Oleh Agus Somamihardja
Di banyak rumah hari ini, menu di meja makan telah berubah rupa. Bukan lagi nasi hangat, sayur bening, atau ikan segar yang jadi hidangan utama. Meja makan kini dipenuhi nugget instan, mi seduh, biskuit manis, dan minuman sachet. Murah, praktis, mengenyangkan.
Tidak banyak yang tahu di balik kepraktisan itu, diam-diam tersimpan racun masa depan: pangan ultra-proses.
Para ilmuwan menyebutnya ultra-processed food (UPF). Dalam klasifikasi NOVA, sistem yang dikembangkan peneliti Universitas São Paulo, Brasil, makanan dikelompokkan bukan hanya dari gizinya, tapi juga dari tingkat pemrosesannya.
UPF termasuk produk industri yang penuh aditif, perasa buatan, pemanis intens, pewarna, dan emulsifier. Makanan ini bukan lagi memberi gizi, melainkan untuk menciptakan rasa dan tekstur yang membuat orang ketagihan.
Hasilnya: anak-anak kenyang, tapi otaknya lapar.
Penelitian terbaru di Nature Food (2025) dan Frontiers in Public Health memperingatkan: konsumsi UPF sejak dini akan mengganggu perkembangan otak dan fisik anak. Janin dari ibu yang banyak makan makanan ultra-proses berisiko lahir dengan gangguan pada prefrontal cortex, pusat kendali perilaku dan konsentrasi.
Anak-anak yang tumbuh dengan pola makan serupa lebih rentan terhadap ADHD, kecemasan, bahkan depresi. ADHD (attention deficit hyperactivity disorder) adalah gangguan perkembangan saraf yang membuat anak sulit focus. Anak cenderung hiperaktif, dan bertindak impulsif.
Pada kondisi ini anak bukan sekadar “nakal”, melainkan mengalami masalah medis yang bisa dipengaruhi faktor genetik, lingkungan, dan pola makan. Otak mereka “diprogram ulang” oleh zat tambahan yang merusak sistem reward, sehingga makin sulit mengendalikan nafsu makan.
Studi di Spanyol (2025) menunjukkan remaja yang rutin makan UPF mencetak nilai rapor lebih rendah, turun satu poin di tiga mata pelajaran utama. Bayangkan, nilai rendah itu bukan karena mereka malas belajar, tetapi karena otak mereka dibanjiri “sampah makanan”. Sebuah bukti telak bahwa kualitas diet adalah faktor modifikabel bagi kualitas pendidikan.
Gambaran global lebih mencengangkan lagi. Di Amerika Serikat, hingga 70 persen kalori anak berasal dari pangan ultra-proses. Di banyak negara, kantin sekolah lebih mirip minimarket: penuh gorengan cepat saji, minuman berpemanis, dan snack berwarna-warni.
Dan Indonesia?
Kondisinya tidak lebih baik. Survei di kalangan remaja menemukan 52 persen asupan harian berasal dari UPF, dengan prevalensi overweight dan obesitas menembus 40 persen. Di sekolah, kantin masih menjadi surga gorengan dan mie instan, sementara buah segar menjadi barang langka.
Krisis gizi ini berbeda dengan masa lalu. Dahulu, anak-anak menderita kurang kalori. Kini, mereka kelebihan kalori tapi kekurangan gizi. Akibatnya muncul “triple burden”: stunting, obesitas, dan anemia dalam satu generasi sekaligus. Negara yang membiarkan ini, sesungguhnya sedang menyiapkan bom waktu: generasi dengan otak kurang fokus, tubuh rentan sakit, dan produktivitas rendah.
Lalu apa yang bisa dilakukan?
Pertama, sekolah harus menjadi laboratorium gizi sehat. Kantin harus disaring: ada daftar makanan yang wajib tersedia (buah, sayur, tempe, telur) dan daftar yang dilarang keras (minuman manis, snack ultra-proses). UNICEF sudah menyiapkan toolkit untuk itu, tinggal kemauan politik.
Kedua, pemerintah perlu berani mengatur iklan. Jangan biarkan iklan minuman sachet murah menghantui televisi anak setiap jam. Negara-negara Amerika Latin sudah mulai memakai label peringatan hitam di depan kemasan UPF, sehingga orang tua sadar sebelum membeli. Indonesia bisa melakukan hal yang sama.
Ketiga, ibu hamil dan keluarga perlu jadi sasaran utama edukasi. Seribu hari pertama kehidupan adalah masa emas, sekaligus masa paling rentan. Jika otak anak dirusak sejak kandungan, sulit untuk memperbaikinya.
Keempat, hubungkan sekolah dan komunitas dengan rantai pangan lokal. Bayangkan jika kantin sekolah membeli langsung dari petani sekitar—buah musiman, sayur segar, tempe lokal. Anak sehat, petani sejahtera, bangsa berdaulat.
Namun yang paling penting adalah membangun cerita baru.
Selama ini, cerita tentang makanan selalu dikaitkan dengan praktis, cepat, dan murah. Kita perlu menulis ulang narasi itu. Bahwa buah segar lebih bergengsi daripada biskuit impor. Bahwa memasak di rumah adalah revolusi kecil melawan sistem pangan global.
Bangsa ini pernah menyatukan diri dengan cerita besar bernama kemerdekaan. Kini, kita butuh cerita baru: kedaulatan gizi. Generasi yang sehat tidak lahir dari ruang rapat di kementerian, melainkan dari piring anak-anak kita.
Pertanyaannya sederhana tapi menentukan: apakah kita akan terus memberi anak-anak kita makanan instan yang merusak otaknya? Atau makanan hidup yang menumbuhkan masa depannya?
Karena bangsa yang ingin merdeka di masa depan, harus berani berkata tidak pada “kemudahan yang membunuh” hari ini.
https://agussomamihardja.id