Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), di akhir tahun 2022 ini juga mengeluarkan Pernyataan Natal bersama. Ada baiknya kita telaah Pernyataan Natal Bersama dari induk organisasi kaum Katolik dan Protestan di Indonesia itu. (Selengkapnya, lihat: http://www.dokpenkwi.org/2022/12/01/pesan-natal-kwi-pgi-tahun-2022/).
Secara umum, pernyataan Natal kali ini menegaskan kembali doktrin dasar kaum Kristen, akan kehadiran Yesus sebagai juru selamat, yang harus terus diberitakan kepada umat manusia. Lebih lengkapnya, kita simak pernyataan tersebut:
“Saudara-saudari terkasih, Perayaan Natal selalu membawa sukacita dan damai sejahtera bagi hidup kita, karena Yesus datang untuk membebaskan kita dari belenggu dosa. Oleh Dia yang lahir di kandang hewan, wafat di kayu salib, dan kemudian bangkit dari antara orang mati, kita dilahirkan kembali sebagai ciptaan baru dan memperoleh hidup kekal.”
Maka, diserukanlah untuk terus mewartakan kasih Yesus kepada semua makhluk: “Dengan demikian, Natal juga mengajak kita untuk menemukan jalan baru dan kreatif dalam mewartakan kasih-Nya kepada sesama dan semua makhluk ciptaan. Kehadiran Sang Kasih Sejati yang menyelamatkan kita harus terus diwartakan.”
Pernyataan Natal pun mengimbau agar warga Kristiani menafaatkan perkembangan teknologi untuk memuliakan Tuhan dengan membangun tata kehidupan bersama yang penuh kasih. Juga, mengajak untuk semakin bijak dan cerdas dalam bermedia sosial, semakin kreatif dalam mewartakan kasih, semakin setia dalam memegang nilai-nilai moral dan etika di dunia maya.
“Jalan-jalan kreatif yang ditawarkan oleh media sosial sudah sepantasnya kita manfaatkan sebagai sarana pewartaan sehingga mampu menggerakkan banyak orang untuk menjadi duta-duta kasih dan pelopor perdamaian di lingkungan keluarga, Gereja, dan masyarakat.”
*****
Pernyataan Natal tahun 2022 ini menguatkan kembali dasar lahirnya Fatwa Natal MUI tahun 1981, tentang haramnya merayakan Natal Bersama bagi umat Islam. Sebab, sejatinya Perayaan Natal bagi kaum Kristen adalah ibadah dan juga aktivitas misi agama Kristen.
Ketua MUI Buya Hamka, menjelang wafatnya, telah menulis kolom di Majalah Panji Masyarakat No 324 tahun 1981. Judulnya: ”Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?”.
Memang, setelah keluarnya fatwa Perayaan Natal Bersama tersebut, MUI diminta menarik kembali peredarannya. Terjadi ketegangan antara Buya Hamka dengan pihak pemerintah. Tulisan ini merupakan pernyataan sikap Buya Hamka yang menolak untuk mencabut fatwa Perayaan Natal Bersama. Setelah menulis artikel ini, di tahun 1981 itu pula, Buya Hamka kemudian menghadap Allah SWT.
Ketika itu saya masih duduk di kelas 1 SMA, sembari nyantri di Pesantren Al-Rosyid Bojonegoro. Sebelum balik ke Pesantren, saya sempat membaca tulisan Buya Hamka tersebut dan merasakan ada perasaan kesedihan yang disuarakan oleh Buya Hamka.
Seperti ditulis Buya Hamka, bahwa keluarya Fatwa Natal dari MUI tersebut merupakan hasil persetujuan para ulama dari berbagai organisasi Islam. Bukan hanya dari MUI saja. Para ulama itu berpendapat, bahwa bahwa orang Islam yang turut dalam perayaan Natal itu adalah mencampuradukkan ibadat, menyetujui aqidah Kristen, menyatakan Nabi Isa Almasih ’alaihissalam sebagai Tuhan.
”Dan di dalam logika tentunya sudah dapat dipahami, bahwa hadir di sana ialah menyatakan persetujuan pada ’amalan iu, apatah lagi jika turut pula membakar lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti yang menurut `aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah Yesus! Maka orang Islam yang menghadirinya itu oleh ayat: (Barangsiapa menyatakan persetujuan dengan mereka, termasuklah dia dalam golongan mereka) (Al-Maidah: 51).
Karena itu, Buya Hamka menegaskan: ”Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram!”
Bahkan, tulisnya, fatwa MUI itu sebenarnya masih lunak. ”Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir,” tegas Buya Hamka.
Buya Hamka pun berkisah, saat MUI didirikan tahun 1975, ada seorang yang bertanya: ”Apa sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu keputusan dari Majelis Ulama?”
Buya Hamka menjawab: ”Tidak ada sanksi yang dapat kita pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan jujur apa yang kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi. Sebab itu kita warisi juga dari Nabi-nabi itu penderitaan dan penghinaan. Sanksi orang yang menolak kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah dari kita. Kita ini hanya manusia yang lemah. Yang memegang sanksi adalah Allah Ta’ala sendiri.”
*****
Jadi, tugas para ulama adalah menyampaikan seruan kebenaran. Sebab, mereka adalah pewaris para Nabi, yang memang ditugaskan mengajak manusia agar men-Tauhid-kan Allah semata-mata, dan menyekutukan Allah dengan apa pun. (QS An-Nahl: 36).
Jika ada yang menolak seruan ulama itu, biarlah menjadi tanggung jawab masing-masing. Jika terpaksa melakukan kesalahan, bertobatlah. Jangan sampai melakukan dosa, tetapi justru melakukan pembenaran terhadap dosa yang dilakukannya. Tindakan inilah yang dicontohkan Iblis, ketika merasa hebat, angkuh, dan menolak untuk tunduk kepada Allah SWT.
Semoga kita tidak mengikuti langkah Iblis, tetapi mengikuti langkah Nabi Adam a.s. yang mengakui kesalahan dan bertobat kepada Allah SWT. (Depok, 24 Desember 2022).