, kita akan mengetahui partai mana saja yang akan bertanding.
Apakah Polmark juga melakukan pemetaan untuk calon lain selain Pak Jokowi?
Survey ini kan survey awal untuk melihat peta dasar dan gambar umum. Di dalamnya sudah ada nama tokoh yang kita ukur seberapa dikenal mereka, seberapa disukai dan seberapa besar potensi electoral nya. Masalahnya adalah angka mereka belum signifikan, sehingga saya tidak bisa memaksakan diri mengatakan ada kuda hitam misalkan he he he.
Bagaimana dengan angka undicided (pemilih yang bimbang)?
Kalau undicided itu mau dipetakan tidak bisa, kalau mau digunakan biasanya analitical bukan hasil survei melalui pertanyaan-pertanyaan. Seperti pada Pilkada DKI Jakarta kemarin, kami menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak umum digunakan oleh lembaga survei lain. Ternyata jawaban yang merahasiakan pilihannya sangat besar sekali dan ini berkaitan dengan teritorial.
Menurut Anda, apakah ada pengaruh hasil Pilkada terhadap Pilpres?
Hasil pilkada paling signifikan pasti di 2018, karena jaraknya sangat dekat sekali (dengan 2019). Simpel saja. Karena itu, kondisi Pilkada 2018 sangat berpengaruh terhadap 2019. Itulah sebabnya Pak Jokowi dan Pak Prabowo dengan partai pendukungnya masing-masing pasti terlibat secara signifikan dalam pilkada 2018. Jadi seperti pertaruhan bahkan gladi resik.
Bagaimana dengan koalisi yang mulai melakukan penjaringan?
Daya magnetnya itu ada di kandidat. Sepertinya yang hampir maju itu kan baru Pak Jokowi dan Pak Prabowo, tetapi kata-kata pasti dalam politik membuat semua partai berhati-hati, sehingga mereka sendiri melihatkKapan waktu yang tepat untuk memajukan nama.
Saya yakin kalau tidak ada presidential threshold, ada banyak sekali partai yang mengajukan pilihannya. Dan mungkin pemilihan presiden kita akan ramai seperti pemilihan di Iran yang calonnya bisa 10 bahkan lebih. Tunggu setelah beberapa faktor bisa kita rumuskan dengan baik, hasil judicial review yang pertama. Kedua, manfaat yang dirasakan dalam pemerintahan Jokowi-JK khususnya dalam aspek ekonomi dan sosial. Ketiga adalah tingkat akomodasi pemimpin terhadap semua kelompok, semua umat beragama, bukan hanya umat Islam.
Bagaimana bisa terjadi kesenjangan ekonomi sangat jauh padahal pembangunan infrastruktur meningkat?
Hasil survey saat itu (9 – 20 September) bisa dilihat menyangkut dengan waktu, bisa dilihat lagi dalam 6 bulan mendatang atau bahkan lebih cepat di bulan Desember, saya belum tahu. Penilaian orang itu dinamis, bisa jadi penilaian Jokowi 3 bulan ke depan beda lagi tentang infrastruktur. Tingkat kritisme orang terhadap hal itu lebih besar.
Dalam konteks Pilkada Jawa Barat, mengapa Anda memilih menjadi konsultan Dedi Mulyadi?
Sebaiknya itu tidak usah kita diskusikan sekarang, supaya tidak campur-campur. Saya lagi bicara survey nasional, tapi ditimbun dengan isu lain, tidak mau saya.
Untuk Pilkada Jabar ada tiga hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, no coment. Kedua, tidak ada komentar. Ketiga, nanti saja.
Ahmad Zuhdi