Umurnya masih muda, tapi prestasi telah ditorehnya. Ia tidak mau seperti remaja lainnya yang menghabiskan waktu hanya untuk hura-hura. Azzam Habibullah (19 tahun) pada 2020 ini meluncurkan buku keempatnya : Hikmah Sejarah Untuk Indonesia Berkah (diterbitkan YPI at Taqwa). Sebelumnya mahasiswa at Taqwa College Depok ini telah menulis buku : Laksana Bulan (2016), Search: Hidup Ini Adalah Tentang Mencari (2017) dan Anak Muda Hebat Indonesia : Be the Boss in Your Own Life.
Wartapilihan.com, Depok— Di buku ini Azzam menguraikan berbagai peristiwa sejarah di tanah air dan hikmah-hikmahnya. Pertama, ia mulai dengan kisah Pramoedya dan Hamka. Meski Pram memusuhi Hamka, tapi di akhir hidupnya, Hamka menyuruh putri dan menantunya untuk belajar Islam pada Hamka. “Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda faham politik,”ujar Pram.
Astuti dan calon menantunya kemudian mendatangi kediaman Buya Hamka. Ketika Astuti memohon kepada Buya Hamka agar bersedia mengajarkan kekasihnya itu ajaran Islam. Buya Hamka sempat tertegun sejenak. Beliau jelas mengetahui bahwa gadis dihadapannya adalah putri Pramoedya Ananta Toer, seorang yang selama ini berseteru dengannya.
Lantas apa yang dilakukan beliau? Rusydi Hamka, putranya yang melihat peristiwa itu menceritakan, wajah Buya Hamka basah oleh air mata. Beliau menyatakan sepenuhnya ikhlas membimbing sejoli untuk belajar Islam.
Astuti tidak menyangka, sosok yang dulu begitu dibenci ayahnya, ternyata adalah lelaki yang bersahaja dan berlapang dada. Ia sungguh tak kuasa menahan haru, dan berterima kasih bisa diterima untuk menimba ilmu agama. Mereka pun larut dalam kehangatan dan melupakan dendam yang ada.
“Lupakah ayah, siapa Pramoedya itu?” tanya Rusydi sambil mengingat-ingat bagaimana fitnah yang dilontarkan para aktivis PKI terhadap ayahnya itu.
“Tidak. Betapapun dia membenci kita, kita tak berhak menghukumnya. Allah lah Yang Maha Adil. Dan dia pun sudah menjalani hukumannya dari penguasa di negeri kita ini,”jawab Buya Hamka. (hal 5).
Azzam memang pintar mengolah kata. Dalam buku ini, kita akan menyimak berbagai kisah para pahlawan dengan cerita yang menarik. Misalnya ketika ia berkisah tentang Muhammad Natsir. Ia memberi judul : Muhammad Natsir dan Perang Kata-Kata.
Simaklah kisahnya ini:
“Di masa penjajahan dahulu, acapkali senjata api tidak cukup untuk memenangkan peperangan. Kelihaian dalam memanfaatkan kata-kata, baik lisan maupun tulisan merupakan hal yang sangat fundamental. Terlebih di tengah peperangan, tidak dapat dipungkiri bahwa siapapun yang menguasai informasi dan menggiring opini masyarakat, punya kekuatan yang lebih untuk melemahkan lawan. Hal ini disadari benar oleh pendiri bangsa ini. Itulah sebabnya, selain penyerangan melalui pergerakan politik dan militer, terwujudnya kemerdekaan Indonesia, tidak lepas dari kekuasaan media jurnalistik.
Salah satu tokoh yang sadar tentang pentingnya media ini, adalah sosok penulis dan cendekiawan muslim terkemuka, bernama Muhammad Natsir (1908-1993). Tapi sebelum tiba kepada perjuangan beliau, agaknya perlu untuk merefleksi kembali tentang riwayat “Sang Maestro Dakwah” yang satu ini.
Tepat pada 17 Juli 1908, Sumatera Barat kembali menjadi Rahim lahirnya seorang tokoh besar. Kampung Jembatan Berukir yang terletak di daerah Alahan Panjang, adalah rumah bagi Natsir kecil. Lahir di tengah keluarga sederhana yang memegang erat kultur Minangkabau, membuat masa kecil Natsir dekat dengan tradisi Islami, seperti mengaji dengan para ulama di surau-surau.
M Natsir dikenal sebagai sosok yang cerdas sedari kecil. Namun ia harus menelan pil pahit ketika Holandsche Inlandsche School (HIS) menolak pendaftarannya, hanya karena ia bukan dari kalangan berada.
Sebagai instansi pendidikan milik kaum penjajah, sekolah itu memang hanya menerima anak pegawai negeri berpenghasilan tinggi atau anak saudagar kaya raya. Itulah sebabnya ayah Natsir, Idris Sultan Saripado yang hanya pegawai rendahan di kampung tidak mungkin memenuhi kriteria tersebut.
Meski begitu, Natsir tetap memiliki semangat yang tinggi untuk mengusahakan pendidikannya, hingga suatu ketika ia diterima di HIS Adabiyah, Padang (sekolah pribumi yang diperuntukkan bagi keluarga menengah ke bawah). Semasa bersekolah di sana, M Natsir tinggal bersama mamaknya, Makcik Ibrahim, seorang buruh kasar di pabrik kopi.
Bersama mamaknya, Natsir muda tumbuh menjadi seorang yang ulet dan rajin. Kehidupannya yang serba sederhana tak turut menguras energinya untuk bekerja dan belajar. Setiap pulang dari sekolah, ia langsung bergegas mengerjakan tugas rumahnya, sebelum kemudian membantu Makcik Ibrahim memikul berbagai tugas sehari-hari, seperti mencari kayu bakar di pesisir pantai, menimba air sumur, mencuci pakaian dan membuat kopi.
Ini bukan sekedar episode sulit dari perjalanan seorang M Natsir, lebih daripada itu, apa yang dilakukan Natsir merupakan pendidikan yang sangat berharga bagi kehidupannya kelak. Persis apa yang dikatakan oleh Ajip Rosidi dalam karyanya, Biografi M Natsir (Jakarta: Giri Mukti Pasaka, 1990), bahwa,”Pada usia yang dikatakan masih sangat muda itulah Natsir mulai belajar mengarungi hidup…dia mulai sadar akan artinya tanggungjawab, akan arti saling berbagi dalam hidup bersama…”
Selepas bersekolah di HIS Abadiyah, Natsir pindah ke HIS Solok dan tinggal bersama seorang saudagar kaya bernama Haji Musa. Kendati “orang tua keduanya” itu merupakan sosok yang terpandang di daerah Solok, M Natsir yang terbiasa hidup mandiri memilih untuk tidak merepotkan Haji Musa, sehingga ia membarengi kegiatannya menuntut ilmu dengan bekerja menjadi guru di usianya yang masih terbilang muda.
Keseharian Natsir dilingkupi dengan kegiatan belajar dan mengajar, pagi hari ia bersekolah di HIS Solok, sorenya ia berada di Madrasah Diniyah, bahkan malam ia lalui dengan mengaji ilmu agama serta memperdalam bahasa Arab.
Akan tetapi takdir berkata lain, kegiatan Natsir di kota Solok harus terhenti, tatkala HIS Padang yang semula menolak Natsir karena alasan yang tidak masuk akal, akhirnya menerimanya. Bahkan tak lama Natsir belajar di sekolah tersebut, kecerdasan dan nilai mata pelajarannya yang tinggi, mengantarkannya mendapatkan beasiswa dari Meer Uitgrebeid Lager Onderwijs (MULO) Padang, sekolah setingkat SMP untuk anak-anak yang berprestasi. Setelah menamatkan pendidikannya di MULO, M Natsir memilih untuk bertolak ke Bandung dan melanjutkan SMA di Algemere Midlebare School (AMS) jurusan Sastra Belanda.
Kota Bandung sejak lama merupakan markas para pejuang kemerdekaan saat itu. Di kota inilah M Natsir dipertemukan dengan Tuan Ahmad Hassan (A Hassan). Seorang ulama terpandang, yang kelak semangat dan pemikirannya akan menjadi “Zirah” bagi seorang M Natsir dalam perangnya melawan penjajah.
Dikisahkan melalui buku Belajar Dari Partai Masjumi karya Artawijaya. Persis di gang sempit pinggiran Kota Bandung yang dikenal sebagai Gang Pakgade, berdirilah kediaman Tuan
Ahmad Hassan yang dikenal tidak sepi dari para anak muda pejuang, tak terkecuali M Natsir. Ditemani sahabat karibnya, Fachroedin Al Kahiri, M Natsir bersama organisasinya Jong Islamietend Bond (Perhimpunan Pemuda Islam), belajar dan berdiskusi langsung dengan
Tuan Ahmad Hassan. Sang guru yang merupakan tokoh utama Persis (Persatuan Islam) itu selama bertahun-tahun mendidik Natsir muda, buah pemikirannya yang tajam dan nilai-nilai ketekunan yang ia ajarkan, menjadi semacam warisan yang nampaknya di serahkan kepada M Natsir.
Dari Tuan Ahmad Hassanlah, Natsir muda sadar bahwa senjata api saja tidak memiliki kekuatan untuk mencapai kemerdekaan, terutama kemerdekaan intelektual. Pada tahun 1929, AC Christoffeles, seorang pendeta Kristen Protestan ternama berceramah di hadapan murid AMS Bandung. Natsir yang hadir di tengah forum tersebut, sontak geram ketika sang pendeta menyinggung dalam ceramahnya, bahwa Nabi Muhammad tak lebih hanya sebagai jalan pembuka bagi kebenaran Kristus yang sebenarnya dan merupakan sosok yang gila wanita. Melalui surat kabar Belanda, Algemeen Indisch Dagblad (AID), ceramah yang sangat menghina itu disebar hingga ke seluruh penjuru kota.
Kemelut antara zending Kristen dan umat Islam, sampai ke telinga Tuan Ahmad Hassan. Demi menahan segala serangan yang membuat kerusuhan di tengah masyarakat itu, juga atas ide M Natsir yang saat itu usianya baru menginjak 22 tahun, berdirilah Komite Pembela Islam di Kota Bandung. Sebagaimana seorang guru yang memberikan perintah kepada muridnya, A Hassan mengamanahkan tugas kepada Natsir untuk melancarkan serangan balik terhadap ceramah pendeta Protestan itu. Kelihaian Natsir dalam bidang teologi dan Bahasa Belanda, menjadikannya terpilih untuk mengirimkan tulisan atas nama Komite Pembela Islam kepada surat kabar AID.
Beberapa waktu kemudian, pada edisi selanjutnya, surat kabar AID memuat bantahan Pendeta Christoffels atas tulisan Natsir. Situasi semakin memanas, tatkala redaksi surat kabar AID secara tidak adil memutuskan untuk menolak bantahan kedua dari Natsir, yang artinya menahan Komite Pembela Islam untuk melanjutkan serangannya. Tidak patah arang, Natsir bersama kawan-kawan di Komite akhirnya membuat majalah Pembela Islam, yang pada edisi perdananya membuat tulisan Natsir berjudul Muhammad als profeet, yang begitu mengkritik keras Christoffeles akan kenabian Nabi Muhammad saw.
Selang dua tahun, perseteruan antara para penghina Islam dengan Komite yang dipimpin oleh A Hassan ini tidak pernah berhenti. Tahun 1931, giliran pastor Katolik Ordo Jesuit, JJ Ten Berge yang menyampaikan penghinaannya terhadap Al Quran, yang dimuat dalam Jurnal Studien…” (hal 88)
Banyak hikmah dan kisah yang menarik dari buku ini (218 hal). Antara lain : Islam dan Indonesia: Perjuangan dan Konsekuensinya, Jangan Menghina Keberagaman, Keluarga Islami Asas Ketahanan Bangsa, Waspada Syirik Intelektual, Kebebasan Mana yang Mau Diperjuangkan?, Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, Kisah Cinta Sang Pendiri Bangsa, Apa Yang Disembunyikan dari Sisingamangaradja XII? dan lain-lain.
*(Nuim, Bagi yang berminat buku ini bisa hubungi Difa Books, 081381112253)