HM Rasjidi, CSIS dan Kebudayaan Indonesia Modern (2)

by

Wartapilihan.com – Humanisasi sebagai Sekularisasi

Selain pembenaran bagi berlangsungnya GBHN dan P4, pandangan Pranaka dan lingkaran CSIS-nya tentang sekularisme juga menjadi tujuan penulisan Strategi Ke­­budayaan. Sebelum menyampaikan kritik terhadap itu, Pak Rasjidi melalui bu­ku­nya ini terlebih dahulu menyampaikan pokok-pokok pikiran setiap bab dalam buku ter­se­but, dalam butir-butir yang ringkas namun jelas. Di antara kritik tersebut, ada dua istilah yang paling diseorotinya, yakni penggunaan istilah humanisasi dan religi oleh Pranaka. Beliau dengan tepat meneroka pengetahuan pembaca tentang humanisasi, yakni gejala peradaban Barat yang menjadikan manusia sebagai ukuran segala sesuatu, dengan penggunaan akal budi seluas-luasnya, karena manusia dipandang hanya hidup di dunia, di dalam lingkungan alam semesta (hlm. 65-66). Selain itu, beliau juga menunjuk persoalan kungkungan Gereja Abad Pertengahan terhadap martabat manusia sebagai pemicu munculnya humanisasi, yang tak lagi percaya pada agama (hlm. 63-64).

Pandangan sekular tentang manusiaa itu berakibat pada pandangan yang juga se­­kular tentang agama. Pak Rasjidi menemukan kekeliruan Pranaka ketika meng­a­ta­kan bahwa “…manusia mempunyai the within of power, yakni kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri manusia sendiri, dan kekuatan tersebut berkembang dalam di­men­­si terhadap sesama manusia, alam, dan Yang Maha Esa.” Pandangan antropologis se­­macam itu, menurut beliau, sama saja dengan memandang bahwa agama adalah ha­sil dari olah pikir manusia. Sekalipun Pranaka menggunakan istilah “Tuhan Yang Maha Esa”, ia tak bermaksud merujuk pada tauhid, melainkan semata-mata endapan ra­­s­a dalam diri manusia tentang keagungan sesuatu yang adikuasa, entah apa itu. Pan­dang­­an ini mengingatkan kita pada upaya Prayaka menafsir sila satu dalam Pancasila, se­­­bagaimana telah disinggung di atas. Bagi seorang muslim, lanjut beliau, religi­on a­tau dien adalah pemberian Tuhan, untuk mengatur masyarakat, ekonomi, dan juga tek­­nologi (hlm. 67).

 Pak Rasjidi menunjukkan inkonsistensi pemikiran Pranaka dalam bukunya itu. Sekali pun dengan sangat semangat menganjurkan humanisasi bagi Indonesia, Pra­naka mengakui bahwa terjadi alienasi (rasa terasing) di dunia Barat sendiri akibat ke­hilangan unsur-unsur sakral dalam kehidupannya. Selain itu, inkonsistensi Pranaka se­makin menjadi tatkala ia mengatakan bahwa dalam keadaan inilah, kebudayaan Nu­san­tara dapat memberikan sumbangan kepada dunia. Apa yang Pranaka maksud se­ba­gai Nusantara adalah sesuatu yang tak jelas, sebab pada bagian awal ia telah meng­ang­gap bahwa kebudayaan (dan juga nasionalisme) negara ini tengah menuju satu ti­tik humanisasi, dan penghambat-penghambatnya (termasuk Islam) akan digilas oleh se­jarah (hlm. 96).

Sesudah mengkritik pemikiran Pranaka, Pak Rasjidi juga menyoroti praktik se­kularisasi yang tengah dilangsungkan oleh rekan Pranaka di CSIS, Daoed Joesoef. Se­bagai Mendikbud (atau kala itu disebut menteri P & K), Daoed Joesoef meng­ha­pus­kan libur Ramadhan dengan ancaman pemberhentian bantuan kepada sekolah-se­ko­lah yang selama ini diberi bantuan, dan pengubahan pendidikan agama di sekolah umum menjadi sekedar pengetahuan tentang agama-agama besar yang ada di In­do­ne­sia (hlm. 112-115). Menanggapi hal tersebut, Pak Rasjidi menggunakan tamsil harta ben­­da bagi agama. Umat Islam tak akan menyerahkan pendidikan agama kepada o­rang-orang yang tak mempercayai agama, sebagaimana harta benda yang tak mung­kin kita titipkan kepada pendusta. “Bahkan lebih dari itu, harta benda bukan apa-apa bi­la dibandingkan dengan amanat keyakinan dan iman kita bagi anak-anak kita.” (hlm. 114).

 Beberapa Catatan

Sebagai upaya menghadapi tantangan kebangsaan yang datang dari kalangan se­­kular, buku Pak Rasjidi ini tentu banyak memberi pencerahan se­ka­li­gus pembelaan ba­­gi umat Islam. Di masa itu, ketika kalangan terdidik muslim secara perlahan men­co­­ba menerima gagasan sekularisasi bahkan mencari pembenarannya lewat kajian her­meneutis terhadap Al-Qur’an, beliau tetap kritis terhadapnya dan me­na­se­hati u­mat a­gar tak terpukau olehnya. Cara beliau mengkritik ga­gas­an AMW Pra­naka secara rin­ci mengingatkan kita pada gaya yang sama ketika beliau mengkritik mu­ridnya, yak­ni Nurcholish Madjid dan Harun Nasution. Sebelum melancarkan kritik, beliau terlebih da­hulu mengulas pemikiran-pemikiran besar yang mendasari kekeliruan gagasan yang hendak dikitiknya itu.

Ada beberapa catatan yang dapat kita munculkan setelah membaca buku ini. Ke­tika mengkritik gagasan hegelian Pranaka tentang nasionalisme, mi­sal­nya, beliau a­mat terpaku pada perumusan nasionalisme Hans Kohn atau Ernest Renan. Apa yang di­lakukan Pranaka adalah upaya pencarian dasar falsafi bagi suatu na­sionalisme ru­mus­an sepihak Orde Baru. Di wilayah ini, sekalipun nasionalisme da­lam kaitannya de­ngan sistem politik modern memang baru terumuskan oleh dua na­ma di atas, akar-a­karnya di setiap bangsa adalah wilayah tafsir yang dapat diajukan ti­ap-tiap orang. Ji­ka Pranaka dalam hal ini mengajukan pandangan hegelian dan me­nafsir sila pertama se­cara antropologis, Pak Rasjidi –yang hendak menunjukkan peran Is­lam dalam na­si­on­alisme- hanya terhenti pada “kesadaran nasional” awal abad 20, yak­ni Sarekat Is­lam dan persitiwa haji. Barangkali kita tak juga keliru jika me­ngait­kan pemupukan na­sionalisme dalam haji itu dengan konteks yang lebih luas, yakni se­mangat pan-Is­lamisme cetusan seorang muslim modernis, Al-Afghani, yang me­mang memberi te­na­ga baru bagi perjuangan kemerdekaan negeri-negeri muslim.

Meski tak terlalu keliru, pandangan di atas hanya menggambarkan suatu na­si­o­n­­alisme Islam yang melulu berorientasi pada gerakan sosial dan kemerdekaan po­li­tik, sambil sesekali bersifat responsif terhadap gangguan-gangguan seperti penjajahan dan penginjilan. Unsur falsafi dalam Islam, yakni kalam dan tasawuf, yang me­la­lu­i­nya kita memiliki cara pandang terhadap wujud yang benar dan hakiki, tak terlalu men­dapat perhatian. Padahal sebelum memasuki abad ke-20, umat Islam di negeri ini su­dah mengenali ajaran-ajaran kalam dan tasawuf para alim ulama dan bijak bestari ter­percaya. Naskah-naskah Imam Asy’ari, Imam Al-Ghazali, Muhyiddin Ibn Arabi, dan sebagainya telah disadur serta disyarah oleh para ulama setempat. Kita mengenal na­­ma-nama Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniry, Abdur Rauf As-Singkili, Syamsuddin Sumatrani, Abdus Shamad Al-Falimbani, Walisongo dan lain-lain se­ba­gai pemmbina batin umat di masa lalu. Hal ini dibahas dengan amat lengkap dan men­­dalam oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas, melalui berbagai karya ke­sar­ja­na­an­­nya, juga dalam pidato profesoratnya di Universiti Kebangsaan Malaysia berjudul Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Sebagaimana Pranaka merujuk Hegel, kita yang merujuk pemikiran kalam dan tasawuf itu akan mampu merumuskan ko­n­­sep-konsep falsafi tentang kebudayaan, kebangsaan, dan persoalan ilmu lainnya. Per­soalan gerakan sosial dan kemenangan politik, karenanya, tak menjadi persoalan u­tama, meski bukan berarti harus diabaikan sama sekali.

Terlepas dari kekurangan yang ada, buku Pak Rasjidi ini masih relevan untuk di­­baca hari ini. Kita akan mengenal seorang ulama yang menulis buku bukan demi mem­­perkaya diri lalu memenuhi tuntutan pasar, melainkan atas keprihatinan men­da­lam pada keadaan umat muslim di Indonesia, dan pembacaan yang kritis pada ka­lang­an sekular yang hendak mencemari jiwa negeri ini. Menutup buku ini, beliau menulis pa­ragraf-paragraf nasehat bagi kita. Dua penggal darinya amat layak kita renungi: “Saya mengucap syukur kepada Allah SWT karena saya sudah menyelami alam fi­kir­an orang-orang yang berusaha melikwidir Islam dari bumi Indonesia…Besarnya tan­tang­an yang kita hadapi adalah bukti kebesaran umat Islam Indonesia.” (hlm. 115-116). 

Kami pun bersyukur memiliki ulama dan guru bangsa setinggi dirimu, Pak. |

Penulis : Ismail al Alam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *